TintaSiyasi.com -- Korupsi di negeri ini semakin menjadi-jadi. Drama pemeriksaannya pun tak kunjung usai. Angka-angka harta yang dikorupsi pun meningkat waktu drmi waktu temuannya. Kemungkinan ada geng korupsi juga menyeruak belakangan ini saat kasus pegawai pajak itu diperiksa setiap hari. Angka-angka aset itu mencurigakan.Geng korupsi diduga akan kacau balau jika isu korupsi pegawai ini semakin dikuliti.
Korupsi di negeri ini sudah menjadi persoalan darurat untuk segera diatasi. Perlu tindakan lebih greget dan berani dari pemerintah untuk membongkarnya. Bukan satu orang. Siapapun yang terkait dengannya perlu diusut dan dirunut hingga ke akarnya.
Melihat prosesnya, masyarakat geram bukan kepalang. Ini semacam gurita korupsi yang berakar kuat. Adanya Undang-undang pencabutan aset pun digagas. Semuanya demi tertuntaskannya kasus korupsi ini lebih cepat. Namun apakah adanya UU Pencabutan aset itu bertaji untuk mengurai gurita korupsi di negeri ini?
Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab melihat situasi korupsi di negeri ini yang belum transparan dikuliti. Masih ada saja pejabat yang terus terbukti korupsi lagi dan lagi.
Benarkah UU pencabutan aset itu bisa menjadi sesuatu yang membuat efek jera koruptor dan calon-calon koruptor?
Faktanya hingga kini, jauh panggang dari api. Sudah sejak dulu banyak UU korupsi di negeri ini diberlakukan. Namun belum juga korupsi bisa diatasi. Apa sebenarnya yang sedang terjadi, adakah yang salah dalam penanganan korupsi selama ini?
Efek Jera Korupsi
Sistem penanganan korupsi di negeri ini sudah jelas gagal dalam menuntaskannya. Terbukti koruptor dan calon koruptor baru bermunculan lahir bak jamur di musim hujan. Hadirnya beramai- ramai. Koruptor yang lama belum jera. Koruptor yang baru justru bermula. Kok bisa sebuah sistem penanganan korupsi menjadi tak bergigi dan tak bertaji?
Dimanakah salahnya?
Salahnya tak lain dan tak bukan hanya karena kemandulan sistem itu mengatasi korupsi. Sistem korupsi mandul itu lahir dari rahim sistem kapitalisme yang diadopsi pemerintah negeri ini. Cacatnya bawaan. Tak bergigi menumpas korupsi secara tuntas. Hal yang terjadi malah muncul kasus baru dengan modus operandi yang berbeda lagi.
Seharusnya sistem yang mandul itu dibuang saja. Diganti sistem penanganan korupsi yang terbukti bertaji menghapuskan dan menzerokan korupsi di negeri ini. Namun adakah sistem seperti itu?
Jawabannya ada dan masih layak jika kita gunakan hari ink untuk menanggulangi korupsi yang sudah berakar ini. Harus ada keberanian membongkarnya habis. Bagaimanakah cara Islam mengatasi korupsi yang tak bertepi ini?
Sistem Islam adalah sistem yang sudah terbukti menyelesaikan kasus ini secara pasti. Ratusan tahun peradaban Islam menggunakan sistem ini terbukti memberikan efek jera yang lebih mengena pada koruptor. Regulasi yang lebih tajam untuk mengatur perampasan aset semestinya sudah dibuat. Sistem pencatatan harta sebelum menjabat dan sesuadah pun berjalan 1300 tahun lamanya semenjak masa Umar bin Khattab.
Faktanya dahulu Undang-undang Perampasan Aset, pencatatan harta sebelum dan sesudah menjabat juga UU pencegahan korupsi sudah dibuat sebagaimana syariat Islam memerintahkannya. Larangan menerima suap, memberi suap, uang tips untuk petugas pencatat zakat, pajak dan jizyah juga sudah diberlakukan. Walhasil, korupsi di era islam tak pernah ada. Jikapun ada hanya sedikit dan tak menggurita seperti saat ini.
Hasilnya tindak pidana korupsi tercegah otomatis sepanjang tiga belas abad itu. Sementara itu kesejahteraan masyarakat dan pejabat negara waktu tercapai gemilang. Jauh dari kata sejahtera. Keinginan korupsi sudah tak ada lagi. Untuk apa korupsi jika masyarakat dan pejabat sama-sama sudah sejahtera. Begitu logikanya.
Umar bin Khattab bahkan menjadi teladan bagi pejabat setelahnya. Dia rampas pemberian masyarakat untuk kerabatnya yang terbukti disuap. Dua rampas harta pejabat Abu Bakrah yang terbukti bukan haknya. Umar berani sekali merampas harta itu. Harta ghulul korupsi yang terbukti.
Jadilah pejabat berikutnya yang menjabat kemudian mengikuti beliau hingga runtuhnya peradaban Islam ini yang bernama khilafah pada tahun 1924. Bayangkan dari tahun 610 Masehi hingga 1924 masehi korupsi sedikit sekali terjadi, bahkan nyaris nol pada masa ini.
Kesejahteraan masyarakat yang tercipta meniadakan kecurangan pejabat dan masyarakatnya. Cara ini lebih bertaji untuk meniadakan korupsi. Masyarakat dibuat sejahtera, pejabatnya juga. Tentu tak ada alasan lagi untuk korupsi.
Lantas bagaimana caranya agar masyarakat bisa sejahtera? Sistem pemerintahan Islam punya caranya sendiri. Sebagaimana yang diajarkan dan diterapkan Rasulullah melalui wahyu Allah. Al-Qur'an dan hadits benar-benar jadi konstitusi termasuk mengatasi korupsi.
Negara saat itu tak menjual asetnya untuk negara lain. Negara punya pendapatan yang banyak melalui banyak pos fai, kharaj, harta milik umum, harta milik negara yang dikelola profesional. Hasilnya dikembalikan pada masyarakat untuk dinikmati dalam bentuk pelayanan masyarakat yang lux dan luar biasa.
Saat ini pengesahan RUU Perampasan Aset belum dilakukan. Karena belum juga dibahas. Namun memang sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023, tetapi sampai detik ini tetap saja jalan di tempat.
Sebagai pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR dinilai tak serius untuk selekasnya mengesahkan RUU itu. Kesan itu datang dari ruangan Komisi III DPR dalam rapat dengan Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Mahfud MD, Rabu (29/4).
Dalam rapat dengar pendapat umum membahas transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan itu, Mahfud yang juga Menko Polhukam meminta dukungan langsung Komisi III melalui ketuanya, Bambang Wuryanto.
Selain RUU Perampasan Aset, Mahfud juga menyampaikan pentingnya RUU Pembatasan Uang Kartal. Karena memang pembahasan RUU Perampasan Aset memang ranah Komisi III.
Persoalannya Bambang berterus terang bahwa anggota dewan merupakan kader partai yang tunduk pada ketua umum partai. Karena itu, dia menyarankan pemerintah berbicara dengan para ketua umum partai terlebih dahulu.
Terlihat betapa terang benderangnya anggota DPR di negara yang bersistem kapitalisme ini semestinya mewakili rakyat, menampung aspirasi rakyat, memperjuangkan kehendak rakyat. Namun nyatanya anggota dewan itu lebih berperan sebagai wakil partai.
Bukan wakil rakyat. Ini sebuah dilema lawas di negeri ini dari sejak dulu.
Jika begitu, sulit kita berharap padamereka tentang kemauan kuat untuk secepatnya merampungkan RUU Perampasan Aset selama tak ada perintah dari ketua umum partai.
Wajar, sangat wajar, pemerintah termasuk melalui Mahfud MD terus mengingatkan DPR akan pentingnya UU Perampasan Aset. Akan tetapi, tak wajar pemerintah gigih menyadarkan dewan tetapi mereka sendiri tak sadar-sadar bahwa UU itu sangat mendesak. Meskipun demikian, tak ada yang menjamin jika UU perampasan aset itu disahkan, otomatis mampu menuntaskan kasus korupsi yang sudah mengakar ini.
Bagaimana mungkin DPR membahas RUU itu jika Presiden Joko Widodo belum menyerahkan surat presiden (surpres) usulan untuk membahasnya? Kewenangan DPR untuk membuat UU tak mutlak. Begitu juga pemerintah. Keduanya saling bergantung sehingga mesti sepemahaman. Satu saja yang berkomitmen, yang punya kemauan, tidaklah cukup, apalagi dua-duanya.
Itulah good government dan good government yang sangat penting melekat pada sebuah negara. Realitanya negara ini yang berdiri karena peran dan modal para pemilik modal ini tunduk sepenuhnya pada pemilik modal dan kepentingannya yang dijaga para penguasa boneka itu. Sistemnya memang demikian, sudah diatur rapih dan mustahil mampu mengungkapkan masalah korupsi ke akarnya. Karena bisa jadi nanti akan mungkin menyenggol kepentingan penguasa dan pemilik modal yang menaikkan mereka.
Gurita kepentingan penguasa dan pemilik modal tak akan pernah dibuka. Khususnya menuju pesta demokrasi. Hal itu akan membuka borok asli dari wajah penguasa yang akan maju dalam pesta demokrasi itu. Demikianlah lingkaran setan sistem ini.
Hal sedemikian itu tak akan terjadi pada pemerintahan Islam. Sebab pemilihan umum penguasa sudah diatur sedemikian rupa agar tidak ada peluang korupsi. Pemilihan seorang kholifah yang betul-betul sesuai syariah dan seleksi ketat secara syariah tak membuka peluang sedikitpun untuk pemodal menguasai pemimpin itu. Pemodal tak boleh bertransaksi dalam urusan pemerintahan dan pelayanan. Itulah konsep Islam.
Maka, jelaslah sudah, sistem demokrasi kapitalislah biang korupsi yang merajalela itu. Jika ingin bebas darinya, ganti sistem demokrasi itu. Ambillah sistem pemerintahan yang benar-benar berniat baik melayani masyarakat tanpa pamrih. Good government dan good governance hanya ada dan dimiliki sistem pemerintahan Islam.
Koruptor pasti bertekuk lutut di bawah sistemnya. Karena korupsi adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt. Sebagai pemilik sistem pemerintahan Islam itu.
Tidak cukup sampai di situ, individu penguasanya yang bertakwa akan patuh dan ingat akan pertanggungjawaban mereka di akhirat nanti. Karena masa itu akan tiba tak lama lagi. Korupsi menurut penguasa dalam sistem Islam adalah pelanggaran hukum yang akan diganjar dengan hukuman berat di akhirat kelak.
Mereka penguasa dalam sistem islam itu, lebih banyak mengingat ayat Allah ini.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اِقۡتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمۡ وَهُمۡ فِىۡ غَفۡلَةٍ مُّعۡرِضُوۡنَۚ
Telah semakin dekat kepada manusia perhitungan amal mereka, sedang mereka dalam keadaan lalai (dengan dunia), berpaling (dari akhirat).
Demikianlah, kombinasi sistem yang tegas dari wahyu Allah dan ketakwaan individu penguasanya menjadikan penanganan korupsi tersistem rapi. Tuntas dan tidak meninggalkan masalah lainnya. Maka alasan apa lagi yang dipakai saat enggan menerapkan sistem Islam ini?
Wallahu a'lam bish-showaab.[]
Oleh: Alfisyah, S.Pd.
(Aktivis Muslimah)
0 Comments