Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Anak Menjadi Pelaku Kejahatan Seksual: Bukti Bobroknya Kapitalisme


TintaSiyasi.com -- Bocah Taman Kanak-kanak (TK) di Mojokerto diduga telah menjadi korban pemerkosaan tiga anak Sekolah Dasar (SD). Korban mendapat perlakuan tak senonoh secara bergiliran dan dugaan kasus ini sudah ditangani aparat kepolisian setempat.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Mojokerto Ajun Komisaris Polisi Gondam Prienggondhani membenarkan bahwa pihaknya menerima laporan kasus tersebut. "Sementara dalam proses penyelidikan," ujarnya, Jumat (20/1/2023).

Kuasa hukum korban, Krisdiyansari menceritakan, peristiwa perkosaan itu terjadi pada 7 Januari 2023 lalu. Terduga pelaku merupakan tetangga korban dan teman sepermainan korban (liputan6.com, 20/01/2023).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyesalkan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh siswi taman kanak-kanak (TK) berusia 5 tahun di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur yang para pelakunya masih berusia anak.

Kami turut prihatin dan sangat menyesalkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Tidak hanya korban, tetapi ketiga pelaku juga masih berusia anak, yaitu 8 tahun. Kami mendapatkan laporan bahwa perbuatan para pelaku sudah sekitar 5 kali. Kami masih terus memantau dengan dinas pengampu isu perempuan dan anak di daerah sekaligus mencari tahu latar belakang kejadian tersebut. Kami menghargai pengasuh korban yang melaporkan keluhan korban dan gerak cepat dari orang tua korban yang segera melaporkan kasus ini ke Polres Kabupaten Mojokerto dan P2TP2A Kabupaten Mojokerto, ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, di Jakarta (20/1) (kemenpppa.go.id, 20/01/2023).


Negara dengan Kapitalisme sekulernya Gagal Membentuk Generasi Berakhlaqul Karimah

Sistem kehidupan kapitalisme yang berakidahkan sekuler nyata gagal membentuk generasi berakhlaqul karimah. Pengamat masalah perempuan, anak, dan generasi dr. Arum Harjanti menegaskan ini adalah malapetaka dahsyat dan menunjukkan kebobrokan negara dalam mengurus rakyat.

Tidak ada kata yang mampu terucap untuk menunjukkan rasa keprihatinan yang sangat mendalam akan peristiwa tragis ini. Sungguh merupakan aib besar bangsa ini, bahkan malapetaka dahsyat. Peristiwa ini menunjukkan betapa gagalnya negara ini dalam mengurus rakyatnya, sampai-sampai terjadi tindak kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh tiga anak berusia 8 tahun, ungkapnya miris kepada MNews, Sabtu (21/01/2023).

Ia memandang, kasus ini menjadi tamparan keras bagi semua pihak, baik keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, dan tentu saja negara.
Negaralah pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus ini. Negara telah gagal mengurus rakyatnya dalam berbagai aspek, cetusnya (muslimahnews.net, 22/01/2023).

Menurut dr. Arum Harjanti, setidaknya ada 3 faktor penyebab yang saling berpengaruh dan saling terkait mengapa kekerasan seksual begitu marak, termasuk kekerasan seksual pada anak.

Faktor pertama adalah dari segi pengasuhan orang tua. Perilaku rusak pada anak tentu ada kaitannya dengan pengasuhan orang tua. Pengasuhan yang tepat tentu membutuhkan ilmu pengasuhan. Faktanya, saat ini negara belum memberikan bekal yang cukup untuk para calon orang tua, baik dalam kurikulum pendidikan maupun bimbingan calon pengantin menjelang pernikahan. Bimbingan pernikahan seringnya hanya sekadar formalitas, bahkan banyak dari calon orang tua yang hanya sekedar membeli sertifikat.

Faktor kedua adalah dari segi kurikulum pendidikan hari ini, yang cenderung belum, bahkan tidak memberikan bekal yang cukup untuk menjadi orang tua, suatu peran yang hampir pasti akan dijalani oleh semua manusia jika masanya datang. Pendidikan saat ini justru berorientasi menjadikan peserta didik sebagai tenaga kerja. Apalagi, dengan derasnya kampanye kesetaraan gender, calon ibu justru didorong untuk menjadi pekerja daripada disiapkan menjadi ibu. Belum lagi kurikulum moderasi beragama makin menjauhkan peserta didik dari pemahaman terhadap agama (Islam) yang benar.

Kurikulum pendidikan yang juga berkiblat pada nilai-nilai Barat —yang didasarkan kepada hak asasi manusia dan liberalisme makin tertanam dalam benak peserta didik. Jadilah hanya kesenangan dunia yang dicari, makin menjauhkan gambaran pentingnya peran orang tua dalam keluarga. Nyaris tidak terwujud kesiapan menjadi orang tua dengan segala peran dan tanggung jawabnya.

Faktor yang ketiga adalah sistem kehidupan/paradigma kehidupan yang diterapkan. Penerapan ekonomi kapitalisme membuat kehidupan makin sulit dan sempit. Mahalnya harga-harga kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan), juga disaat bersamaan lapangan pekerjaan yang tersedia semakin sempit dan terbatas, menciptakan tren menunda pernikahan di kalangan masyarakat. Marak adanya fenomena hidup lajang, hidup bersama tanpa menikah, friend with benefit, hingga childfree. Keberadaan anak dianggap sebagai beban ekonomi keluarga. Ketika tuntutan kehidupan makin tinggi, akhirnya memaksa ibu ikut bekerja, pengasuhan anak makin terabaikan. Peran ibu sebagai pendidik pertama dan utama semakin tergerus oleh tuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Media di dalam kapitalisme yang juga sekuler karena jauh dari asas agama membuat berbagai jenis konten (termasuk konten dewasa) bebas berkeliaran mengabaikan tayangan ramah anak. Akibatnya, anak dapat mengakses tayangan yang tidak layak dikonsumsi anak-anak. Dengan literasi digital yang rendah, dan nyaris tanpa pendampingan orang tua, anak-anak yang masih “bau kencur” menjadi korban serangan pengaruh buruk media di dunia kapitalisme. Apalagi adanya penanaman persepsi yang salah, seperti taat pada agama dianggap radikal, amar makruf nahi mungkar dianggap intoleran, perempuan memiliki hak penuh atas tubuhnya, dan sebagainya. Terjadilah kerancuan kepribadian anak, kerancuan dalam menetapkan benar-salah dan terpuji-tercela. Akibatnya anak terjerumus pada perilaku yang rusak karena mencontoh apa yang telah disuguhkan oleh media.


Akidah Islam, Solusi bagi Maraknya Kekerasan Seksual Anak

Semua itu tidak akan terjadi apabila aturan Allah dijadikan sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akidah Islam akan menjadi benteng setiap individu untuk selalu terikat pada aturan Allah. Akidah Islam juga akan menjadi panduan bagi penguasa dalam membuat setiap kebijakan dan aturan.

Dari segi pendidikan, negara akan menerapkan aturan dan kurikulum yang bersumber dari akidah Islam. Penguasa wajib menyediakan Pendidikan secara gratis dengan kualitas yang terbaik. Negara memastikan bahwa generasi muda bukan hanya baligh, melainkan juga akil (paham hukum syariat) sehingga siap mengemban dan melaksanakan seluruh syariat Islam.

Pendidikan juga akan berdampak langsung kepada gaya pengasuhan anak. Dalam Islam, saat seorang manusia terlahir, Islam sudah memandangnya bahwa ia akan menjadi penerus generasi bangsa dan menjadi penentu bagaimana kelak nasib suatu bangsa. Oleh karena itu sejak dini anak-anak sudah diberi pendidikan aqidah Islam yang kuat dan kokoh, memastikan ia memiliki tsaqofah Islam yang matang sehingga akan senantiasa berpikir sebelum bertindak. Mengetahui bahwa setiap perbuatannya kelak akan diminta pertanggungjawaban di akhirat membuat umat Islam akan senantiasa mengedepankan sikap wara’ (berhati-hati) dalam setiap melakukan amal. Saat usianya sudah matang dan dirasa sudah siap untuk menikah, maka para calon orang tua akan diberikan pembekalan serta pendidikan pra-nikah yang berbasis aqidah Islam, sehingga mereka akan membangun rumah tangga di atas asas beribadah kepada Allah dan akan melahirkan generasi penerus yang sholih/sholihah, jadi persiapannya tidak instan seperti di kapitalisme hari ini.

Dari segi media, negara akan memastikan bahwa media menjadi corong syiar Islam, dengan semangat amar ma’ruf nahi munkar. Penguasa akan menutup segala pintu-pintu kemaksiatan yang ada pada media, seperti akses judi online, pornografi, situs-situs yang menjadi sarana kemaksiatan akan ditutup rapat-rapat oleh negara. Jika pemilik situs bersikeras menyediakan konten kemaksiatan, pihak bersangkutan bisa diberi hukuman yang berat lagi keras untuk memberi efek jera.

Penguasa menjaga pemikiran umat agar bersih, mulia, dan dipenuhi dengan semangat melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari kemungkaran dan kemaksiatan. Penjagaan itu dilakukan dalam semua aspek tanpa mengabaikan perkembangan teknologi. Bahkan, teknologi di dalam Islam justru berkembang pesat agar hidup manusia menjadi lebih mudah dan semakin meningkatkan peran umat manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Akan tetapi semua itu hanya mungkin terwujud dalam sistem Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah.

Tegaknya kembali khilafah juga merupakan kabar gembira dari Rasulullah SAW sebagaimana dalam sabda Beliau SAW, “Lalu akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan. Ia juga ada dan atas izin Allah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Kemudian beliau diam.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ath-Thayalisi, dan Al-Bazzar).

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Cita Rida
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments