TintaSiyasi.com -- Baru-baru ini, berbagai portal media ramai dengan penjualan baju bekas yang diperoleh secara impor. Bahkan Presiden Indonesia Joko Widodo geram dengan maraknya impor pakaian bekas atau thrifting. Menurutnya, hal tersebut mengganggu industri tekstil dalam negeri (Republika.co.id, 19 Maret 2023).
Menteri Korporasi dan UMKM, Teten Masduki menjelaskan bahwa impor baju bekas adalah kegiatan ilegal. Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Dalam Pasal 2 ayat 3 tertulis barang yang dilarang impor, salah satunya berupa kantong bekas, bekas karung, dan bekas pakaian (republika.co.id, 17/03/2023).
Sejatinya, peraturan pemerintah Indonesia terkait pelarangan impor baju bekas memang menjadi suatu permasalahan yang kompleks. Di satu sisi, terdapat peraturan yang mengizinkan impor baju bekas secara legal, seperti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54 Tahun 2016. Namun, di sisi lain, terdapat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2020 yang melarang impor baju bekas.
Maraknya impor pakaian bekas ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Bahkan berburu baju bekas sudah menjadi hal yang biasa dikalangan anak muda saat ini. Karena pakaian-pakaian bekas yang berasal dari negeri sendiri kurang diminati oleh masyarakat, terutama anak muda yang lebih menyukai barang branded walaupun barang tersebut pakaian bekas dikarenakan gaya hidup hedon dan branded.
Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan rakyat akan suplai pakaian untuk memenuhi kebutuhan pakaian bermerk dengan harga murah karena gaya hidup hedon dan branded mind. Di sisi lain, juga menunjukkan potret kemiskinan yang terjadi di tengah rakyat yang membutuhkan pakaian dengan harga murah.
Mirisnya alasan memberantas pakaian impor bekas yaitu mengganggu UMKM, karena pada umumnya UMKM hanya memperpanjang rantai produksi. Seperti dilansir dari Viva.co.id (19/3/2024), Presiden menuturkan “Sudah saya perintahkan untuk mencari betul dan sehari dua hari sudah banyak yang ketemu, itu mengganggu industri tekstil dalam negeri.
Berbagai persoalan ini menunjukkan bahwa sejatinya tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan sesuai dengan akar masalah, juga tingginya angka kemiskinan di negeri ini. Ditambah lagi harga kebutuhan bahan pokok terus mengalami peningkatan dan seolah pemerintah lebih membela pengusaha. Inilah wajah buram kapitalisme yang diterapkan dalam negeri saat ini.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam dalam naungan institusi khilafah. Penerapan sistem ekonomi Islam akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan. Maupun kebutuhan pokok masyarakat kesehatan, pendidikan dan keamanan. Jaminan tersebut menjadi tanggung jawab negara. Dalam hal pemenuhan pokok sandang, pangan, dan papan negara memberikan jaminan dalam bentuk mekanisme tidak langsung. Artinya, negara berusaha mendorong dan memfasilitasi setiap individu untuk bekerja secara mandiri sesuai dengan kemampuan. Maka jika belum juga mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, maka di sini peran negara secara langsung memberikan jaminan kepada individu tersebut.
Mekanisme dalam Islam pemenuhan individu dilakukan dengan berbagai tahapan. Pertama, negara memerintahkan setiap kepala keluarga bekerja demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Kedua, mewajibkan negara untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. Ketiga, mewajibkan ahli waris dan kerabat yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu. Keempat, jika ada orang yang tidak mampu sementara kerabat dan ahli warisnya tidak ada atau tidak mampu menanggung nafkahnya maka nafkahnya akan menjadi kewajiban negara yang diatur melalui Baitul Mal, dalam hal ini negara bisa menggunakan harta milik negara, milik umum, dan harta zakat. Jaminan pemenuhan tersebut diberikan oleh negara kepada seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim.
Pemenuhan kebutuhan pokok pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga merupakan kebutuhan asasi yang harus dijamin negara. Hal ini direalisasikan oleh negara dengan menggunakan dana dari Baitul Mal yakni pos kepemilikan umum dari fa’i, kharaj yang jumlahnya sangat besar. Negara tidak akan menggantungkan pemasukannya pada pajak sebagaimana dalam kapitalisme.
Dengan sistem mekanisme ini tidak akan ada individu dalam khilafah yang sulit memenuhi kebutuhan pokoknya. Apalagi sampai rela mencari barang bekas yang pasti berdampak buruk bagi kesehatan. Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Hamsia
Aktivis Muslimah
0 Comments