TintaSiyasi.com -- Lagi dan lagi ketidakadilan menggelayuti kehidupan masyarakat yang hidup dalam sistem penerapan kapitalisme, bukan hanya perkara hukum yang terkesan tumpul ke atas tajam ke bawah yang mana apabila seorang yang melanggar hukum di kalangan orang-orang pemilik modal hukum seakan mandul, namun sebaliknya apabila seorang yang melanggar hukum di kalangan masyarakat kelas bawah, maka penegakan hukum secepat kilat dalam memprosesnya. Inilah yang memunculkan kesenjangan sosial di Indonesia.
Kali ini ketidakadilan juga di rasakan para pekerja, terlebih telah di sahkan UU Cipta Kerja yang dalam draft pasalnya menguntungkan para Oligarki. Ini menambah daftar panjang berbagai problem yang dihadapi masyarakat dalam peri'ayahan negara kapitalis, ketidakadilan selalu di rasakan. Seperti yang baru-baru ini terjadi terkait bentroknya antara TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dan TKA (Tenaga Kerja Asing) di Morowali Utara.
Bentrokan antara tenaga kerja asing (TKA) asal China dan tenaga kerja Indonesia (TKI) pecah di area di area pabrik smelter PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pada Sabtu (14/1) malam. Dua pekerja, yaitu XE (30) TKA China dan MS (19) TKI asal Parepare, meninggal dunia dalam peristiwa nahas itu. Polisi mengatakan telah menangkap 71 orang terkait insiden itu, dengan 17 di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka.
Sosiolog Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai secara sosiologis, bentrokan yang terjadi di Morowali itu merupakan akumulasi dari kekecewaan pekerja asli Indonesia terhadap hak-hak mereka dan kelonggaran pemerintah terhadap TKA. "Sebenarnya bom waktu itu terjadi juga karena kelonggaran pemerintah terhadap TKA asal China yang sekarang jumlahnya mencapai 55 persen dari seluruh jumlah TKA. Saya kira kasus Morowali ini perlu diselesaikan secara lebih komprehensif," ujar Ubedilah kepada CNNIndonesia.com, Selasa (17/1).
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah TKA di seluruh Indonesia pada 2022 adalah 70.571 orang (Data pada Oktober 2022). Hampir 38.000 di antaranya berasal dari China. TKA China sendiri tercatat paling banyak bekerja di Morowali.
Derasnya TKA—khususnya dari Cina—memenuhi kawasan industri di berbagai wilayah tanah air, sudah seperti “negara dalam negara”. Di samping itu, para TKA eksklusif di tempat mereka bekerja karena tidak bisa berbaur dengan pekerja lokal akibat tidak diwajibkan berbahasa Indonesia. Padahal, aturan yang pernah berlaku selama puluhan tahun sebelumnya, TKA wajib berbahasa Indonesia.
Ketidakadilan yang di rasakan para pekerja lokal sudah lama terjadi, bahkan dalam penerimaan gaji dan perlakuan juga berbeda, inilah yang membuat para pekerja melakukan tindakan protes. Di samping itu, semenjak terbitnya Perpres 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing tentu makin mengukuhkan eksistensi TKA di Indonesia. Apalagi dalam ketentuan Pasal 22 beleid menyebut TKA dapat menggunakan visa terbatas (vitas) dan izin tinggal sementara (itas) untuk bekerja di Indonesia. TKA juga dapat masuk lewat dua pintu, yaitu Kemenaker dan Kemenkumham. Kondisi ini bisa membuat pekerja asing ilegal hilir mudik di negeri ini.
Mengapa penguasa negeri ini selalu memberi ruang kepada pihak asing untuk terus melanggengkan hegemoninya. Sementara apabila kita lihat di luaran sana masih banyak orang-orang yang tidak bekerja atau di sebut juga pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan. Terlebih di masa pandemi sekarang ini, kehidupan makin sulit dan pemutus hubungan kerja (PHK) juga semakin masif di lakukan oleh para perusahaan. Kalau sudah begitu otomatis tingkat kemiskinan juga makin bertambah.
Kegagalan demi kegagalan sudah nampak jelas, bahwa sistem penerapan kapitalisme hanya bertumpu kepada para pemilik modal. Ketidakadilan akan terus mewarnai wajah buruk sistem yang eksis sekarang ini. Oleh karenanya sudah saatnya negeri ini kembali kepada tatanan kehidupan yang berasal dari Allah SWT yaitu sistem Islam.
Islam sebagai prinsip ideologi telah mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam ketenagakerjaan secara fundamental dan konprehensif. Dalam Islam penyelesaiannya perlu memperhatikan faktor penyebab utama munculnya persoalan ketenagakerjaan.
Ada dua hal yang dilakukan sistem Islam (khilafah) untuk menjamin kemaslahatan rakyatnya. Pertama, status TKA yang akan bekerja di negaranya. Jika berasal dari negara kafir yang menyerang kaum muslim, khalifah tidak akan memberikan izin bagi mereka untuk bekerja. Khilafah hanya memiliki hubungan perjanjian (kerja sama) dengan negara yang tidak menyerang kaum Muslim.
Kedua, usaha yang didirikan perusahaan asing hanya dibatasi komoditas terkategori kepemilikan individu. Mereka tidak diizinkan mengelola kepemilikan umum maupun negara. Jika mereka diminta oleh khalifah mengerjakan sebuah proyek, sifatnya adalah perusahaan/individu yang dikontrak/dipekerjakan oleh negara, bukan sebagai pengelola.
Untuk persoalan yang muncul akibat kebijakan negara dalam bidang politik ekonomi, menurut Islam, negaralah yang bertanggung jawab untuk menyelesaikannya. Negara wajib memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Negara wajib menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai dengan adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.
Seorang pekerja berhak mendapat upah atas pekerjaan atau jasa yang dia berikan kepada majikannya (orang yang mempekerjakan dirinya sendiri). Upah itu merupakan haknya yang menjadi kewajiban pemberi kerja itu. Jika majikan itu mangkir dari memberikan upah itu, maka dia berdosa besar sebagaimana yang ditegaskan di dalam hadis di atas. Bahkan pembayaran upah kepada pekerja disyariatkan untuk disegerakan begitu dia menunaikan pekerjaan atau jasa yang diakadkan. Rasul SAW bersabda:
أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ، قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
"Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi, ath-Thabarani, Ibnu Zanjawayh, al-Qudha'i dan Tamam bin Muhammad).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
0 Comments