TintaSiyasi.com -- Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mengungkapkan, permasalahan kemiskinan ekstrem dan stunting saling beririsan. Di mana, irisan tersebut mencapai angka 60 persen. "Penyebab stunting dilatarbelakangi oleh fenomena kemiskinan ekstrem seperti kendala dalam mengakses kebutuhan dasar, akses air bersih, fasilitas sanitasi dan lainnya. Saya sampaikan, stunting ini 60 persen beririsan dengan keluarga miskin ekstrem," ujar Muhadjir dalam siaran pers, Sabtu (14/1/2023).
Stunting adalah gangguan pertumbuhan pada anak akibat dari kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama menyebabkan tinggi badan anak lebih pendek dari standar tinggi badan anak seusianya. Permasalahan stunting di Indonesia merupakan tantangan yang harus diatasi dengan baik.
Prevalensi balita yang mengalami stunting menurut hasil Survey Status Gizi Indonesia (2021) yaitu sebesar 24.4%. Sementara target pemerintah dalam permasalahan stunting ini yaitu menurunnya prevalensi stunting Berbagai masalah akan muncul sebagai akibat dari mengalami stunting, seperti gangguan pada tingkat kecerdasan, beresiko tinggi mengalami penyakit kronis, serta produktivitas yang menurun di masa depan. Stunting merupakan permasalahan yang dapat diakibatkan oleh berbagai macam faktor yaitu salah satunya faktor ekonomi dan faktor pangan.
Menurut penelitian Kustanto (2021) kemiskinan secara langsung mempengaruhi prevalensi stunting dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang sebesar 0,06%. Pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan kausalitas langsung dengan prevalensi stunting dan kemiskinan sebesar 0,57%. Hal ini membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara harus dibarengi dengan pembangunan sosial ekonomi sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat miskin.
Maraknya faktor kemiskinan yang kian meningkat, hal tersebut merupakan akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis, selain susahnya pangan diperolah, di sokong oleh susahnya para pencari nafkah dalam mendapatkan lapangan pekerjaan yang mumpuni, sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi anak dan keluarga begitu sulit untuk di penuhi. Oleh karena itu, membutuhkan sistem ekonomi alternatif untuk agar mampu menyelesaikan problem kronis ini.
Islam adalah agama sempurna, yang telah menorehkan tinta emas kehidupan manusia. Baik kemajuan bidang ilmu pengetahuan maupun bidang kesejahteraan masyarakatnya, termasuk masalah kesehatan dan keamanan. Terbukti dalam sejarah, kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh setiap individu masyarakat dalam peradaban Islam melalui penerapan aturan Allah SWT dengan produksi pangan yang berlimpah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Satu orang saja yang mengalami kelaparan, langsung segera diatasi.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam sejarah ketika masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ra yang segera memenuhi kebutuhan warga miskin, dengan stok yang ada di Baitul Mal yang cukup memadai.
Mekanisme Islam dalam mewujudkan jaminan pemenuhan pangan rakyat dilakukan dengan dua cara, yaitu mekanisme langsung dan tidak langsung. Bagi masyarakat yang tidak mampu bekerja dikarenakan lemah, sakit, cacat, dan sebagainya, khilafah akan memenuhi kebutuhan pokoknya secara langsung, dengan cara memberi santunan sesuai dengan kebutuhannya secara layak.
Sementara itu, bagi yang mampu untuk bekerja, maka khilafah menerapkan mekanisme tidak langsung. Yaitu menciptakan lapangan kerja, membantu permodalan hingga memberikan edukasi dan skill yang dibutuhkan. Sedangkan di sektor pertanian pangan, khalifah akan bertanggung jawab agar produksi dan distribusi pangan berlangsung dengan baik. Pada aspek produksi, khilafah akan menjamin seluruh lahan-lahan pertanian berproduksi secara optimal dengan cara mencegah alih fungsi lahan, membantu petani dalam menyediakan modal dan sarana produksi pertanian hingga infrastruktur pendukung seperti irigasi, jalan, gudang, dan sebagainya.
Bahkan, khilafah juga menghidupkan dan membiayai riset untuk menghasilkan teknologi bagi kemajuan pertanian demi pemenuhan pasokan dan kualitas gizi rakyatnya. Begitu pula di aspek distribusi, negara akan hadir mengawasi para penjual dan pembeli. Di antaranya dengan cara melarang dan mencegah terjadinya penimbunan, melarang riba, dan lain-lain disertai penegakan hukum secara tegas sesuai sanksi dalam Islam atas setiap pelanggaran terhadap syariat.
Dalam ranah konsumsi, negara juga hadir menjamin pangan yang beredar di masyarakat adalah pangan yang halal dan thayib. Dengan politik ekonomi pertanian sesuai tuntutan Islam, maka produktivitas pertanian akan meningkat. Distribusi akan berjalan lancar dan masyarakat pun terjaga dari pangan yang berbahaya dan haram. Sehingga, akan terwujud ketahanan pangan. Pun, kesehatan dan keberkahan hidup dapat dirasakan seluruh rakyat.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul, apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (TQS Al Anfaal: 24).
Olehnya itu, sudah seharusnya negara menjadikan pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah yang secara alami akan menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat, terutama mewujudkan terpenuhinya kebutuhan pangan. Sebab, sistem Islam memiliki paradigma yang berbeda dengan sistem yang diterapkan saat ini. Pemenuhan hajat publik akan dijamin sepenuhnya oleh negara, sebab negara berfungsi sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung).
Rasululallah SAW bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raain (pengurus hajat hidup) dan dia bertanggung jawab atas kepengurusannya.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Wallâhu a’lam bishshawâb. []
Oleh: Ropika Sapriani
Aktivis Muslimah
0 Comments