TintaSiyasi.com -- Indonesia menempati peringkat kedua di dunia dengan jumlah kasus penyakit tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia. Hal ini sebagaimana hasil data yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang disampaikan oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, dr Imran Pambudi pada konferensi pers daring, “Hari Tuberkulosis Sedunia 2023" yang mengangkat tema: Ayo Bersama Akhiri TBC, Indonesia Bisa." pada Jumat (17/3/2023).
Imran menyebutkan laporan tersebut berdasarkan data Global TB Report (GTR) tahun 2022 dengan perkiraan kasus TBC sebanyak 969.000 dengan incidence rate atau temuan kasus sebanyak 354 per 100.000 penduduk (Beritasatu.com, 17/03/2023).
Banyaknya kasus TBC yang terjadi di Indonesia kembali mencerminkan jika sistem kesehatan negara saat ini tidak mampu untuk mengurai akar masalah TBC, padahal TBC merupakan penyakit menular yang telah lama menghantui negeri. Pun juga semakin menyingkap adanya kegagalan dalam banyak faktor, mulai dari buruknya higiene sanitasi, buruknya upaya pencegahan, rentannya daya tahan warga, rendahnya pengetahuan warga tentang bahaya TBC, serta kegagalan dalam pengobatan penyakit tersebut.
Sebelumnya pemerintah memang telah membahas solusi terhadap penyakit TBC ini, namun nyatanya solusi tersebut tak kunjung berhasil. Patut disadari jika penyelesaian kasus TBC seyogianya membutuhkan sinergitas dari seluruh aspek dan seluruh kalangan, karena TBC tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan saja, melainkan sektor sosial dan ekonomi. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Dikdik S Nugrahawan, Penjabat (Pj) Wali Kota Cimahi.
Dia mengungkapkan, jika penyakit TBC tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan, tetapi juga pada sektor sosial dan ekonomi masyarakat, seperti masalah stunting. Hal tersebut berdasarkan WHO Global TB Report 2020, faktor kurang gizi merupakan faktor risiko tertinggi penyumbang penyakit TBC. Sehingga, TBC dan stunting merupakan hal yang tidak terpisahkan.
Dikdik juga mengungkapkan, pencegahan dan penanggulangan penyakit TBC seyogianya membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan melibatkan berbagai unsur, baik dari masyarakat umum, organisasi masyarakat, maupun dan penguasa sebagai pemegang kebijakan. Keberhasilan eliminasi TBC ini ditentukan pada kontribusi dan kolaborasi lintas sektor oleh multipihak dan seluruh lapisan masyarakat secara berkesinambungan (Pikiranrakyat.com, 15/03/2023).
Memang penyelesaian masalah ini seharusnya membutuhkan sinergitas dari berbagai pihak. Namun jika melihat dalam sistem kapitalisme hari ini, hal tersebut sulit untuk diwujudkan. Sebab kesehatan dan pengurusan rakyat yang harusnya menjadi tanggungjawab negara, justru dikomersialisasi, tak jarang pula negara hanya berfungsi sebagai regulator semata.
Misalkan, dalam sistem kesehatan yang harusnya menjadi tanggung jawab penguasa untuk memberikan kepada rakyat secara gratis justru dikomersialisasi, hal itu dibuktikan dengan mahalnya biaya kesehatan yang kian hari kian melejit. Bahkan slogan "orang miskin dilarang sakit" pun menjadi kenyataan dalam sistem hari ini.
Kemudian, bukti komersialisasi dalam sistem kesehatan pun kian tampak dengan dikeluarkannya kebijakan BPJS-Kesehatan. Rakyat disuruh untuk mendaftar BPJS kesehatan dengan dalih agar mereka mudah mendapatkan pelayanan dan mendapat biaya kesehatan dengan murah, namun nyatanya kebijakan tersebut hanyalah dalih untuk memeras rakyat. Yang mana dalam BPJS-kesehatan ada iuran tiap bulan yang wajib dibayarkan. Hal ini sama saja rakyat membayar biaya kesehatan saat mereka tidak sakit. Pun menjadi bukti jika negara berlepas tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Belum lagi, stunting yang digadang-gadang sebagai salah satu penyumbang tertinggi adanya kasus TBC pun juga belum dapat diselesaikan. Hal ini juga akibat pemenuhan kebutuhan rakyat yang juga harusnya menjadi tanggung jawab penguasa justru dibebankan kepada individu-individu rakyat, sedangkan penguasa lepas tangan.
Apalagi diperparah dengan sistem ekonomi liberal yang membuat para pengusaha dan pemilik modal berkuasa, semakin menambah derita rakyat dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makanan bergizi bagi keluarganya, alhasil stunting dan kemiskinan pun kian mendera yang bisa juga berimbas pada TBC.
Selain itu, meningkatnya kasus TBC juga semakin mencerminkan lemahnya berbagai upaya yang dilakukan oleh penguasa, meski mereka mengandeng berbagai ormas masyarakat, lembaga-lembaga ternama maupun internasional sekalipun, seperti LN dan WHO, nyatanya belum mampu mengentaskan kasus TBC, bahkan yang ada makin meningkat. Hal ini terjadi disebabkan solusi-solusi yang ditawarkan sering kali hanya menguntungkan para oligarki atau pemilik modal.
Solusi tersebut tidak menyentuh akar masalah karena akar masalah utamanya yakni sistem yang cacat sejak lahir yang telah memporak porandakan tatanan kehidupan manusia. Namun, oleh para oligarki justru berusaha untuk mengokohkannya. Maka sampai kapanpun segala masalah, termasuk TBC yang melanda umat manusia di dunia, tanpa terkecuali rakyat Indonesia tidak akan pernah usai.
Berbagai masalah tersebut, salah satunya TBC akan mampu diakhiri oleh sistem paripurna yakni Islam, sebab dia bukan hanya sekedar agama ritual semata, melainkan juga seperangkat aturan bagi kehidupan manusia hingga akhir zaman.
Islam mewajibkan kepada penguasa untuk memastikan jika setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) dan juga kebutuhan dasar (pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Tugas utama penguasa yaitu sebagai pelayan dan pelindung rakyat. Sehingga, kesehatan merupakan bagian dari kewajiban negara yang wajib diberikan kepada rakyat secara gratis dengan berbagai insfratruktur yang canggih dan dengan para dokter serta para perawat yang mumpuni di dalam bidangnya, termasuk dalam penanggulangan penyakit menular, baik TBC dan lainnya.
Negara memiliki tugas untuk membuat langkah-langkah yang komprehensif serta berbagai upaya untuk mengurai akar permasalahan tersebut secara tuntas. Ada beberapa cara yang dilakukan negara untuk mengatasi penyakit menular, yaitu:
Pertama, negara (pemimpin) menyeleksi setiap individu rakyat yang terkena penyakit tersebut dengan datang ke rumah sakit-rumah sakit ataupun puskesmas terdekat.
Kedua, setelah terdeteksi ada rakyat yang terinfeksi virus menular, seperti TBC maka negara akan memisahkan mereka di dalam ruang rawat dengan berbagai fasilitas yang canggih dan nyaman, serta dilakukan pengobatan secara rutin dan teratur hingga mereka sembuh.
Ketiga, negara juga melakukan upaya pencegahan, yang mana mengedukasi bahaya dari TBC, serta upaya-upaya apa yang harus dilakukan oleh rakyat untuk mencegah penyakit tersebut. Sehingga rakyat bisa bekerja sama untuk melakukan pencegahan agar penyakit tidak tersebar luas.
Berbagai regulasi tersebut tentunya didukung dan ditopang dengan sistem ekonomi dan sistem politik Islam, sehingga regulasi tersebut akan bisa dijalankan dengan sebaik-sebaiknya. Seperti negara memberikan berbagai biaya pengobatan secara gratis, serta memastikan jika rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan gizi yang baik. Dengan demikian, maka hanya Islam yang mampu untuk menuntaskan masalah ini. Wallahu A'alam Bishshawwab.[]
Oleh: Siti Komariah
(Freelance Writer)
0 Comments