Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mogok Tanggung Jawab, Tabiat Pengecut Kapitalisme?

TintaSiyasi.com -- Puluhan tahun beroperasi, perusahaan tambang besar PT. Freeport Indonesia makin memperlihatkan dampak negatifnya dari hari ke hari. Eksploitasi sumber daya alam yang perusahaan ini lakukan telah membabat habis potensi lingkungan di sekitarnya. Mengutip data dari Komunitas Peduli Lingkungan Hidup Timika (Lepemawi), sebanyak 6000 orang di Kabupaten Mimika mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas keseharian mereka akibat dari limbah tailing yang dihasilkan oleh Freeport.

Limbah ini menimbulkan sedimentasi dan pendangkalan sungai, yang akhirnya berpengaruh pada terhambatnya jalur transportasi, krisis air bersih, juga hilangnya sumber protein karena banyaknya ikan ditemukan mati terapung di permukaan sungai. Tak hanya itu, pengendapan limbah tailing juga merusak mesin perahu para nelayan, membuat mereka kehilangan mata pencaharian, menimbulkan penyakit gatal pada anak, bahkan sejumlah pulau juga telah hilang karena tertutup oleh limbah hasil tambang tersebut (VoAIndonesia.com 1/2/2023).


Berlindung di Balik Izin

Persoalan ini lantas diangkat ke forum DPR pada 1 Februari lalu dengan mengikutsertakan Koordinator Umum Lepemawi Adolfina Kuum dan Paulus Kemong dari Yayasan Lorents. Dalam forum tersebut, Adolfina menyatakan bahwa pihaknya telah mengadakan 6 kali pertemuan dengan Freeport dan belum ditemukan jalan keluar terkait masalah ini. Paulus pun turut menguatkan pernyataan Adolfina, ‘’Freeport ini selalu mengelak dan selalu menghindar di setiap persoalan yang telah terjadi, terutama terkait masalah lingkungan yang saat ini sedang masyarakat hadapi’’, ujarnya pada pihak VoA 1/2/23 lalu.

Mengulik respon Freeport yang terus mengelak dan seakan lari dari persoalan, rupanya perusahaan afiliasi antara Freeport McMoRan Copper and Gold Inc. dan Indonesia itu telah mendapat izin resmi dari Pemerintah Provinsi Papua terkait pembuangan limbah tailing ke sungai-sungai di Kabupaten Mimika. Melalui Surat Keputusan Gubernur nomor 504 tahun 2002, Freeport berhasil memperoleh izin untuk membuang limbah tailing hasil produksi mereka ke empat sungai yakni Aghawagon, Otomona, Ajkwa, dan Minajerwi.

Meskipun mendapat izin, dokumen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat bahwa pembuangan limbah oleh perusahaan ini sudah berangsung lama sejak 1974 melalui sungai Aghawagon dan Ajkwa. Artinya, dalam kurun waktu tersebut aktivitas pembuangan yang mereka lakukan tergolong ilegal.

Izin bukanlah solusi yang tepat untuk hal ini. Diizinkan atau tidak, ilegal atau legal, faktanya persoalan seperti ini sama-sama merugikan masyarakat dan menguntungkan mereka para pemilik perusahaan.


Apa dan Siapa Penyebabnya?

Pada dasarnya, eksploitasi SDA memanglah merusak pemandangan (landscape) dan selalu menghasilkan limbah. Hal ini tidak bisa dihindari karena mau tidak mau merupakan proses alamiah yang pasti terjadi. Oleh karena itu, tentu harus ada upaya-upaya yang mesti dilakukan untuk setidaknya meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas eksploitasi tersebut. Seperti pengelolaan limbah hingga layak dibuang, pemanfaatan limbah kembali, atau dengan membangun sarana dan fasilitas umum yang mampu memperkecil dampak negatif akibat limbah.

Upaya-upaya di atas sudah semestinya dilakukan oleh pihak yang mengelola tambang sebagai bentuk tanggung jawab mereka terhadap lingkungan. Begitupun dengan kasus kali ini, tentu saja Freeport wajib mewujudkan upaya-upaya tersebut, mengingat dampak kerusakan yang terjadi semakin parah dan mengganggu kelangsungan hidup orang banyak.

Namun jika pihak yang seharusnya bertanggung jawab saja enggan dan justru mengelak, lantas bagaimana dengan mereka yang nasibnya dirugikan? Alih-alih mendapatkan haknya, suara mereka saja tak kunjung direspon bahkan didengar.

Setidaknya ada dua faktor global yang menyebabkan persoalan ini tak kunjung usai:

Pertama, perlu kita ingat bahwa Indonesia saat ini menganut sistem ekonomi kapitalisme yang berbasis pasar bebas. Dimana kepemilikan harta tidak ditentukan berdasarkan porsinya masing-masing. Harta apapun itu mulai dari tanah, lahan perkebunan, pertambangan, bahkan pulau pun bebas dimiliki oleh siapapun, termasuk individu perorangan. Kapitalisme menjunjung tinggi nama kebebasan. Ide inilah yang menimbulkan kerakusan dan mendorong manusia untuk terus mendapatkan apa yang dia inginkan, sekalipun harus melanggar atura dan merampas harta milik orang lain.

Kedua, ekonomi kapitalisme berprinsip pada keuntungan semata. Cari keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Pengelolaan limbah membutuhkan teknologi tinggi dan biaya yang besar. Perusahaan tambang besar tentu enggan mengeluarkan ongkos yang tak sedikit, justru mereka terus berupaya untuk menekan modal sekecil mungkin.


Dibutuhkan Mekanisme yang Tepat

Berbeda dengan kapitalisme, Islam telah mengatur segenap persoalan anak Adam di segala bidang, termasuk pemanfaatan sumber daya alam. Dalam Islam, kepemilikan harta diatur langsung oleh Allah dalam tiga jenis; kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al-Amwal fii Daulatil Khilafah, menyebutkan bahwa barang tambang yang jumlah depositnya banyak dan tidak terbatas merupakan harta milik umum bagi seluruh kaum Muslim. Sehingga tidak boleh dimiliki secara perseorangan maupun beberapa orang. Juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya.

Emas termasuk dalam kategori barang tambang yang jumlah depositnya banyak dan tak terbatas. Oleh karena itu, negara wajib melakukan eksploitasi barang tambang tersebut mewakili segenap kaum Muslim. Kemudian memasukkan hasil keuntungannya ke Baitul Mal, untuk nantinya disalurkan kembali kepada kaum Muslim sebagai pemiliknya. Penyaluran tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk sarana umum gratis seperti sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, masjid, rumah sakit, dan lain-lain.

Di samping itu, keuntungan bukanlah prinsip dan tujuan Islam dalam mengatur perekonomian negara. Adanya perindustrian seperti pertambangan semata didirikan untuk melaksanakan perintah Allah, yakni mengayomi dan mewujudkan kemaslahatan bagi umat. Dengan mengacu pada kemaslahatan, Islam akan meminimalisir bahkan mencegah segala aktivitas yang dapat menimbulkan kemadharatan bagi warganya. Negara Islam tidak akan lari dari tanggung jawab-dalam kasus ini-mengelola limbah. Karena kewajiban bagi negara adalah mengurusi segala kepentingan hidup rakyatnya.

Kerusakan lingkungan dan degradasi potensi alam seperti ini tentu tidak akan terjadi apabila pengelolaan SDA dilakukan dengan benar sesuai aturan, karena barang tambang merupakan kekayaan bumi yang sangat besar resiko pengolahannya. Mekanisme ala kapitalisme dalam mengelola SDA sudah terbukti gagal berkali-kali dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, dibutuhkan mekanisme yang jelas dan terstruktur terkait hal ini.

Dalam praktiknya selama 13 abad, Islam telah berhasil membuktikan kepiawaiannya dalam mengatur seluruh persoalan hidup manusia, termasuk mengelola aset bumi seperti minyak bumi, batu bara, maupun barang tambang. Islam terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan di muka bumi, karena mekanisme yang dipakai merupakan mekanisme yang Allah turunkan langsung melalui Rasul-Nya. Namun, mekanisme cemerlang seperti ini hanya mampu diterapkan melalui sebuah institusi besar selevel negara. Yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kita seluruh individu. Maka dari itu, merupakan kewajiban bagi kita semua untuk mewujudkan institusi tersebut. Institusi inilah yang pernah menaungi 2/3 wilayah dunia selama kurun waktu 13 abad. Tak lain dan tak bukan adalah Daulah Islam ala minhajin nubuwwah.

Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Zahira F.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments