TintaSiyasi.com -- Banyaknya anak yang terlantar di jalanan guna dipaksa untuk mengemis, ngamen, dan kekerasan seksual terjadi karena kurangnya keamanan anak.
Belakangan ini, isu kasus penculikan anak makin masif di sejumlah daerah. Bahkan dinyatakan darurat. Anak yang diculik dipaksa ngemis, menjadi korban hasrat seksual, hingga organ tubuhnya dijual. Sejumlah pemerintah daerah (pemda) seperti di Semarang, Blora, hingga Mojokerto pun sampai mengeluarkan surat soal isu pencegahan penculikan anak beberapa waktu terakhir. Namun alih-alih menangani, polisi di sejumlah daerah justru menyatakan kasus penculikan anak itu hoaks. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra mengatakan, meski polisi menyatakan hal tersebut hoaks, alangkah baiknya masyarakat agar tetap mawas diri. Para orang tua untuk memfilter informasi yang hoaks, di samping tetap memastikan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak. “Kemudian aparat keamanan juga meningkatkan kemanan di tempat-tempat yang rentan untuk anak seperti bangunan kosong, lingkungan perhutanan warga serta tempat lain yang harus dipetakan," kata Jasra kepada Tirto, Jumat (3/2/2023) (tirto.id, 4 Februari 2023).
Berbagai motif penculikan anak menjurus pada satu garis besar, yaitu kemiskinan. Kasus di Makassar dilakukan oleh pelaku remaja karena tergiur imbalan Rp1,2 miliar dari tawaran jual beli ginjal di media sosial. Pelaku menjalankan aksinya dengan mengajak korban yang tengah menjadi juru parkir di depan minimarket untuk membersihkan rumahnya dengan iming-iming Rp50 ribu.
Korban pun mau saja ikut pelaku setelah diiming-imingi bayaran Rp50 ribu itu. Andai ia bukan dari keluarga miskin, anak usia 11 tahun sepertinya akan mewarnai hidup dengan belajar di rumah dan sekolah, bukan di jalanan yang rawan terjadinya tindak kriminal.
Memang bukan semata karena kemiskinan. Ada banyak faktor penyebab maraknya tindakan kriminal, termasuk penculikan. Faktor utama adalah ketakwaan kepada Allah SWT. Andai saja para pelaku tersebut beriman pada Allah dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT. telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, mereka tidak akan melakukan cara haram untuk mendapatkannya.
Namun, bagaimana bisa ketakwaan tumbuh pada diri mereka, sedangkan mereka lahir di tengah sistem kehidupan sekuler? Sedari kecil mereka tidak mengenal agamanya secara utuh. Mereka tidak paham berbagai nilai ajaran Islam, seperti bahwa nyawa manusia lebih mulia dari dunia dan isinya, pembunuhan adalah kejahatan paling besar, wajib mencari nafkah dengan cara halal, wajibnya seorang ayah menafkahi anak dan istrinya, dan sebagainya.
Kehidupan sekuler sungguh telah melahirkan berbagai tindak kriminal. Ini karena kebebasan tingkah laku menjadi konsekuensi logis dari paham ini. Masyarakat merasa bebas berbuat untuk kepentingan mereka sendiri, tidak peduli merugikan orang lain atau tidak.
Negara pun alih-alih menyelesaikan masalah, malah memicu terjadinya tindak kejahatan, secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, menetapkan sejumlah kebijakan yang ternyata kontradiktif terhadap penyelesaian tindak kriminal, termasuk penculikan anak.
Kebijakan terkait dengan perekonomian rakyat melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja, misalnya, melegalkan perusahaan untuk mengupah murah pekerjanya, bahkan mem-PHK mereka. UU Minerba juga jelas-jelas memihak korporasi untuk makin menguasai kekayaan yang sejatinya milik rakyat. Dua kebijakan ini saja sudah merugikan rakyat kecil yang kemudian makin menambah angka kemiskinan. Akhirnya, akibat kemiskinan, suburlah tindak kriminal, termasuk penculikan anak.
Belum lagi kebijakan lain terkait perlindungan anak. Payung hukum memang telah ada, hanya saja, sanksinya sangat tidak menjerakan. Pasal 83 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan pelaku penculikan anak diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit 3 tahun, serta ancaman pidana berupa denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta. Bagaimana bisa sanksi begini bikin pelaku jera?
Belum bicara realitas hukum di negeri ini yang tampak mudah diperjualbelikan. Asal ada uang, hukuman bisa ringan, bahkan pelaku dibebaskan. Alhasil, tindakan kuratif untuk menyelesaikan persoalan penculikan tidak berjalan efektif. Begitu pula tiadanya tindakan preventif, masyarakat begitu mudah mengakses media sosial yang mengajarkan kejahatan dan pornografi, memicu maraknya penculikan dan pelecehan seksual.
Barang haram narkoba dan miras juga masih marak beredar. Padahal, barang-barang haram ini jelas-jelas menjadi awal malapetaka, tetapi tidak kunjung mendapat penyelesaian. Bahkan, miras masih bisa beredar menjadi pendapatan ekonomi meski dengan dalih terbatas dan terlindungi oleh regulasi.
Allah SWT berfirman QS. Al-anbiya ayat 107:
ÙˆَÙ…َآ اَرْسَÙ„ْÙ†ٰÙƒَ اِÙ„َّا رَØْÙ…َØ©ً Ù„ِّÙ„ْعٰÙ„َÙ…ِÙŠْÙ†َ
"Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam."
Sejatinya, peran negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara sempurna menjadi faktor terbesar terjadinya keburukan di tengah rakyat, termasuk kasus penculikan. Ini karena tatkala syariat Islam ditegakkan, fungsi negara bukan sekadar regulator sebagaimana sistem hari ini, melainkan sebagai junnah (perisai) dan raain (pengurus) rakyat.
Menurut Islam, negara harus berada di garis terdepan untuk melindungi rakyatnya, terlebih pada generasi sebab mereka adalah mutiara umat yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Negara akan melindungi mereka dari segala macam mara bahaya. Mereka akan di didik dengan pemahaman akidah Islam, baik di sekolah maupun rumah. Mereka pun akan dijauhkan dari pemahaman kufur, seperti budaya liberal.
Negara juga akan memberikan sanksi yang menjerakan, termasuk pada pelaku penculikan. Hukuman bagi pelaku penculikan adalah takzir, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh khalifah. Hukuman bagi pembunuhan ataupun perusakan tubuh adalah qisas, yaitu hukuman balasan yang seimbang bagi pelakunya.
Selain melindungi, negara akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya. Sandang, pangan, dan papan, serta kesehatan, keamanan, dan pendidikan, semua akan dijamin oleh negara.
Oleh karenanya, kasus penculikan anak akan selesai jika syariat Islam diterapkan dalam sistem kehidupan umat. Sistem pemerintahan Islam (khilafah) akan bersungguh-sungguh dalam menciptakan kesejahteraan dan kehidupan yang aman sentosa. Tindak kriminal pun akan minim, bahkan hilang sama sekali.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Ai Sopiah
Aktivis Muslimah
0 Comments