Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tanggap Bencana Peradaban Islam


TintaSiyasi.com -- Bencana gempa di negara Turki Suriah adalah bencana besar dan memakan korban jiwa hingga berefek kerugian yang luar biasa. Bahkan gempa tersebut terjadi tidak sekali melainkan terdapat gempa susulan-susulan yang makin menambah korban dan kerugian. Gempa susulan terakhir yang kembali terjadi pada 20 Februari 2023. Berdasarkan Menteri Dalam Negeri Turki Suleyman Soylu mengatakan ada 3 orang tewas akibat gempa susulan Turki-Suriah 20 Februari 2023. Selain itu, dilaporkan sebanyak 213 korban mengalami luka-luka dan dibawa ke rumah sakit. Padahal, gempa berkekuatan M 7,8 pada 2 Februari 2023 yang lalu saja telah telah menewaskan lebih dari 41.000 orang di negara itu dan merobohkan 6.500 bangunan dan lainnya mengalami kerusakan (detik.com, 10/2/2023).

Besarnya bencana ini ternyata tidak ditopang dengan respon penyelamatan yang besar. Bahkan beberapa korban banyak yang terjebak dalam reruntuhan hingga berhari-hari karena tim evakuasi dan peralatan tidak memadai. Resat Gozlu, seorang penyintas di bagian tenggara Turki yang kini tinggal di komplek olahraga dengan keluarganya, mengatakan tim penyelamat baru sampai lokasi tiga hari setelah gempa. Di Hatay, seorang perempuan berusia 12 tahun, Cudie, diselamatkan setelah terjebak selama 147 jam (bbc.com, 12/02/2023).

Dari segi perlengkapan dan logistik juga mengalami keterlambatan. Sebagaimana pengakuan presiden Turki Recep Tayyip Erdogan terkait respons pemerintahan yang dia pimpin tidak secepat yang diharapkan. ’’Begitu banyak bangunan roboh yang sayangnya kami tidak bisa mempercepat intervensi seperti yang kami harapkan,” kata Erdogan ketika mengunjungi Adiyaman, kota di selatan Turki yang terdampak parah, seperti dilansir Aljazeera, Jumat (10/2), dalam (riaupos.jawapos.com, 11/02/2023). Erdogan juga menyebutkan, adanya penjarahan pasar serta pusat bisnis memanfaatkan kekacauan akibat gempa yang terjadi Senin (6/2) lalu itu sehingga mengganggu upaya pengiriman bantuan. Meski, Erdogan tidak secara spesifik mengungkapkan area mana saja yang dimaksud.
Lambatnya datang logistik (bantuan) berupa sandang, pangan dan papan menyebabkan kelaparan hingga kedinginan (hypotermia) akibat cuaca ekstrim. Puluhan ribu warga Turki bermalam dalam kedinginan yang menggigil di tempat penampungan darurat. Tak jarang akibat hypotermia akhirnya korban gempa meninggal di pengungsian setelah tempat tinggal mereka hancur.

Terlebih lagi di Suriah. Suriah kesulitan menerima bantuan gempa internasional lantaran negara itu tengah menghadapi sanksi Amerika Serikat dan Eropa. Padahal pihak Suriah terus menyerukan pencabutan sanksi agar bantuan dapat masuk ke negaranya. Pada saat negara tersebut membutuhkan sejumlah alat berat, ambulans, serta truk pemadam kebakaran untuk melanjutkan pencarian dan penyelamatan para korban, namun terhalang oleh sanksi internasional yang menjadi alat usang bagi internasional untuk menahan logistik ke Suriah. 

Dari fakta tersebut dapat dikatakan bahwa proses tanggap bencana terhadap korban gempa Turki Suriah yang mereka adalah kaum Muslim jauh dari gambaran yang optimal. Dan hari ini sistem yang menaungi dunia adalah sistem sekuler, maka dapat dikatakan bahwa proses tanggap bencana dalam sistem sekuler tidak sungguh-sungguh. Sangat berbeda dengan keseriusan khalifah umat Islam dalam tanggap bencana terhadap negeri kaum muslimin yang dilanda musibah. Pada saat berita sampai ke telinga khalifah, maka saat itu juga khalifah bergerak, bertindak, dan menuntaskan dengan segenap daya upaya. 

Berbicara mengenai upaya yang dilakukan khalifah ketika bencana alam terjadi atau musibah lainnya, maka dapat dilihat teladan dari Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah terjadi musim paceklik di seluruh kawasan jazirah Arab. Hal ini merupakan bencana besar bagi umat Islam. Tanaman-tanaman gagal panen, termasuk lahan-lahan di sekitar lembah Sungai Euprat, Tigris, dan Nil. Banyak orang-orang yang masuk ke Madinah untuk meminta bantuan pemerintah.

Maka dengan sigap khalifah Umar ra membentuk tim untuk menanggulangi bencana kekeringan ini. Setiap orang dari tim penanggulangan bencana ditempatkan pada pos-pos di perbatasan Kota Madinah untuk mencatat hilir mudik orang yang mencari bantuan makanan. Hingga tercatat sepuluh ribu orang yang masuk ke dalam Madinah dan lima puluh ribu orang yang masih berada di daerah asalnya. Khalifah Umar segera menyalurkan bantuan kepada orang yang berada di luar Madinah dan menampung orang yang mengungsi. Pertolongan pertama terhadap logistik dan bantuan makanan dari negara dilakukan tepat waktu. Khalifah Umar memberikan segalanya hingga tidak ada yang dapat diberikan. 

Menyadari kondisi kritis tetap berlanjut, Khalifah Umar mengerahkan pemerintahan di bawahnya yakni Abu Musa di Bashrah dan Amru bin Ash di Mesir. Beliau menyurati gubernur tersebut untuk memberikan bantuan. Khalifah menulis surat yang berisi, “Bantulah umat Muhammad, mereka hampir binasa”.

Kemudian kedua gubernur mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar hingga mencukupi kebutuhan pangan rakyat yang mengalami musibah kekeringan, sehingga resiko kematian dapat dicegah, sekalipun ajal adalah kehendak Allah SWT. Khalifah Umar bin Khattab mengayomi rakyatnya. Ia bahkan terjun langsung menjadi pelayan bagi rakyatnya yang membutuhkan bantuan sampai khalifah tubuhnya kurus dan kulitnya menghitam akibat melayani korban kekeringan. Umar radhiyallahu’anhu berkata, “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.”

Selain itu Khalifah Umar pun senantiasa terus menguatkan keyakinannya dengan bermunajat kepada Allah melalui doa meminta turun hujan bersama paman Nabi, Abbas.

Hal tersebut adalah perlakuan khalifah terhadap masyarakat dalam negeri nya sendiri. Namun, perlakuan terhadap internasional ternyata tidak jauh berbeda. Khalifah menaruh empati dan tanggung jawab kemanusiaan yang luar biasa terhadap masyarakat luar negeri. Sangat berbeda dengan perlakuan masyarakat internasional terhadap Suriah. 

Di pertengahan abad ke-19 atau pada tahun 1845 hingga 1852, bencana kelaparan terjadi di Irlandia sampai menyebabkan lebih dari satu juta kematian.

Kelaparan di Irlandi terjadi karena panen kentang yang gagal akibat hawar kentang atau penyakit busuk daun yang disebabkan organisme mirip jamur. Kentang merupakan makanan pokok di Irlandia pada saat itu. Dampak dari peristiwa tersebut, terjadi kelaparan massal, penyakit, hingga kematian.

Sultan Dinasti Turki Utsmani atau Ottoman saat itu, Sultan Abdulmejid I, menyampaikan niatnya untuk membantu Irlandia. Sultan Abdulmejid I kala itu hendak mengirimkan 10.000 poundsterling atau sekitar lebih dari 179 juta rupiah. Namun, bantuan ini tidak bisa diterima oleh pemerintah Inggris karena Ratu Victoria hanya mengirimkan bantuan sebesar 2.000 poundsterling.

Karena itu, Sultan Abdulmejid I hanya diperbolehkan mengirim bantuan sebesar 1.000 poundsterling atau tidak lebih dari bantuan Ratu Victoria. Akhirnya, Sultan Abdulmejid I mengirimkan 1.000 poundsterling beserta tiga kapal penuh makanan secara diam-diam. Pengadilan Inggris mencoba memblokir kapal tersebut, namun makanan sudah tiba di Pelabuhan Drogheda dan ditinggalkan di sana oleh pelaut dari Ottoman.

Di tempat itulah kemurahan hati Kekaisaran Ottoman masih dikenang oleh penduduk setempat, bahkan hingga 173 tahun kemudian. Peringatan dan informasi tentang bantuan tak terlupakan dari Kekhalifahan Turki Utsmani ini diabadikan di museum di Dublin, dengan sebuah plakat di dinding gedung pusat Drogheda. Plakat ini diresmikan pada tahun 1995 oleh Wali Kota Alderman Godfrey dan Duta Besar Turki untuk Irlandia saat itu, Taner Baytok.

Isi tulisan plakat tersebut, “The Great Irish Famine of 1847–In remembrance and recognition of the generosity of the People of Turkey towards the People of Ireland (Kelaparan Besar Irlandia tahun 1847-Untuk mengenang dan mengakui kemurahan hati Rakyat Turki terhadap Rakyat Irlandia).”

Demikianlah kemurahan hati sangat khalifah yang disertai keberanian menerobos pelabuhan Drogheda untuk menyelamatkan nyawa manusia. Khalifah tidak mencabut bantuannya walaupun ada aturan Ratu Victoria, melainkan, sebaliknya mengirimkan tiga kapal penuh makanan dengan strategi agar dapat menerobos hingga sampai tujuan. 

Berkat usaha tersebut banyak orang telah terbebas dari kematian. Berbanding terbalik dengan bencana Turki Suriah dimana banyak orang terjebak dalam kematian. 

Khalifah dalam Islam menyadari bahwa ia akan mempertanggungjawabkan posisinya sebagai pemimpin. Sebagaimana hadits riwayat Bukhari, “Imam (waliyul amri) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”

Oleh karena itulah, kepemimpinan Islam dan kepemimpinan sekuler dalam menanggapi bencana sangat jauh berbeda. Maka, sudah seharusnya, hanya kepemimpinan Islam sajalah yang layak mengatur dunia termasuk menangani bencana. []


Oleh: Shela Rahmadhani, S.Pt.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments