Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemuda Memperjuangkan Pemekaran, Untuk Kepentingan Siapa?

TintaSiyasi.com -- Di sistem demokrasi hari ini, pemekaran menjadi salah satu harapan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan di daerahnya. Terbukti dengan banyaknya pengajuan untuk pembentukan daerah otonomi baru (DOB). Diakui oleh Mendagri, terdapat 317 daerah yang mengajukan pemekaran DOB kepada pemerintah (Antarasumbar, 24/4/2021).

Salah satunya adalah usulan untuk pembentukan Provinsi Kapuas Raya yang telah dilakukan sejak lama. Bahkan tahun 2013-2014 sudah mendapat rekomendasi, tapi sayang sampai hari ini belum terwujud.

Itulah yang mendorong Kaum Muda Kapuas Raya (KAMUS-RAYA) untuk menggelar deklarasi akbar pada 15 maret 2023. Tujuannya untuk mendesak Sutarmidji Gubernur Kalimantan Barat merealisasikan pemekaran Provinsi Kapuas Raya yang menjadi janji politik dari produk PILKADA yang dihembuskan 2018 silam (Redaksisatu, 15/3/2023).

Pertanyaannya apakah benar, dengan adanya pemekaran daerah akan sejahtera? Nyatanya tidak demikian, terbukti data dari Kementerian Dalam Negeri tahun 2012 menyatakan bahwa 78,7 persen daerah hasil pemekaran yang gagal mencapai tujuannya, dan hanya 21,3 persen daerah hasil pemekaran yang berhasil.

Kriteria daerah hasil pemekaran dapat dinyatakan gagal mencapai tujuan pemekaran, diantaranya ialah tidak berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tidak dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik/masyarakat. Padahal bukankah hal tersebut menjadi harapan masyarakat dan sesuatu yang diperjuangkan para pejabat, golongan elit bahkan pemuda.

Kalau kesejahteraan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat belum tentu terjamin dengan adanya pemekaran, lantas kenapa tetap diperjuangkan? Itu semua tidak lain karena adanya pihak yang akan diuntungkan, salah satunya ialah oligarki. Dengan adanya pemekaran, maka mereka akan lebih mudah menguasai sumber daya alam daerah tersebut. Selain itu, isu pemekaran demi kesejahteraan juga menjadi pemanis dalam janji politik calon pemimpin.

Padahal  kenyataannya pergantian pemimpin yang telah berulang kali dilakukan tetap saja tidak mengubah kondisi masyarakat. Kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi tetap saja terjadi. Itu semua karena pemimpin yang dilahirkan oleh sistem demokrasi tidak mampu menunaikan amanahnya dengan sebaik mungkin. Padahal Pilkada telah menghabiskan dana triliunan namun tetap saja hasilnya tdak memuaskan bahkan Bawaslu mencatat banyak kecurangan. Inilah yang tentunya membuat rakyat kecewa.

Untuk itu peran pemuda yang menjadi agen of change sangat diperlukan oleh masyarakat. Pemuda diharapkan mampu memperjuangkan hak-hak masyarakat lewat kekuatan dan potensi yang mereka miliki. Tapi sayangnya perjuangan mereka justru dimanfaatkan oleh penguasa dalam memberikan “karpet merah” kepada korporat. Itu semua terjadi karena pemuda hari ini belum mampu menangkap akar masalah yang terjadi saat ini, dan belum memahami aktor yang akan diuntungkan dibalik adanya pemekaran yang mereka perjuangkan.

Di sistem demokrasi, pemekaran justru menjadi cara atau strategi korporat dalam menguasai SDA yang ada. Lewat dukungan yang diberikan oleh penguasa. Mereka akhirnya bekerjasama atas dasar manfaat yang mereka dapatkan, bukan demi kesejahteraan masyarakat. Penguasa yang akan menjabat mendapat dukungan dana dari korporat hingga mereka harus membalas budi korporat lewat cara memuluskan proyek-proyek mereka.

Sungguh ngeri fakta di sistem demokrasi. Wajar kalau kesejahteraan yang di impikan tak kunjung tercapai jika slogan dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat hanya memihak sebagian rakyat. Akibat aturan manusia yang digunakan. Berbeda sekali dengan pemekaran di sistem Islam. Sistem kekhilafahan Islam, wali dan amil di daerah diberi wewenang dalam mengelola daerahnya berdasarkan Islam.

Sehingga prakteknya kebijakan otonomi daerah yang dilakukan mereka justru mendekatkan layanan (riayah) kepada umat di berbagai pelosok wilayah daulah. Inilah yang digambarkan oleh sejarawan sains Philip K Hitti dalam buku History of the Arab.

Jadi, karena pegelolaan negara bahkan daerah otonomi berlandaskan Islam, maka kepemilikan Sumber daya alam tidak boleh di privitasi. Hal ini membuat korporat tidak mendapatkan peluang bahkan kesempatan untuk menguasai SDA yang ada. Itulah yang mendasari perbedaan otonomi daerah sistem kapitalis dan Islam. selain itu pemimpin yang amanah dan menyadari tanggungjawabnya menjadi faktor penting untuk menwujudkan adanya kesejahteraan.

Bukan pemimpin yang hanya mencari keuntungan atas jabatan yang diamanahkan kepadanya. Tapi semua itu baru akan terwujud jika negara menerapkan Islam secara kaffah dalam semua sistem kehidupannya. Untuk itu sangat diperlukan peran pemuda untuk memperjuangkan diterapkannya sistem Islam secara kaffah. Wallahu’alam bishshawab.[]

Oleh: Mia Purnama, S.Kom.
(Aktivis Back to Muslim Identity)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments