TintaSiyasi.com -- Masyarakat Bali kian resah akibat ulah Wisatawan Manca Negara (Wisman) yang bertingkah ugal-ugalan, bukan hanya kerap tidak mematuhi aturan, seperti mengganti plat nomor kendaraan dengan namanya. Mereka juga tidak menggunakan kelengkapan keselamatan, bahkan ada yang tidak berpakaian ketika berkendara.
Selain itu, masih ada berbagai pelanggaran lain yang dilakukan para wisman, seperti bekerja secara ilegal, sebagai fotografer bahkan hingga membuka rental motor ilegal untuk disewakan kepada turis lainnya dengan harga yang jauh lebih murah dibanding harga normal. Tidak sampai di situ, ada juga wisman yang membuat petisi karena terganggu suara kokok ayam milik warga lokal.
Dikutip dari Nusabali.com (13/03/2023), Gubernur Bali Wayan Koster tidak akan lagi mengizinkan turis asing menyewa motor dan mengendarainya, serta menindak tegas bagi yang melanggar. Koster juga mengatakan mulai saat ini tidak akan mentolerir lagi adanya turis asing yang berkendara menggunakan sepeda motor di jalan raya di Bali. Terkait larangan ini, kata dia, sudah ada Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Tata Kelola Kepariwisataan Bali. Sesuai aturan itu, wisatawan yang hendak bepergian ke sejumlah objek wisata harus menggunakan kendaraan dari travel atau agen. Namun, apakah ini solusi?
Penjajahan di Balik Pariwisata
Jika kita telisik lebih dalam, pariwisata sendiri sejatinya sangat mengancam kedaulatan bangsa dan generasi, misalnya semboyan "Tourism is a key of economic growth" yang selama ini digunakan atau "pariwisata adalah kunci bagi pertumbuhan ekonomi" hanyalah bentuk penjajahan secara halus. Sebab melalui semboyan itu pula, para kapitalis (pemilik modal) melalui lembaga keuangan dunia seperti Global Worlds dan IMF, membuai negara-negara yang memiliki keindahan alam, keragaman budaya agar menjadikan potensi yang mereka miliki tersebut sebagai pariwisata. Dengan begitu, mereka akan menawarkan pinjaman hutang luar negeri untuk pembangunan pariwisata. Selanjutnya, para kapital lebih mudah mendikte kebijakan negara serta mengeruk SDA negara sasaran atau memonopoli kebutuhan masyarakat, dengan demikian jelas kedaulatan sebuah negara terancam.
Selain itu, dengan besarnya peran kapitalis, jelas memberi lebih banyak dampak negatif, seperti konsentrasi kepemilikan bisnis pariwisata di tangan segelintir orang atau perusahaan, sehingga dapat menghasilkan ketidakseimbangan ekonomi dan sosial, serta merusak lingkungan dan budaya setempat. Hal ini bisa dilihat dari invasi budaya, karena efek invasi ini seperti efek bawaan, terkhusus bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area pariwisata.
Namun, akibat sistem ekonomi kapitalis sekuler yang berorientasi pada materi, yang menjadi pijakan negeri ini, pariwisata dijadikan sumber pendapatan negara. Sebab sektor ini dianggap memberi kontribusi pada PDB melalui devisa. Sehingga wajar saja jika pemerintah menggenjot mati-matian sektor pariwisata, hal itu terlihat dari maraknya pembangunan untuk memberikan fasilitas dan akses yang baik di daerah pariwisata.
Terlebih, selama ini Bali memang salah satu provinsi dengan pariwisata terbesar sehingga dianggap memiliki peran penting dan sangat besar kontribusinya bagi sektor pariwisata Indonesia. Sekalipun pariwisata di Bali sendiri sempat turut mengalami keterpurukan sangat drastis bahkan mencapai angka yang sangat rendah akibat pandemi.
Namun, upaya pemerintah dalam menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian negara kini seolah menjadi boomerang tersendiri, akibat perilaku para wisman yang minim attitude, sehingga membuat warga lokal Bali merasa tak lagi nyaman, apalagi keberadaan penyewaan motor ilegal, yang secara langsung memukul bisnis para penduduk lokal. Maka pertanyaannya jika alasan pemerintah melalui pariwisata adalah guna membangkitkan perekonomian negara, haruskah keamanan dan kenyamanan rakyat yang dikorbankan? Lalu siapa sebenarnya yang menerima manfaat dari itu semua?
Solusi Islam
Di dalam pandangan Islam, pariwisata bukanlah penghasil devisa negara. Bukan pula tulang punggung guna menopang perekonomian negara, sebab masih ada sumber pendapatan lainnya. Sebagaimana Rasulullah SAW ketika menjadi pemimpin di negara Islam pertama yaitu Madinah, mengambil suatu kebijakan, bahwasanya sumber pendapatan negara waktu itu bersumber dari ghanimah, zakat. Selain itu, ada juga yang bersumber dari jizyah, kharaj, dan ushr.
Sementara sumber daya alam, menurut aturan Islam, adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sekaligus haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing. Dengan proses ekonominya tidak bersifat materialistik tapi secara esensial non-eksplotatif, hanya bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian juga, artinya negara tidak membuka celah ataupun ruang gerak bagi para penjajah untuk merusak generasi maupun kedaulatan negara.
Oleh karena itu, di dalam Islam pariwisata hanya akan dikelola oleh negara menjadi sarana dakwah dan riayah. Sebab, visi negara Islam adalah sesuai manhaj Rasulullah SAW, yaitu menerapkan hukum Islam keseluruh negeri dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Artinya, negara Islam tidak akan membiarkan kemungkaran yang berkaitan dengan pariwisata terlebih jika dieksploitasi. Pariwisata hanya akan membuat masalah bagi kaum Muslim. Semua ini dilakukan demi menjaga akidah Islam dari invasi ideologi lain.
Oleh karenanya di setiap kebijakan yang diambil oleh negara Islam harus sepenuhnya sesuai dengan prinsip hukum dan nilai-nilai Islam. Sebab, tujuan pokok hukum agama Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat dan Kemaslahatan tersebut hanya akan dapat dicapai apabila seluruh sistem kehidupan, baik hukum,vekonomi, sosial dan politiknya berjalan sesuai dengan ideologi Islam, berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang
0 Comments