TintaSiyasi.com -- Lagi, janji itu terucap untuk kesekian kalinya. Saat kontestasi 2014 awal janji dilafazkan. Tahun 2019, musim kontestasi lagi, janji pun berulang lagi. Janji menuntaskan pelanggaran HAM berat di masa lalu, di akhir masa jabatannya, janji itu berulang lagi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (dw.com, 16/03/2023).
Pada saat yang bersamaan, Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Instruksi tersebut ditujukan kepada hampir seluruh menteri.
Ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang janjinya akan dituntaskan. Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Talangsari Lampung 1989, Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999, Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Simpang KKA Aceh 1999, Wasior Papua 2001-2002, Wamena Papua 2003, Jambo Keupok Aceh 2003.
Seberapa Serius?
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa baru di ujung masa jabatan baru bergerak? Padahal janjinya pas kampanye, sebelum terpilih. Parahnya, ujung masa jabatan setelah 2 periode, artinya sudah dua kali lima tahun. Publik menduga ini hanyalah pencitraan, berhubung tahun politik sudah diambang mata. Sebab belum ada tokoh bulat utuh yang merepresentasikan koalisi rezim.
Faktanya, ribuan nyawa manusia tak berdosa, yang tak tau apa-apa, telah melayang di 12 peristiwa itu. Sebutlah peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985 diperkirakan sekitar 10 ribu orang meninggal (tempo.co, 28/11/2021).
Atau peristiwa Kerusuhan Mei 1998, berdasarkan catatan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) ada 1.217 orang meninggal (katadata.co.id, 13/05/2019). Itu baru di dua peristiwa. Tentu akan lebih banyak lagi korban jiwa jika ditambah 10 peristiwa lainnya.
Lalu, dikemanakan suara rakyat yang menuntut pengungkapan kasus-kasus tersebut? Janji penuntasannya hanya jadi lip servis saat musim kontestasi.
Demikianlah kenyataan hidup di sistem kapitalisme. Nyawa manusia tak lebih berharga dibandingkan proyek-proyek yang menghasilkan cuan seperti IKN atau kereta cepat. Semestinya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat ini disegerakan agar korban bisa mendapatkan keadilan. Sebaliknya, sistem sekuler demokrasi ini telah menyebabkan tiga pilarnya saling sandera yang berakibat menjadikan rakyat sebagai korban untuk menyelamatkan kepentingan mereka.
Jadi, seberapa seriusnya sistem sekuler demokrasi kapitalisme ini menjamin keadilan pada rakyat? Diduga kuat sangat kecil keseriusannya jika tak mau dikatakan nol persen.
Islam Menjamin Keamanan Jiwa dan Keadilan
Berharganya nyawa manusia hanya ada di sistem Islam. Islam memberikan perlindungan yang kuat pada darah dan jiwa seorang manusia. Allah SWT menetapkan bahwa pembunuhan satu nyawa manusia yang tak berdosa sama dengan menghilangkan nyawa seluruh manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah Al-Maidah ayat 32 yang artinya:
"Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.“
Hal senada diungkapkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabda beliau yang artinya: “Hilangnya dunia beserta isinya sungguh lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim dengan tidak benar”. [HR. Ibnu Majah (2668), Tirmidzi (1395), Nasai (3998) dengan sanad shohih].
Pembunuhan manusia tanpa alasan yang dibenarkan oleh Syara' adalah dosa besar. Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya: “Jauhilah tujuh (dosa) yang membinasakan!” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau menjawab, “Syirik kepada Allâh, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq…” (HR al-Bukhari).
Penerapan syariat Islam oleh negara akan menjamin keamanan jiwa manusia dan memenuhi rasa keadilan. Negara Islam akan segera mengusut tuntas dan memberikan hukuman yang setimpal (qisas) bagi pelaku pembunuhan.
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan." (QS. Al-Baqarah: 178).
Sanksi dalam Islam memberikan efek jawabir (penebus dosa) bagi pelaku dan zawajir (pencegah) agar orang lain tak melakukan kemaksiatan yang sama. Dengan asas akidah Islam, konsekuensi keimanan, maka seberat apapun sanksi dalam Islam selalu dapat diterima oleh akal dan menenteramkan jiwa. Sebab Islam adalah rahmatan lil alamin. Wallahu a'lam bishshowab.[]
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Muslimah Aktivis Dakwah)
0 Comments