Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Benang Kusut Kekerasan terhadap Perempuan Terurai dengan Apa?


TintaSiyasi.com -- Kasus kekerasan yang dialami perempuan tidak kunjung mereda. Kalsel yang berpenduduk lebih dari empat juta jiwa dengan tiga belas kabupaten/kota saat ini masih dirundung kekerasan terhadap perempuan. Pada 2019 tercatat 281 kasus, pada 2020 menjadi 297, pada 2021 ada 333 kasus dan pad atahun 2022 meningkat tajam dengan jumlah 668 kasus. Berdasarkan data, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2022 tertinggi Kota Banjarmasin 194 kasus, Banjarbaru 67, dan Kabupaten Barito Kuala (Batola) 65 kasus. Wakil Ketua DPRD Kalsel meminta Dinas P3A menggandeng Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) melakukan penelitian sebab terjadi peningkatan kekerasan itu (kalsel.antaranews.com, 08/03/2023). Hasil riset diharapkan akan menjadi program kerja.

Beberapa upaya tentu sudah dilakukan, diantaranya pembentukan unit perlindungan perempuan dan anak, menyediakan call center dengan layanan 24 jam bahkan pemerintah memberikan dana alokasi khusus untuk menangani masalah ini serta langkah lainnya.


Bukan Masalah Lokal

Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), jumlah kasus kekerasan di tanah air mencapai 27.589 kasus dengan rincian 4.634 korban laki-laki (20,1 persen) dan 25.050 korban perempuan (79,9 persen). Adapun, data tersebut diinput secara real-time dari periode awal Januari - akhir Desember 2022 (goodstats.id, 11/04/2023).

Komnas Perempuan merilis Catatan Tahunan (Catahu) 2023, pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan di tahun 2022 sejumlah 4.371 kasus. Jika di rata-rata didapatkan 17 pengaduan per hari. Kalaupun peningkatan jumlah pengaduan dapat juga dilihat sebagai bentuk peningkatan kesadaran dan keberanian perempuan korban kekerasan untuk mengadukan kasus kekerasan yang mereka alami, namun kenyataan sesungguhnya ialah banyaknya masalah yang dialami oleh perempuan itu sendiri.

Pada tahun 2021 sebagai hasil survei di 161 negara antara tahun 2000 hingga 2018, WHO melaporkan sepertiga perempuan di dunia, atau sekitar 736 juta dari mereka, pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Sekitar 641 juta perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan. 

Jelas kekerasan terhadap perempuan menggejala di banyak negara. Sudah menjadi kebutuhan untuk menemukan akar permasalahannya. Program-program praktis namun tidak menyentuh akar masalah tidak akan mampu mengerem apalagi menghentikan kekerasan terhadap perempuan ini.


Budaya dan Agama sebagai Penyebab?

Laporan WHO tersebut mengonfirmasi bahwa derita kekerasan yang dialami perempuan bukan fenomena lokal. Budaya patriarkhi yang dinilai terinspirasi dari dogma agama yang memosisikan laki-laki sebagai pemimpin dan mengistimewakannya atas perempuan, sesungguhnya dapat dibantah. 

Pada laporan tersebut WHO menyebutkan, perempuan yang tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah, antara lain negara di Kepulauan Oceania seperti Fiji, kawasan Asia selatan dan sub-Sahara Afrika lebih berisiko mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangan mereka. Angka kasusnya turun menjadi sekitar satu dari lima perempuan jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Eropa (16-23%) dan Asia Tengah (18%).

Di AS yang notabene sebagai negara pionir HAM dan demokrasi sekaligus negara sekuler yang mencampakkan agama dari arena kehidupan, faktanya masyarakatnya mengidap penyakit serupa, mudah melakukan kekerasan terhadap perempuan. 

Sebuah studi tahun 2017 yang dilakukan oleh Urban Indian Health Institute (UIHI) menemukan 506 kasus MMIWG di 71 kota di seluruh Amerika Serikat. Dari 506 kasus ini, 128 wanita Pribumi hilang, 280 wanita Pribumi dibunuh, 98 tidak diketahui artinya UIHI tidak dapat menentukan apakah gadis atau wanita Pribumi Amerika telah mati atau ditemukan. Usia para korban berkisar dari di bawah 1 tahun hingga 83 tahun dengan median usia korban adalah 29 tahun (en-m-wikipedia-org, 02/2019)

Cara pandang materialistis dan fisikal tanpa panduan agama terhadap perempuan lebih tepat untuk dinyatakan sebagai penyebab perlakuan buruk laki-laki terhadap perempuan. Dikarenakan agama khususnya agama Islam justru mengajarkan untuk memuliakan dan melindungi perempuan.


Sistematis Komprehensif sebagai Solusi

Peliknya masalah kekerasan terhadap perempuan yang sudah sekian lama terjadi ini membutuhkan sistem sosial dan politik yang relevan yang menjamin perwujudan perlindungan di setiap ruang dan level peraturan dan kebijakan. Itulah sistem Islam.

Ini karena yang memahami potensi dan karakter manusia itu adalah Pencipta-Nya sendiri, Allah Swt. Zat Yang Maha Tahu yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan sekaligus menurunkan syariah untuk mengaturnya. Tatanan komprehensif sistem Islam sebagai berikut : 

Pertama, dalam sistem pergaulan. Islam memandang perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki dalam kehidupan domestik dan publik. Rasulullah saw. bersabda, perempuan adalah “saudara kandung” para lelaki.

Kedua, di rumah tangga suami-istri seperti dua orang sahabat yang saling support kebutuhan masing-masing. “Bekerjasama dalam mendidik generasi.

Ketiga, Dalam kehidupan publik mereka adalah mitra sejajar dalam memajukan masyarakat. Tidak membenarkan memandang perempuan sebagai obyek pemuas hasrat seksual. Pandangan ini diedukasi dalam pendidikan keluarga oleh orangtua, juga di sekolah formal termasuk pendidikan non-formal di masyarakat. Dengan itu terbentuk pandangan khas masyarakat Islam terhadap interaksi laki-laki dan perempuan dalam rangka melestarikan manusia dan bukan pandangan seksualitas semata, seperti pandangan Barat sekuler.

Keempat, Allah memerintahkan dan perempuan untuk menutupi auratnya dan menjaga kemaluannya, memudahkan dalam urusan pernikahan, dan melarang perempuan untuk berdandan berlebihan (tabarruj) yang merangsang naluri seksual laki-laki.

Kelima, jaminan dengan sistem penerangan dan media untuk tidak menyebarkan konten porno dan akan menindak tegas jika melanggar dengan mencabut izin pendiriannya.

Keenam, jaminan dengan sistem ekonomi melalui penjaminan kebutuhan finansial perempuan dengan cara pemberian nafkah oleh wali atau suaminya. Tidak mewajibkan wanita bekerja. Dengan itu ia dapat menjalankan secara sempurna tugas utama dan strategisnya dalam mendidik dan menjaga generasi.

Ketujuh, jaminan dengan sistem sanksi dengan cara menangani kelemahan individu yang terjerumus dalam penyimpangan dengan hukum yang jelas dan tegas. Menghukum pelaku pelecehan seksual, pemerkosaan, pacaran, pembunuhan, dan sejenisnya dengan hukuman setimpal.

Demikian solusi yang komprehensif dan menyentuh akar permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Islam sebagai petunjuk hidup selayaknya menjadi panduan dalam menyelesaikan berbagai problem termasuk problem perempuan.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Munajah Ulya
Pemerhati Isu Perempuan dan Sosial
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments