TintaSiyasi.com -- Negeri ini kembali meraih peringkat tinggi, tak tanggung-tanggung, posisi kedua tertinggi di Asia berhasil diraihnya. Namun sayang peringkat tinggi ini bukan dalam hal prestasi namun justru hal yang tak pantas untuk dipuji. Ya, Indonesia, negeri ini telah menduduki peringkat negara kedua di Asia yang terbanyak terjadi kasus perselingkuhan berdasarkan hasil survei aplikasi Just Dating. (Tribunnews.com 18/02/2023)
Sungguh miris melihat fenomena ini. Berkaca dari peringkat memalukan yang diterima negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, semakin menunjukkan adanya kecacatan dalam tata kelola kehidupan yang digunakannya saat ini Kecacatan itu dimulai dari tingkat individu, masyarakat hingga negara.
Kecacatan di tingkat individu disebabkan karena saat ini kaum Muslimin semakin jauh dari pemahaman agama. Meski mereka terlahir sebagai seorang muslim, tapi mereka tidak paham hakikat penciptaan diri mereka. Kebanyakan memahami bahwa hidup ini hanya untuk mencari kesenangan atau materi, hingga mereka lupa akan mati, lupa akan adanya pertanggung jawaban di yaumil hisab nanti.
Ketika seorang Muslim mampu memahami hakikat penciptaan dirinya, dia akan meletakkan standar yang benar dalam setiap langkahnya. Standar yang sempurna dari Sang Pencipta, yakni tentang halal dan haramnya aktivitasnya. Oleh sebab itulah Islam mewajibkan umat muslim untuk menuntut ilmu [HR. Ibnu Majah].
Dengan ilmu dia akan tahu bahwa Allah SWT. senantiasa mengawasinya, dengan ilmu dia tahu batasan bergaul laki-laki dan perempuan yang dibolehkan syara, dengan ilmu pula dia tahu bahwa setiap perbuatan ada balasannya. Bisa jadi saat ini balasannya ringan, tapi di akhirat semua akan dibalas setimpal. Sedang hukuman teringan di akhirat adalah ketika di neraka ia memakai sandal yang keduanya dapat mendidihkan otaknya [HR. Muslim]. Na'udzubillah.
Selanjutnya kecacatan pada lingkungan dan negara. Ini disebabkan karena banyak masyarakat yang semakin apatis, mereka hanya peduli pada diri mereka dan keluarga. Padahal masyarakat ibarat penumpang sebuah kapal, jika penumpang di bagian bawah melubangi kapal dan penumpang di bagian atas membiarkan, maka seisi kapal akan binasa [HR. Bukhari].
Maka kerusakan meski sedikit tidak boleh dibiarkan. Misalnya ketika ada perbuatan yang mengarah pada zina seperti pacaran, berdua-duaan dengan yang mahram, masyarakat haruslah sigap mengingatkan hingga melaporkan. Namun aktivitas amar makruf nahi mungkar ini sangat perlu dukungan negara. Bahkan negaralah yang harusnya menjadi tameng utama.
Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai. Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung.." [HR Muslim].
Namun saat ini kita dapati justru negaralah yang membuat masyarakat kian takut untuk saling menegur. Terkait zina sendiri, pemerintah baru saja mensahkan KUHP baru yang di dalamnya mengatur terkait siapa saja yang boleh mengadukan pelaku zina dan kumpul kebo di ruang privat. Ruang gerak masyarakat benar-benar makin dibatasi. Pelaku kemaksiatan justru berlindung di balik jargon hak asasi. Belum lagi sistem sanksi yang tidak memberi efek jera sama sekali. Hingga pelaku tak takut selingkuh meski berulangkali.
Demikianlah hasil ketika kehidupan berjalan di atas asas sekularisme. Selingkuh bukanlah hal tabu, ikatan suci pun menjadi kian rapuh. Semua ini hanya mampu diperbaiki jika kita membuang jauh-jauh sekulerisme. Allah SWT. berfirman, "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" [TQS. Al Maidah : 50]
Oleh: Noor Dewi Mudzalifah
Pegiat Literasi
0 Comments