TintaSiyasi.com -- Rakyat dan pejabat merupakan warga negara yang sama kedudukannya dalam hak dan kewajiban. Namun saat ini, banyak sebagian rakyat berebut menjadi pejabat demi menaikkan harkat dan martabat sesaat.
Setelah ramai wacana perpanjangan masa periode Presiden, kini berduyun-duyun ribuan kades se-Indonesia, juga menuntut hal yang sama. Mereka mengajukan usulan terhadap perubahan UU No.6 tahun 2014, padal 39 tentang Desa. Dari 6 tahun menjabat menjadi 9 tahun. (Kompas.com, 22/1/2023)
Unjuk rasa yang bertempat di depan gedung DPR RI ini juga melahirkan ancaman penggembosan suara parpol pada pemilu 2024. Ketua DPR Puan Maharani pun menyatakan akan mendiskusikan hal tersebut dengan pemerintah. Dirinya yakin, tuntutan ini akan mendapat persetujuan.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Abdul Halim Iskandar menilai perpanjangan ini akan menimbulkan beberapa manfaat. Desa akan lebih sejahtera dengan waktu jabatan yang lebih panjang, dan warga tidak terpengaruh dinamika politik dengan pemilihan kades. Sementara Pakar Hukum dan Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari, menilai tuntutan ini bisa berbuntut peluang terjadinya korupsi. Apalagi jika ketentuan kebolehan kades menjabat 3 periode tidak diubah. Bisa berakibat 27 tahun menjabat, rentang masa yang pernah terjadi pada orba.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah juga menilai wacana ini akan berpotensi penyalahgunaan wewenang dan maladministrasi. Hal ini berkaitan dengan penggunaan dana desa, yang digelontorkan pemerintah sebesar 1 miliar. Tidak ada pengawasan dan penindakan dari lembaga pemerintah. Padahal data KPK menunjukkan selama kurun 2012-2021 terdapat 600-an kades yang terlibat korupsi. (Mediaindonesia.com, 22/1/2023)
Kondisi penyalahgunaan wewenang dan maladministrasi telah banyak ditemukan dalam periode jabatan lama (6 tahun), apalagi jika diperpanjang hingga 9 tahun. Hal ini akan semakin memperluas dan menambah kecurangan maupun penyalahgunaan kekuasaan.
Jargon Demokrasi Tiada Bukti
Kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat menjadi jargon demokrasi yang diagungkan, tapi dalam pelaksanaan tidak seindah yang dibayangkan. Banyak realita yang menunjukkan rakyat hanya dijadikan obyek penderita belaka. Sementara pelaku utama dalam kekuasaan adalah para pengusaha yang dibantu penguasa boneka negara adidaya. Mahar politik demokrasi yang mahal menjadi sebab hubungan pengusaha dan penguasa. Walhasil makin lama jabatan penguasa akan memuluskan hubungan mesra antara keduanya. Makin banyak manfaat berupa perjanjian yang menguntungkan keduanya, ketika masa jabatan diperpanjang. Ijin pembebasan lahan, pendirian usaha, kesepakatan upah pekerja merupakan contoh kecil hubungan tersebut.
Akhirnya rakyat pun menjadi korban keserakahan para kapitalis dan penguasa. Banyak aturan yang sengaja dibuat untuk melegalkan kepentingan keduanya. Rakyat pun hanya dipakai topeng ketika berebut kursi meraih kekuasaan. Dalih untuk kemakmuran seluruh rakyat, realita hanya segelintir rakyat pemilik modal yang dimakmurkan secara nyata. Sementara 'rakyat biasa' hanya penikmat sisa-sisa mereka.
Sehingga wajar, banyak pejabat dalam sistem sekuler kapitalis yang ingin mempertahankan kekuasaan karena kenikmatan dan fasilitas dari jabatan. Istilah 'aji mumpung' seakan merebak di seluruh pejabat kalangan atas sampai bawah, termasuk para kadesnya.
Sistem sekuler yang menganulir aturan agama dengan buatan manusia, menjadi sebab utama. Ketika kekuasaan tidak berlandaskan aturan agama sebagai penahan nafsu manusia. Korupsi, suap-menyuap, jual-beli jabatan, pemalsuan laporan/anggaran seolah menjadi hal yang wajar dan biasa. Padahal dari sisi hukum sipil maupun agama, hal tersebut merupakan kejahatan yang luar biasa.
Tetapi, ketika hukum sipil bisa dibeli dengan uang, maka terjerat hukum dalam sistem sekuler tidak membuat takut dan jera. Mujur jika tidak ketahuan, malang bila kecolongan. Tinggal berharap dan tenang, nanti ada pertolongan bagi yang memiliki cuan.
Kekuasaan, Amanah yang Dipertanggungjawabkan
Negeri ini telah mengakui dalam falsafahnya Pancasila, untuk Ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Makna sebenarnya adalah mengimani Tuhan yang satu. Secara jumlah, mayoritas pemeluk agama negeri ini adalah muslim. Maka jika pedoman negara diambil dari Islam, hal ini wajar. Namun anehnya, justru kaum muslim dipaksa untuk menerima aturan yang bukan dari Islam.
Padahal jika berpedoman dengan Islam, maka Allah Swt. telah membuat seperangkat aturan kehidupan yang lengkap buat seluruh umat manusia. Baik Muslim, maupun non-Muslim diatur secara adil tanpa menzalimi satu dengan yang lain. Seperti halnya dalam kekuasaan, Islam menggariskan bahwa kekuasaan adalah amanah yang mesti dipertanggungjawabkan kepada pemilik kekuasaan tertinggi (As-Syari'), Allah Swt. Seseorang yang dipilih sebagai pejabat yang berkuasa, maka dia harus dipercaya dapat memegang amanah tersebut, baik dari sisi keimanan maupun kemampuan. Muslim yang bertakwa akan berpikir matang-matang, sebelum menerima jabatan. Dalam hadis dijelaskan yang artinya :
"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin" (HR.Muslim)
Kita pun bisa melihat teladan Rasulullah Saw. ketika sebelum mengangkat Muadz bin Jabal sebagai gubernur Yaman. Sahabat Muadz dicecar dengan pertanyaan seputar dengan apa beliau akan menghukumi wilayah yang dipimpinnya. Maka jawaban beliau memuaskan Rasulullah ketika beliau selalu berpijak pada Al-Qur'an dan As-Sunnah dan berijtihad berdasar keduanya.
Sehingga jelaslah bahwa hanya dengan aturan Islam kaffah, terwujud pemimpin amanah, yang tidak berebut kursi demi mempertahankan posisi. Amanah tidak hanya sekadar slogan, namun menjadi tekad kuat yang mesti dipertanggungjawabkan di masa yang telah ditentukan.
Wallahu'alam bishshawwab.[]
Oleh: Nita Savitri
Aktivis Dakwah
0 Comments