TintaSiyasi.com -- Menyongsong tahun pemilu 2024, perpolitikan nasional akan diwarnai dengan berbagai kubu politik yang membawa visi masing- masing untuk kemajuan bangsa. Penggiringan opini publik untuk mendukung para calon tertentu kian meningkat, ditambah dengan pemutar balikan fakta yang dilakukan oleh sekelompok orang demi memuluskan jalannya rencana mereka. Pemandangan yang lumrah bagi masyarakat menyaksikan kegaduhan politik nasional, bahkan isu-isu masa lampau kembali diungkit demi menjatuhkan atau menaikkan pamor calon tertentu. Menabur benih-benih kebencian menjadi satu hal penting yang gencar ditampilkan ke ranah publik. Masyarakat dengan pemahaman politik yang baik akan menilai bahwa hal itu merupakan bumbu dalam meracik suasana politik berirama, sebab bila hanya tenang tanpa adanya riuh dengan gelombang suara dari arah yang berlawanan seolah tidak sedang terjadi pesta demokrasi.
Aktualisasi demokrasi hari ini mengalami banyak penyimpangan dalam proses pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah. Merujuk pada survei pemilu serentak 2019 yang berlangsung 27 April hingga 5 Mei 2019 dengan menggunakan multistage random sampling yang diadakan oleh Lembaga Ilmpu Pengetahuan Indonesia dengan rilis hasil pada Rabu 28 agustus 2019, ditemukan bahwa hasil survei menunjukkan tujuan dasar yang pertama belum tercapai karena hanya 16, 9% responden mengaku memilih caleg/partai pendukung calon presiden dan wakil presiden pilihannya. Sementara itu, tujuan dasar yang kedua tidak terpenuhi sebab 74% responden survei publik dan 82% responden tokoh merasa dusulitkan oleh hal hal teknis selama pemilu serentak 2019. Kualitas pemilu pun menjadi sorotan, pasalnya responden menilai (91,2%) regional (74,7%) nasional yang berhjalan dengan adil dan jujur. Fakta dari lapangan juga dibenarkan oleh responden 47,4 % terjadi politik uang dan mirisnya 46,7% menganggang politik uang uang itu hal yang wajar. Implementasi yang sebenarnya tidak bisa dibohongi, bahwa teorinya mengatakan demokrasi harus berjalan jujur dan adil serta membuat masyarakat gembira namun faktanya hal sebaliknya terjadi yakni pemilu bisa diintervensi dan masyarakat ditakuti, diarahkan bahkan diancam untuk memilih paslon tertentu.
Ambisi Kekuasaan
Bukan hal baru bila tujuan politikus mencalonkan diri dalam pemilu tentu ingin menjadi pemimpin atau pemegang tampuk kekuasaan. Konsekuensinya ialah seorang pemimpi harus mengeluarkan banyak tenaga, pikiran, maupun materi untuk duduk sebagai pemimpin. Dikutip dari situs forbes biaya untuk menjadi presiden sekitar 7 triliun, bukan angka yang kecil untuk menyiapkan dana sebesar itu. Maka pengamat menilai untuk menjadi calon presiden dibutuhkan banyak cukong untuk mendanai kampanye. Tentu dana yang didapatkan tidaklah gratis, melainkan harus diganti nanti setelah duduk sebagai pemimpin. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak kebijakan yang diputuskan pemerintah tidak memberi manfaat yang besar untuk rakyat melainkan untuk para pengusaha yang memiliki banyak perusahaan.
Di mulai dari masa kampanye yang saat ini tengah gencar partai politik mengincar tokoh tokoh nasinonal yang bersinar di mata rakyat, para cukong akan memprediksi kepada siapa ia akan menginvestasikan dananya untuk biaya kampanye sebab bila salah beri akan rugi lima tahun ke depan. Koordinasi dengan intelijen demi memastikan arah dan ancaman dari sisi laur maupun dalam negeri. Para calon juga terlihat santai dan berwibawa dan seolah bersahabat dengan para lawan politiknya walaupun di forum diskusi beradu argumen dan saling bertikai. Hal ini hanya tampilan luar saja yang sebenar nya terjadi justru bisa 180 derajat, ada berbagai kemungkinan yang dilakukan oleh mereka saat tidak tersorot oleh publik serta rencana tersembunyi yang disisipkan oleh berbagai pihak tertentu. Uniknya, masyarakat kita menilai ini perbedaan yang sangat jauh akan terjadi hal yang sangat fantastis bila calon A atau calon B yang terpilih. Padahal calon-calon tersebut tidaklah jauh berbeda karena mereka juga diatur oleh atasan mereka yakni sang pemberi dana saat kampanye. Semua keputusan politik harus dengan persetujuan para atasan. Pengetahuan seperti ini harus dijelaskan dengan baik kepada rakyat agar tidak lagi terjadi pengkotak-kotakan dalam elemen masyarakat.
Dorongan Partai Politik
Syarat untuk mencalonkan diri sebagai presiden ialah mencapai ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold, yang berarti syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentasi perolehan suara yang didapat partai politik dalam pemilu untuk dapat mencalonkan presiden. Oleh karena itu, partai politik menghendaki ada kadernya yang menjadi calon untuk maju sebagai presiden agar mendongkrak elektabiilitas serta memanage kebijakan pemerintah 5 tahun mendatang. Dalam ketentuannya seorang yang terpilih bukan lagi menjadi bawahan partai yang bisa diatur sedemikian rupa hingga menganulir kebijakannya, namun hingga saat ini partai punya andil besar dalam menentukan arah bangsa agar sesuai dengan cita-cita serta visi partai tertentu. Kebobrokan yang dilukiskan oleh para petinggi negara hari ini bukan murni kesalahan mereka, akar masalah ada pada rakyat kita yang masih percaya pada mereka yang selalu menjanjikan hal serupa namun tak terlaksana dengan baik.
Sumpah yang diikrarkan ketika dilantik menjadi pejabat bila direnungi dengan baik setiap kata akan begitu berat menjalankan amanah dari rakyat untuk memberiakn keadilan tanpa pandang bulu dan memberi kesejahteraan kepada rakyat dengan mengelola negara secara efisien.
Eksistensi berjuang untuk rakyat pada mulanya para pejabat yang mencalonkan diri sebagai calon pelayan rakyat yang siap disusahkan siang dan malam untuk mengurusi kepentingan rakyat merasakan hidup yang serba kekurangan atau merasa tidak puas dengan para penguasanya hingga ia merasa terpanggil untuk memperbaiki sistem pemerintahan yang ada.
Para akademisi yang seharusnya punya porsi lebih banyak juga tak sedikit yang terbawa arus pengkotak-kotakan opini publik seolah hal itu penting dalam situasi bangsa seperti ini. Masa depan bangsa ini bila tidak diarahkan serta diukur dengan matang akan segera dihabisi oleh negara-negara maju yang terus eksis dengan kekuatan menjadi sang pemimpin di dunia. []
Oleh: Sabarnuddin
Mahasiswa Sejarah Universitas Negeri Padang
0 Comments