Sahabat TintaSiyasi.com
TintaSiyasi.com -- Kehadiran media sosial di era digital seperti saat ini, ibarat sebuah pedang bermata dua. Satu sisi memang menawarkan berbagai kemudahan bagi para penggunanya untuk saling berkomunikasi, mengakses dan men-share informasi, atau bahkan sekedar menaikkan eksistensi diri. Namun, di sisi lain akan menjadi boomerang baik bagi penggunanya maupun orang lain. Penggunaan media sosial yag liar dan keluar batas bahkan bisa merusak ketertiban dan tatanan sosial masyarakat.
Media sosial juga menyediakan ruang terbuka bagi orang-orang yang menginginkan popularitas. Alhasil, ada yang rela melakukan apa saja demi viral di dunia maya. Mulai dari membuat konten memalukan, tidak berfaedah, hingga konten yang membahayakan nyawa sendiri. Belakangan, beberapa kasus kematian akibat pembuatan konten media sosial kerap terjadi.
Salah satunya menimpa seorang wanita berinisial W (21) di Bogor yang tewas akibat membuat konten video call bersama teman-temannya. Peristiwa berawal saat sang korban dalam video menerangkan ke teman-temannya hendak membuat konten bunuh diri dengan kain yang dililitkan dilehernya, namun tiba-tiba kursi yang diinjaknya terpeleset hingga benar-benar jatuh. Begitu melihat korban terlilit, segera teman-temannya bergegas menuju rumah kontrakan korban, namun naas nyawa W sudah tak tertolong (kaskus.co.id, 04/03/2023).
Kemudian, seorang remaja di Cikarang Utara berinisial FA, 13 tahun, tewas terlindas truk pada 12 Juli 2022 saat membuat konten yang tren di aplikasi TikTok. Mirisnya, tewasnya FA bukan pertama kali terjadi. Pasalnya, sudah banyak nyawa remaja melayang sia-sia demi konten yang disebut "prank malaikat maut" ini.
Inilah potret kelam pemuda milenial yang jauh dari kata produktif. Sistem sekularisme dan kapitalisme telah menyia-nyiakan bahkan menyesatkan potensi besar yang mereka miliki. Generasi muda, dengan kemahiran mereka menggunakan teknologi berbasis internet, adalah kelompok yang paling berperan aktif di media sosial, namun sekaligus paling rentan. Dan sayangnya, kemahiran ini tidak diimbangi dengan ketangguhan moral, adab, dan pondasi nilai-nilai agama, khususnya agama Islam. Akibatnya, banyak generasi muda yang kehilangan jati diri di tengah gempuran kemajuan teknologi komunikasi. Mereka linglung terbawa arus modernisasi dan tak segan melakukan apapun demi “viral” atau meraih pundi-pundi uang.
Lihatlah bagaimana tren membuat konten media sosial, baik youtube, instagram, tiktok ataupun yang lainnya, telah menjangkiti masyarakat Indonesia, terutama kaum muda. Banyaknya para "konten kreator" atau "influencer" yang berhasil meraup kekayaan, telah menjadi inspirasi bagi kaum muda. Mereka memandang, inilah cara mudah dan instan untuk menghasilkan uang. Mereka tidak peduli lagi dengan bermanfaat atau tidaknya konten-konten yang mereka buat. Hal ini wajar terjadi dalam sistem kehidupan sekuler dan kapitalisme yang memandang sumber kebahagiaan adalah materi belaka.
Ketika materi dijadikan tolak ukur kebahagiaan dan kesuksesan, maka membuat konten yang bisa dilihat orang banyak memang jawaban yang paling logis. Apalah gunanya bersusah payah mencari ilmu, jika ujung-ujungnya susah mencari kerja. Apa gunanya repot-repot berkreasi atau berinovasi, jika hal yang mudah saja, seperti membuat konten, bisa menjadi sumber penghasilan yang besar. Pandangan-pandangan yang biasa beredar di tengah masyarakat semacam ini, jelas telah menurunkan taraf berpikir para pemuda. Padahal, di pundak merekalah beban perubahan dan kemajuan jaman diletakkan.
Pemerintah, sebagai tonggak utama berdirinya sebuah bangsa dan negara pun nyatanya tidak berbuat banyak. Bahkan terkesan tidak menyadari bahwa para pemuda bangsa sedang dibajak dan dijajah oleh pemikiran barat. Fenomena CFW (Citayam Fashion Week) yang sempat viral di pertengahan tahun 2022 lalu adalah salah satu buktinya. Banyak oknum pemerintah yang justru mengapresiasi aktivitas anak-anak putus sekolah ini.
Dapat disimpulkan bahwa rendahnya taraf berfikir remaja atau pemuda saat ini bukan hanya disebabkan oleh masalah individu pemuda itu sendiri, melainkan merupakan masalah sistemik yang juga harus diselesaikan secara sistematis. Generasi muda saat ini tidak mampu memahami tujuan hidupnya disebabkan fakta sistem kehidupan masyarakat yang ada dihadapan mereka adalah sistem sekulerisme yang memisahkan aturan agama dari kehidupan, serta kapitalisme yang hanya memandang segala sesuatu dari banyaknya materi. Dengan demikian, untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa ini, sistem sekuler dan kapitalisme ini harus dihentikan penerapannya secara total.
Islam Memaksimalkan Potensi Pemuda
Gambaran seorang pemuda muslim dalam sebuah sistem Islam, adalah pribadi yang tangguh dan beriman kepada Allah dan Rasulullah. Selama kejayaannya, Islam berhasil mencetak pemuda-pemuda berkualitas tinggi yang mampu menjadi pemimpin dan agen perubahan. Sebutlah Mushab Bin Umair, pemuda pemberani dan cerdas yang menjadi tonggak berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah. Kemudian Muhammad Al Fatih yang telah bertekad menaklukkan Konstantinopel (Turki) sejak kecil dan akhirnya mampu mewujudkan tekadnya, sekaligus mewujudkan bisyaroh Rasulullah SAW, pada usia 21 tahun. Serta masih banyak lagi pemuda-pemuda Islam yang layak diteladani oleh generasi milenial masa kini.
Islam adalah ideologi yang memancarkan aturan lengkap dan sempurna bagi manusia. Aturan yang berasal dari Al Khaliq yang memahami benar fitrah manusia. Apabila aturan itu diterapkan sepenuhnya, niscaya berbagai persoalan manusia akan menemukan solusinya. Islam akan menjaga terlaksananya seluruh hukum-hukum Allah secara komprehensif melalui tiga aspek, yaitu aspek individu, kontrol masyarakat, dan peran negara. Satu-satunya jalan untuk mengembalikan fitrah dan potensi generasi muda adalah segera menerapkan sistem kehidupan Islam secara kaffah (total dan menyeluruh). Wallahu a'lam bisshawab
0 Comments