TintaSiyasi.com -- Baru-baru ini kita mendengar kasus yang masih menjadi misteri yaitu meninggalnya seorang mahasiswa UI yang menjadi korban kecelakaan di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jaksel pada Kamis (6/1/2023) malam WIB. Kasus ini disebut masih menjadi misteri sebab tindakan Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Selatan (Satlantas Polrestro Jaksel) menetapkan Muhammad Hasya Atallah Saputra sebagai tersangka kasus kecelakaan lalu lintas sebagai bentuk rekayasa kasus.
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) pun merasa tindakan kepolisian itu seperti mirip ulah Irjen Ferdy Sambo dalam kasus kematian Brigadir J. kata Ketua BEM UI, Melki Sedek Huang dalam siaran pers kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (28/1/2023) mengungkapkan bahwa fenomena ini seperti Sambo jilid dua. Kepolisian semakin hari semakin beringas dan keji, kita lagi-lagi dipertontonkan dengan aparat kepolisian yang hobi memutarbalikkan fakta dan menggunakan proses hukum untuk jadi tameng kejahatan. BEM UI memastikan siap mengawal kasus tersebut hingga tuntas. BEM UI akan terus bersuara demi tercapainya keadilan bagi almarhum Hasya dan keluarganya (republika.co.id, 29/01/2023).
Penetapan ini mengundang kritik di tengah masyarakat dan makin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negeri ini. Pada akhirnya terbaru, dilansir dari detikNews (6/2/2023), Polda Metro Jaya menyampaikan hasil gelar perkara khusus dalam kasus kecelakaan yang melibatkan mahasiswa Universitas Indonesia (UI), M Hasya Attalah Syaputra (18), dengan purnawirawan polisi, Eko Setio Budi Wahono. Ada dua rekomendasi dalam gelar perkara, salah satunya mencabut status tersangka Hasya.
Dari kejadian ini keanehan hukum di negeri kita kembali terjadi. Ketika korban meninggal justru dijadikan tersangka. Kasus ini menjadikan profesionalisme penegak hukum dipertanyakan. Profesionalisme menjadi salah satu hal penting yang harus dimiliki dalam profesi apapun. Apalagi pada institusi penegak hukum. Karena dari penegakkan hukum akan muncul keadilan.
Di dalam kapitalisme, hukum sering dan dapat diperjual belikan. Profesionalisme tidak lagi menjadi satu hal penting dalam menjalankan profesi apalagi penegak hukum. Sebab, dasar dari kapitalisme adalah sekularisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya dijadikan solusi Ketika membahas persoalan akhirat. Bukan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Akhirnya aturan yang diberlakukan saat ini adalah aturan buatan manusia. Maka wajar, jika saat ini banyak aturan ataupun keputusan yang lahir dari kepentingan masing-masing. Inilah kapitalisme, maka jika kita mengharapkan keadilan pada sistem ini tidak akan terwujud.
Sungguh berbeda dengan sistem Islam yaitu khilafah. Khilafah sangat menjunjung tinggi supremasi hukum. Sebab, hukum Islam berasal dari syariat Allah SWT dan penegakkan hukum adalah bagian dari syariat Islam yang harus dilaksanakan dalam kehidupan. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman adillah kamu para penegak keadilan karena Allah.” (QS. Al-Maidah : 8).
Keadilan akan terwujud jika kedaulatan kita letakkan pada sang pembuat hukum, yaitu Allah SWT. Merujuk pada kasus almarhum Hasya jika kita hukumi dalam sistem syariat Islam maka sangat mudah mendapat keadilan. Dalam khilafah, kasus tersebut dapat terkategori sebagai pembunuhan tersalah. Sebab, pembunuhan yang terjadi bukan dengan sengaja namun menjadi jalan terbunuhnya seseorang. Di dalam Islam, kasus seperti ini akan ditangani oleh qadhi muhtasib atau peradilan yang akan menyelesaikan perkara-perkara yang berkaitan dengan hak-hak jamaah.
Peradilan muhtasib akan mengkaji semua masalah yang berkaitan dengan hak umum. Setelah mendapat laporan dari masyarakat maka akan langsung dikaji dan diselesaikan. Hasil yang akan ditetapkan sebagai keputusan bersifat mengikat. Tidak akan bisa diganggu gugat oleh siapapun dan tidak akan bisa dipengaruhi oleh apapun.
Seperti itulah keadilan islam. Maka, peradilan islam dalam khilafah akan mewujudkan peradilan yang adil berdasarkan pertimbangan hukum syariat.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Pipit Ayu
Aktivis Muslimah
0 Comments