TintaSiyasi.com -- kecelakaan lalu lintas yang menewaskan mahasiswa UI tengah menjadi perhatian publik. Pasalnya, Hasya yang tewas justru ditetapkan sebagai tersangka oleh Ditlantas Polda Metro Jaya. Tragedi kecelakaan itu melibatkan seorang purnawirawan Polri.
Rasa keadilan masyarakat pun terusik. Bayangkan, tewas karena tertabrak tapi ditetapkan jadi tersangka. Ketua BEM UI menyebut kasus yang menimpa Hasya sebagai kasus Sambo Jilid Dua. Ketika rakyat jelata head to head berhadapan dengan aparat.
Ya, akal mana yang bisa menerima. Hasya yang terjatuh kemudian tertabrak oleh purnawirawan Polri justru ditetapkan sebagai tersangka. Alasan polisi menetapkan Hasya sebagai tersangka karena ia dinilai lalai saat berkendara. Belakangan kasus ini di SP3 kan (cnnindonesia.com, 27/02/2023).
Peristiwa yang terjadi pada 6 Oktober 2022 itu memang penuh tanda tanya. Terutama dengan penetapan status tersangka korban tabrakan yang sudah meninggal. Profesionalitas aparat keamanan pun dipertanyakan. Kapolri merespon kegelisahan masyarakat atas kasus Hasya. Tim pencari fakta pun dibentuk. Kasus yang sudah di SP3 itu diusut kembali. Kronologi peristiwa disusur kembali dengan mengadakan rekonstruksi ulang.
Akhirnya, Polda Metro Jaya minta maaf terkait hasil penyelidikan kasus Hasya. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, pihaknya menemukan ketidakaesuaian administrasi prosedur dalam proses penyelidikan. Polisi juga mencabut status tersangka yang disandang oleh Hasya pada kasus kecelakaan itu (CNNIndonesia.com, 06/02/2023).
Profesionalitas Dipertanyakan
Andai kasus ini tidak viral, apakah kasus ini akan diusut kembali? Rasanya tak mungkin. Beginilah konsekuensi kehidupan di sistem sekuler kapitalisme. Mencari keadilan laksana mencari jarum dalam jerami. Berharap mendapat keadilan bagaikan menggantang asap. Menegakkan keadilan seperti menegakkan benang basah.
Sistem sekuler kapitalisme menjauhkan agama dari kehidupan sehari-hari. Individu miskin iman dan orientasi hidupnya untuk mencari materi. Segala cara akan dilakukan demi kesenangan duniawi, tak peduli halal haram, pahala dosa. Akhirat menjadi imajiner di hidupnya. Mindset ini mempengaruhi individu dalam setiap aktivitas dan profesinya, termasuk menjadi aparat keamanan. Wajar jika profesionalitasnya tersandera oleh berbagai kepentingan pribadi.
Selain itu, produk hukum di sistem sekuler kapitalisme adalah produk akal manusia yang lemah dan terbatas. Tak jarang, kebijakan yang diambil justru sarat dengan kepentingan individu dan kelompok. Lihatlah UU Omnibus Law yang pro kapital. Wajar jika setiap keputusan yang menggunakan produk hukum buatan manusia ini tak pernah mampu memenuhi dahaga keadilan.
Islam Menjamin Keadilan
Hanya Islam yang mampu menjamin keadilan di dunia ini. Hukum Islam yang bersumber dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta dan Pengatur, memastikan tak ada kepentingan manusia bermain di sana. Hukum-hukum Islam yang komprehensif mampu menyelesaikan setiap persoalan manusia tanpa menimbulkan persoalan baru dan tanpa menyisakan rasa tidak puas.
Sebab hukum Allah pastilah yang terbaik bagi manusia. "Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah: 50).
Sistem Islam kaffah menjadikan akidah Islam sebagai landasan bagi individu, masyarakat juga negara. Individu yang kuat akidahnya dan menjadikan akhirat sebagai orientasi hidupnya, tentu akan menyelaraskan setiap perbuatannya dengan syariat Allah SWT. Perintah bersikap adil telah ada dalam Al-Qur'an. Allah SWT. berfirman: "Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa." (QS. Al-Maidah: 8).
Dalam kasus almarhum Hasya, jika dihukum dengan sanksi Islam maka akan mudah mendapatkan keadilan. Kasus tersebut bisa terkategori pembunuhan bukan dengan disengaja. Kasus seperti ini akan ditangani oleh qadhi muhtasib yaitu sebuah peradilan yang menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat atau jama'ah.
Qadhi muhtasib akan segera ke TKP, menemui saksi dan mengumpulkan barang bukti ketika menerima laporan. Jika kemudian terbukti bahwa pelaku telah melakukan pembunuhan tersalah maka ia akan dikenai sanksi jinayat berupa denda mukhaffah. "Barangsiapa membunuh seorang yang beriman karena tersalah (hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) membebaskan pembayaran." (QS. An-Nisa: 92).
Denda atau diyat mukhaffafah adalah denda ringan yang diambil dari harta keluarga pembunuh dan dibayarkan selama tiga tahun kepada keluarga korban. Setiap tahunnya masing-masing sepertiga dari jumlah seluruh diyat.
Adapun diyatnya yaitu 20 onta betina berusia setahun, 20 onta jantan berumur dua tahun, 20 onta betina usia dua tahun, 20 onta berumur empat tahun dan 20 onta usia lima tahun. Jenis diyat yang tersebut berdasarkan hadits Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Daruquthmi.
Penerapan hukum dalam sistem Islam kaffah telah terbukti membawa keadilan selama 13 abad. Pelaku dan korban sama-sama mendapat keadilan karena sistem Islam kaffah mendudukkan semua warga sama di mata hukum. Tidak mengenal hak istimewa untuk golongan tertentu dan tidak ada kesenjangan sosial hukum serta kecemburuan antar anggota masyarakat. Wallahu a'lam bishshowab.[]
Oleh Mahrita Julia Hapsari
(Muslimah Aktivis Dakwah)
0 Comments