Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Keran Impor Mengucur Deras, Bukti Kegagalan Kapitalisme


TintaSiyasi.com -- Sebanyak 2.000 ton gula kristal putih yang diimpor dari Thailand tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada hari Sabtu (01/04/2023). Selain itu, gula impor juga akan tiba di Pelabuhan Belawan, Medan, sebanyak 37.900 ton dan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, 25.000 ton. ID Food sebagai perusahaan induk Badan Usaha Milik Negara Pangan mendatangkan gula kristal putih untuk menjaga ketersediaan dan stabilisasi harga gula di pasaran saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri. Pengadaan ini dilakukan secara bertahap dengan tahap pertama sebanyak 107.900 ton mulai dari 31 Maret 2023 hingga 31 Mei 2023. Rencana tahap kedua akan dilaksanakan di semester kedua 2023 dengan pengadaan sebanyak 129.675 ton (Kompas.com, 02/04/2023).

Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Soemitro Samadikoen menyebutkan, berdasarkan perhitungannya, stok gula mentah tahun lalu berada di angka 2,3 juta ton, yang berasal dari jumlah produksi dalam negeri dan dari impor. Dengan jumlah stok yang ada, ditambah produksi nasional sebanyak 2,6 juta ton, seharusnya impor tidak diperlukan karena kebutuhan nasional sebesar 3,4 juta ton masih dapat terpenuhi. Ditambah pula beberapa petani gula dalam waktu dekat akan memasuki masa panen, salah satunya di Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Selain stok, kata Soemitro, data mengenai konsumsi nasional juga perlu menjadi perhatian. Menurut dia, penggunaan gula konsumsi di Indonesia berada di angka 2,7-3 juta ton per tahunnya. Akurasi data konsumsi dan produksi penting sebagai acuan agar jumlah kebutuhan impor semakin akurat. Di samping itu, pemerintah perlu menyesuaikan HPP lantaran ada kenaikan biaya produksi, seperti pupuk dan upah pekerja, serta minimnya akses pupuk subsidi bagi petani tebu. ”Pemerintah harus mengajak banyak pihak untuk menyelesaikan sengkarut data ini agar terjadi keadilan. Jangan mengabaikan produsen demi stabilitas di konsumen,” ujarnya (Kompas.com, 02/04/2023).

Aneh. Ketimpangan terjadi bukan hanya tentang akurasi data yang menjadi salah satu hal penting dalam menentukan apakah kebijakan impor layak atau tidak untuk dilakukan, tetapi juga tentang sudut pandang yang berbeda antara penguasa dan petani. Penguasa ngotot impor besar-besaran dengan berbagai dalih dan pertimbangan, petani pun keukeuh melarang impor dengan berbagai dalih dan pertimbangan pula.

Memang bila kita melihat data yang dilansir dari finance.detik (2021), Data PTPN III menyebutkan bahwa pada 1930-an, Indonesia mampu menghasilkan 15 ton gula, tetapi kini hanya 2,6 juta ton. Seharusnya, dengan teknologi yang makin canggih dan kebutuhan gula yang makin naik, produksi gula makin tinggi. Lantas, mengapa malah makin menurun dan sampai harus mengimpor dari negara lain?

Banyak faktor yang menyebabkan negara agraris ini gagal dalam memenuhi kebutuhan gula juga pangan yg lainnya. Pertama, faktor alat dan sarana produksi pertanian yang masih belum jadi perhatian pemerintah. Bukannya memberi dukungan, pemerintah malah perlahan mengurangi, bahkan mencabut subsidi, mulai dari subsidi bibit, pupuk, hingga saprodi. Bukankah semua ini bisa menyebabkan ongkos produksi naik? 

Para petani tebu harus bersaing dengan gula impor yang makin deras masuk. Akhirnya, banyak petani tebu yang rugi, inilah yang menjadi penyebab petani tebu mogok produksi. Maka berkuranglah petani tebu. Bukankah ini juga bisa menjadi faktor yang menyebabkan produksi menurun? 

Faktor kedua, dan sebenarnya ini persoalan utama menurunnya produksi gula, yakni lahan pertanian yang makin sempit. Melansir Tempo, pada 2019, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyebutkan luas lahan tebu terus berkurang. Selama kurun tiga tahun terus berkurang hingga 70 ribu hektare.

Faktor menurunnya lahan tebu ini terutama karena alih fungsi lahan. Para petani tebu yang terus menerus merugi akhirnya lebih memilih mengalihkannya ke komoditas lain. Akan tetapi, karena komoditas lainpun ternyata bernasib sama, akhirnya para petani dengan mudahnya menjual tanah mereka. Tentu yang membeli lahannya adalah para pemilik modal, salah satunya pebisnis properti. Jadilah banyak lahan tebu yang dibangun menjadi perumahan. 

Selain menjadi perumahan, lahan tebu juga berubah menjadi pabrik-pabrik gula rafinasi. Padahal bahan baku gula rafinasi sebagian dari impor, hal ini sangat mengganggu penyerapan tebu milik petani. Tidak heran beberapa waktu yang lalu banyak petani yang membakar hasil panennya karena harga jual tebu jauh lebih rendah dari ongkos produksi. 

Sewa lahan pertanian pun menjadi penyebab para petani rugi besar. Kemiskinan akut yang dialami oleh para petani memaksa mereka menjual lahannya pada tuan tanah. Padahal mereka tidak memiliki keahlian selain bertani. Jadilah mereka menyewa lahan pertanian atau menjadi buruh tani untuk bertahan hidup. Alhasil, sudah alat dan biaya produksi pertanian mahal, mereka juga harus membayar sewa lahan. 

Inilah penyebab ongkos produksi mahal, sedangkan pabrik-pabrik harus bersaing dengan gula impor. Industri pun menekan harga tebu dari petani. Belum lagi kebijakan pemerintah yang sangat terlihat, seperti memihak pengusaha, misalnya dengan melabeli kualitas gula produksi petani dengan sebutan “gula di bawah standar”.

Seperti kejadian pada petani tebu di Cirebon yang disegel pemerintah dengan alasan tidak sesuai standar. Bukankah ini pun akan menurunkan produksi gula dan pada gilirannya memperbesar volume impor?

Ketidakmampuan pemerintah dalam memproduksi gula sejatinya berpangkal pada penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini menjadikan kebutuhan rakyat dipenuhi oleh swasta bukan negara. Pabrik-pabrik gula sebagian besarnya milik swasta asing. Ini menguntungkan para pemilik modal dan tidak bagi petani miskin. 

Selain itu pula, kapitalisme menjadikan hubungan dagang antarnegara sebagai alat untuk menjaga kepentingan negara besar. Negara berkembang seperti Indonesia harus tunduk pada perusahaan asing. Akhirnya Indonesia tidak berdaya atas kedaulatannya sendiri, negara ini tidak sanggup memberhentikan impor karena perjanjian dagang Internasional. 

Sistem ini juga membebaskan penguasaan lahan. Setiap individu bebas untuk memperbesar dan mengembangkan kepemilikan lahan pertaniannya tanpa syarat. Akibatnya terjadi ketimpangan kekuasaan lahan pertanian. Para petani berakhir menjadi buruh tani. Dampak lainnya adalah negara tidak akan bisa mengontrol kebutuhan pangannya sebab lahan dikuasai swasta. Dampak selanjutnya adalah bencana alam seperti banjir, karena swasta bebas mengubah tanah subur menjadi perumahan sehingga daerah resapan jadi hilang. 

Kelangkaan komoditas memang sudah menjadi persoalan klasik di sistem ekonomi kapitalisme. Hal ini berbeda dengan tata kelola ekonomi di Islam yang terintegrasi oleh pemerintahan. Jangankan persoalan kelangkaan, masyarakatnya pun akan sejahtera dan seluruh kebutuhannya akan terpenuhi. 

Ini karena Islam memandang bahwa negara harus menjamin kebutuhan pokok rakyat, seperti gula. Negara akan berkonsentrasi penuh terhadap ketersediaannya sehingga akan fokus pada produksi dan distribusi. 

Sebagai negara agraris, Indonesia tidak pantas kekurangan bahan pangan, seperti gula. Lahannya subur dan SDM yang banyak. Oleh karenanya, sebenarnya jika pemerintah bijak dalam mengelolanya, maka Indonesia tidak akan kekurangan dan mengalami kerugian karena tergantikan oleh impor dari negara lain. Negara juga akan menjaga lahan tebu agar dapat tetap produksi. Pemerintah akan mengatur lahan industri dan pemukiman. Sehingga para Develover tidak sembarangan tempat dalam membangun perumahan. Dari sini akan selesai persoalan alih fungsi lahan.

Selanjutnya, sistem ekonomi Islam memandang bahwa harus ada penyatuan kepemilikan lahan pertanian dengan produksinya. Tidak akan ditemukan fenomena lahan akibat sang pemilik tanah tidak memanfaatkannya. 

Islam juga melarang menelantarkan lahan pertanian lebih dari tiga tahun. Jika terlantar, maka negara akan mengambil alih dan memberikan kepada yang membutuhkan dan sanggup mengelolanya. Ini sering disebut ihya’u al-amawat (menghidupkan lahan mati). Akan ada juga larangan sewa lahan pertanian. Bukankah semua ini menyebabkan produktivitas tanah meningkat? 

Oleh karena itu, ketahanan pangan (termasuk gula) hanya akan bisa terwujud jika pengelolaan pangan bisa dilaksanakan oleh negara, serta peroduksi dan distribusi ada dalam kontrol negara. Karena Impor hanya akan menguntungkan asing saja. 

Namun hal demikian, negara hanya akan mampu berdaulat termasuk atas pangannya jika syariat Islam diterapkan dalam naungan daulah khilafah. Semoga khilafah segera tegak di muka bumi ini agar seluruh penduduk bisa mendapatkan berkah-Nya. Aamiin ya rabbal alamiin

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nida Fitri Y.A.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments