TintaSiyasi.com -- Indonesia adalah negara yang subur dan kaya akan sumber daya. Bahkan ada yang menggambarkan negeri ini dengan peribahasa Gemah Ripah Loh Jinawi, yang artinya memiliki kekayaan yang berlimpah, bahkan syair sebuah lagu "Tongkat, kayu, dan batu jadi tanaman" mewaikili tanah Indonesia yang sangat subur. Namun, kondisi masyarakat di negeri ini, tak sejahtera di tengah kondisi alamnya yang kaya.
Eksploitasi tambang emas Grasberg yang dikelola PT Freeport Indonesia kini menuai bencana bagi keberlangsungan masyarakat Papua, terutama di Kawasan Mimika. Limbah tailing akibat proses pengolahan tambang telah merusak sungai-sungai di Kawasan tersebut. Freeport mendapat untung, sementara rakyat menjadi buntung.
John NR Gobay, anggota DPRP dari Kabupaten Mimika menjelaskan dari hasil kunjungan kerja ke Mimika dan laporan masyarakat ada masalah di areal Freeport, terkait pendangkalan yang terjadi di muara-muara sungai yang ada di areal Freeport dan di luar wilayah yang diizinkan untuk pembuangan limbah tailing. (voaindonesia.com, 01/02/2023)
Masalah pendangkalan tersebut, lanjutnya, menyebabkan masyarakat di tiga distrik, yakni Agimuga, Jit, dan Mansari di Mimika mengalami dampak buruk akibat pembuangan limbah tailing di sungai-sungai tersebut, yakni masyarakat di sekitar sungai-sungai itu kehilangan mata pencarian.
Adolfina Kuum, koordinator umum Komunita Peduli Lingkungan Hidup (Lepemawi) Timika, mengatakan limbah tailing yang mengisi sunga-sungai, membuat perahu nelayan tidak bisa bergerak dan banyak kesulitan hidup yang harus dihadapi masyarakat. Krisis air bersih juga terjadi di banyak kampung di kawasan itu. Masyarakat adat juga mendesak pemerintah dan DPR, segera memerintahkan PT Freeport Indonesia untuk mengganti kerugian yang dialami warga dan lingkungan.
Penggiat lingkungan dari Yayasan Lorentz Timika sekaligus koordinator umum Komunitas Peduli Lingkungan Hidup, Dolfina Kum, Dolfina mengungkapkan Freeport tiap hari membuang 300 ribu ton limbah tailing ke sungai.
Masyarakat di tiga distrik, Agimuga, Jita, dan Manasari tidak lagi memiliki akses jalur transportasi sungai karena terjadi sedimentasi dan pendangkalan akibat pembuangan limbah tailing Freeport di Sungai Ajikwa Wanogong.
Dalam enam pertemuan dengan PT Freeport, kata Adolfina, tidak ditemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah itu. Bahkan, dia menyebut Freeport tidak bersedia membangun jembatan di atas sungai yang dipenuhi limbah tailing itu, agar masyarakat tetap dapat beraktivitas.
Anak-anak juga mengalami gatal-gatal, sementara orang tua mereka tidak kuasa membawanya ke rumah sakit. Karena sungai yang makin penuh limbah tailing, perjalanan menjadi panjang dan mahal.
Fakta pembuangan limbah tailing di Papua yang sangat merugikan masyarakat, menunjukkan bukti nyata keserakahan sistem kapitalis dalam mengelola SDA. Keserakahan tersebut mengabaikan penjagaan lingkungan yang penting bagi masyarakat. Pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kejadian ini adalah penguasa. Karena penguasalah yang memberi izin eksploitasi tambang emas Freeport. Bahkan, pembuangan limbah tailing mendapat izin dari pemerintah provinsi Papua. Perizinan tersebut tertulis di dalam surat keputusan Gubernur No. 540/2002.
Kalaupun ada upaya yang dilakukan penguasa untuk menyelesaikan masalah ini, penyelesaian yang akan dipilihpun belum tentu bisa menyelesaikan persoalan masyarakat Papua. Sering kali solusi yang diberikan hanya akan menguntungkan investor.
Rakyat Papua yang seharusnya merasakan dampak kekayaan alamnya, justru malah mendulang penderitaan berkepanjangan. Hal ini karena penerapan sistem kapitalisme yang membuka pintu liberalisasi SDA dan investasi asing. Terlebih lagi, sebagian besar wilayah Papua merupakan wilayah usaha pertambangan. Nyaris, di semua wilayah usaha tambang di Indonesia selalu menghasilkan konflik dengan masyarakat setempat, seperti hak tanah terampas, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana.
Islam memiliki aturan tertentu dalam pengelolaan SDA. Hasil pengelolaannya akan memperhatikan kemaslahatan masyarakat dan memperhatikan AMDAL. Agar pengelolaan SDA tidak merusak lingkungan.
Kekayaan alam seperti barang tambang, minyak bumi, laut, hutan, air, sungai, jalan umum yang jumlahnya banyak dan dibutuhkan masyarakat, merupakan harta milik umum. Hal ini merujuk pada hadis Nabi ï·º, “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud).
Pengelolaan harta milik umum tersebut dikelola oleh negara sehingga masyarakat bisa menikmati atau memanfaatkannya. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan, itu hanya sebatas biaya produksi. Sehingga, masih bisa dijangkau oleh masyarakat.
Negara juga tidak boleh menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan kekayaan alam yang menjadi milik umum kepada individu, swasta, atau asing. Distribusi hasil tambang kemanfaatannya dikembalikan kepada rakyat. Termasuk di dalamnya untuk membiayai sarana dan fasilitas publik. Demikianlah, Islam mengatur pengeloalaan tambang. Semua masyarakat dapat merasakan kemanfaatannya dan lingkungan tetap terjaga. Wallahu a'lam.
Oleh: Nor’alimah, S.Pd
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments