Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Cuaca Panas Ekstrem, Inikah Dampak Liberalisasi SDA?


TintaSiyasi.com -- Belakangan ini Indonesia dilanda cuaca panas ekstrim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan adanya gelombang panas (heatwave) yang melanda Asia Selatan termasuk Indonesia dengan suhu maksimum harian tercatat 37,2 derajat. Bahkan disinyalir puncaknya pada Agustus 2023.

Melansir dari disway.id (01/05/2023), fenomena El Nino diprediksi akan terjadi pada Agustus 2023. Fenomena tersebut akan membawa suhu menjadi tinggi dan membuat cuaca menjadi lebih kering.

Fenomena El Nino sendiri terjadi karena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normalnya yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Pemanasan SML mengakibatkan curah hujan di wilayah Indonesia berkurang, bahkan memicu terjadinya kekeringan di wilayah Indonesia secara umum (iklim.ntb.bmkg.go.id).

Tak hanya itu, kekeringan yang terjadi akan berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian dan pertambangan. Oleh karena itu, Wakil Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Andi Iwan Darmawan Aras meminta semua kementerian untuk menghitung dampak dari kekeringan yang terjadi.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyiapkan teknologi modifikasi cuaca sebagai senjata untuk menghadapi El Nino yang menyebabkan kekeringan. Kementerian Pertanian pun juga melakukan beberapa upaya pencegahan dengan meninjau kembali infrastruktur. Seperti mengerahkan gerakan pompa air di wilayah yang rawan kekeringan juga memaksimalkan kegiatan Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tertier (RJIT) untuk pengairan sawah.

Fenomena alam El Nino bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya kekeringan, tapi penerapan liberalisasi dan kapitalisasi sumber daya alam semakin memperparah perubahan iklim ekstrem.

Paradigma kapitalisme, kepemilikan sumber daya alam boleh diprivatisasi oleh swasta atau bahkan asing. Kekeringan yang terjadi tak bisa dilepaskan dari deforestasi yang sangat cepat, sistem ini melegalkan berbagai cara untuk membuka lahan secara luas. Tak hanya itu, privatisasi terhadap sumber daya air membuat eksploitasi mata air oleh para pebisnis air minum kemasan. Saat kekeringan tiba, banyak masyarakat yang tidak bisa mendapat air bersih dan sanitasi yang baik.

Kondisi ini semakin parah tiap musim kemarau datang, sedangkan pemerintah belum bisa menyelesaikan akar persoalannya. Maka, untuk mengatasi secara tuntas cuaca panas ekstrim yang berimbas pada kekeringan adalah dengan mengembalikan bumi dan segala isinya untuk kembali ke pangkuan sistem kehidupan dari Penciptanya, Allah SWT.

Sistem kehidupan itu adalah Khilafah Islamiyah. Dalam khilafahz sumber daya alam akan dikelola penuh oleh negara, yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Termasuk hutan yang berperan penting dalam mengatur kondisi iklim bumi melalui siklus karbon. Untuk mengantisipasi kekeringan, Negara wajib mendirikan industri air bersih perpipaan sehingga terpenuhi kebutuhan air bersih setiap individu masyarakat. Dengan memanfaatkan sains dan teknologi, negara mengerahkan seluruh kemampuan para ahli, mulai dari ahli kimia sampai lingkungan.

Sejarah telah mencatat, kota-kota Islam abad pertengahan dalam Khilafah sudah memiliki sistem manajemen dan pasokan air yang sangat maju untuk mengalirkan air ke semua tujuan. Hal itu ditandai dengan air di sungai, kanal, atau qanat yaitu saluran bawah tanah yang mengalir ke seluruh wilayah khilafah.

Inilah upaya yang dilakukan oleh Khilafah Islamiyah dalam mengatasi cuaca panas yang berdampak pada kekeringan. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nabila Sinatrya
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments