TintaSiyasi.com -- Berbagai negara di belahan dunia sempat mengalami goncangan ekonomi hingga berdampak pada negara lain misalnya Inggris, Srilangka, dan lainnya. Tidak hanya itu ternyata resesi seksual tak kalah membuat negara-negara dunia turut cemas karena menurunnya populasi manusia di negara tersebut.
Seperti misalnya Korea Selatan yang selalu mengalami penurunan angka kelahiran. Populasi Korea Selatan telah mulai menyusut sejak mencapai puncaknya pada tahun 2020 sebesar 51,84 juta. Pada 2022 Jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh wanita seumur hidupnya hanya 0,79 sedangkan pada 2021 nilainya berada di 0,81 menandai setiap tahunnya mengalami penurunan. Angka tersebut jauh lebih rendah dari tingkat penggantian 2,1 yang akan membuat populasi Korsel stabil di 51,5 juta (CNBC Indonesia, 27/01/2023).
Kabar duka tersebut juga datang dari Jepang yang tengah dihantui oleh resesi seks. Jepang mencatat angka kelahiran kurang dari 800 ribu pada 2022. Data bank dunia mengungkap bahwa penduduk Jepang didominasi oleh lansia sedangkan usia produktif terus mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh tinggi biaya hidup, perempuan memilih sedikit anak dan childfree, perempuan lebih fokus pada karier dan mudahnya akses kontrasepsi (detikHealth.com, 29/01/2023).
Negeri tirai bambu juga mengalami kasus yang sama, hasil riset liga pemuda komunis cina mencatat bahwa 50% wanita perkotaan malas menikah. Pada tahun 2021 data survei yang dirilis liga pemuda komunis China 44% wanita di kota tidak mau menikah dan 25% responden laki-laki mengatakan hal yang sama. Hal ini dipicu oleh tingginya biaya hidup, biaya pernikahan, tidak percaya akan pernikahan dan adanya budaya 9-9-6. Di mana warga Jepang bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam selama 6 hari sehingga tidak ada waktu lagi untuk membina keluarga. Berbagai cara dilakukan China untuk meningkatkan populasi manusia lagi salah satunya dengan memberikan subsidi pada pasangan yang memiliki tiga anak atau lebih (CNBC Indonesia, 12/01/2023).
Resesi Seksual, tetapi Perzinahan Makin Menjadi
Istilah resesi seksual merujuk pada kurangnya keinginan Individu atau pasangan untuk melakukan hubungan seksual dan melanjutkan ke jenjang pernikahan hingga tidak mau memiliki anak. Para pemuda memilih untuk melajang dan perempuan memilih untuk childfree. Paham ini lahir dari rahim sekularisme yang berasaskan pada kebebasan berekspresi. Akibatnya semua orang bebas melakukan apa saja sehingga angka perzinaan semakin tinggi tetapi angka untuk melanjutkan keturunan dan membina keluarga menurun sampai mengancam populasi negara tersebut.
Ada beberapa alasan pasangan dan perempuan memilih untuk tidak memiliki diantaranya tingginya biaya hidup, perempuan dituntut menjadi wanita karier dan banyaknya alat kontrasepsi menjadi bukti bahwa pernikahan dalam sistem sekularisme hanya memandang materi saja, bukan tujuan pernikahan tersebut. Mereka menganggap anak sebagai penghalang tumbuhnya karier. Di samping itu dengan liciknya sekularisme meraup cuan dari alat kontrasepsi untuk pemenuhan nafsu semata para pemuda melajang untuk jadikan bisnis.
Selain itu ada faktor penyebab terjadinya resesi seks di antaranya yaitu:
Pertama, tujuan hidup hanya untuk materi. Hal ini diakibatkan oleh standar hidup yang hanya memperoleh materi semata. Sehingga kesuksesan yang hakiki menurut meraka adalah harta, tahta, dan kepopuleran. Sebagaimana yang telah menjadi ciri khas dari sistem kapitalisme yaitu keuntungan. Hingga akhirnya manusia disibukkan untuk dengan pekerjaan sehingga tidak ada waktu untuk membina keluarga. Ditambah lagi dengan budaya hedonisme memandang bahwa pernikahan itu harus mewah di hotel tentu itu membuat para lajang takut menikah.
Kedua, lemahnya tanggung jawab negara. Salah satu yang menjadi alasan pasangan untuk tidak memiliki anak adalah perihal ekonomi. Pendidikan mahal, harga pangan molonjak tinggi dan lainnya akan terasa menjadi beban bagi keluarga. Seharusnya negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan kesejahteraan bagi seluruh penduduknya. Bahwa pemerintah bertanggung jawab atas berlangsung pendidikan secara gratis. Tetapi hari ini semua lini kehidupan di komersilkan menjadi pundi-pundi cuan. Ini lah yang membuat para pasangan takut memiliki anak karena beban ekonomi.
Ketiga, paham feminisme merusak tatanan rumah tangga. Kaum feminisme atau kesetaraan gender menganggap pernikahan adalah instansi yang menghambat pertumbuhan feminisme. Karena dalam keluarga, istri harus patuh pada suami sedangkan hal tersebut adalah suatu hal terlarang dalam kesetaraan gender. Maka semakin banyak pejuang kesetaraan gender secara tidak langsung akan memusnahkan pernikahan.
Pernikahan dalam Islam
Rasulullah memberikan peringatan bagi umat Islam dalam sebuah hadis bahwa pernikahan adalah sunahnya beliau apa bila tidak menjalankan sunahnya bukanlah bagian dari golongan Rasulullah. "Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat)" (HR. Ibnu Majah).
Tujuan pernikahan ialah untuk melanjutkan keturunan dengan cara yang halal dimata syariah dan mendidik generasi penerus menjadi pejuang. Sebagaimana Allah telah memberikan manusia gharizah nau (naluri berkasih sayang) dan aturan-aturan bahwa hubungan intens perempuan dan laki-laki hanya dalam ikatan pernikahan. Sehingga alat-alat kontrasepsi tidak menjadi pelampiasan untuk pemenuhan nafsu semata bagi para pemuda yang memilih jalan untuk malajang.
Selain itu terjadinya krisis tujuan hidup. Segala bentuk kebahagiaan oleh sekuler diukur dari kekayaan padahal kebahagiaan yang sebenarnya ketika manusia taat pada aturan Allah. Akibatnya resepsi pernikahan pun dipandang harus mahal dan mewah padahal dalam Islam tidak pernah memberikan patokan uang untuk biaya pernikahan yang terpenting adalah sesuai aturan syariat.
Di sini negara memiliki peran penting dalam meriayah dengan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pernikahan, agar tidak terjadi pelencengan seperi budaya tidak mau menikah dan childfree serta menjamin kesejahteraan penduduk baik segi ekonomi, pendidikan, dan kebutuhan. Sehingga tidak menjadikan biaya kehidupan menjadi penghalang untuk melakukan pernikahan. Terjepitnya masyarakat akan beban biaya membuat mereka memilih tidak menikah dengan alasan agar tidak menambah beban kehidupan.
Allah telah memberikan kabar gembira kepada kita bahwa akan membuka pintu rezeki bagi orang-orang menikah. “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur: 32). Maka negara juga memiliki peran penting mengokohkan akidah masyarakat agar mereka yakin akan janji-janji allah. []
Oleh: Putri Cahaya Illahi
Aktivis Muslimah
0 Comments