TintaSiyasi.com -- Masalah perburuhan dan perbudakan di Barat yang mengalami kemajuan pesat di bidang industri muncul sejak abad ketujuh belas. Ada dua aliran utama pergerakan buruh kontrak antarbenua yang terjadi pada abad ketujuh belas hingga kesembilan belas. Yang pertama, pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, melibatkan arus keluar dari negara-negara Eropa Barat, terutama Kepulauan Inggris dan Jerman, ke pemukiman kolonial di Dunia Baru. Yang kedua, yang penting dari pertengahan abad ke-19 hingga kuartal pertama abad ke-20, adalah arus keluar dari bagian dunia yang kurang berkembang, khususnya Asia, ke daerah terbelakang lainnya di Asia, Afrika, dan Karibia, plus Australia, terutama untuk produksi tanaman perkebunan, khususnya gula.
Adapun untuk wilayah Indonesia. Selain dampak dari buruknya situasi ekonomi dunia, saat ini tenaga kerja mengalami situasi yang semakin sulit sejak disahkannya Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Diawal tahun 2023 ini diperkirakan 200 ribu lebih karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja. Selain itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) menyatakan, diluar PHK ada 15 ribu karyawan kontrak yang tidak dilanjutkan. Nasib karyawan kontrak di industry padat karya lebih tragis dibanding pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika karyawan terkena PHK mendapat pesangon, maka karyawan kontrak harus menerima nasib begitu saja. Jumlah pekerja yang terputus kontraknya pun besar (cnbcindonesia.com).
Kehilangan pekerjaan pasti akan berdampak serius terhadap kehidupan seseorang bahkan keluarga hingga negara. Setiap orang yang termasuk dalam angkatan kerja tetapi masih menganggur cenderung mengalami keterasingan dari masyarakat, yang pada gilirannya meningkatkan masalah sosial lainnya, seperti bunuh diri maupun peningkatan kriminalitas. Selain itu, tingginya angka pengangguran juga akan berdampak pada rendahnya produktivitas dan daya beli masyarakat. Kedua masalah ini kemudian berdampak pada kemiskinan dan menyebabkan penurunan ekonomi suatu negara.
Untuk menghadapi permasalahan tersebut, Pemerintah terus berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi asing, agar dapat memperluas lapangan kerja bagi tenaga kerja lokal. Namun, keterbukaan investasi asing
menimbulkan masalah baru. Investor asing sering masuk ke Indonesia satu paket dengan pekerja mereka. Apalagi saat ini terdapat kemudahan bagi tenaga kerja untuk masuk dan keluar kawasan ASEAN sebagai akibat dari perluasan hubungan diplomatik antar negara ASEAN melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pada akhirnya, Pemerintah seolah tidak punya pilihan lain selain mengakomodir keinginan investor untuk mempekerjakan tenaga kerja asing di Indonesia.
Sungguh miris, rakyat negeri sendiri dikalahkan oleh regulasi. Dan negara ternyata lebih berpihak kepada orang asing daripada rakyatnya sendiri. Inilah buah sistem ekonomi kapitalisme, yang berpihak kepada pemilik modal, mengabaikan nasib rakyat kecil. Kondisi ini tak akan terjadi bila negara menerapkan politik dan sistem ekonomi islam. Karena sistem Islam mengharuskan negara mengurus rakyatnya dan menjamin kesejahteraannya melalui berbagai aturan yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya.
Di dalam sistem ekonomi Islam, bekerja tidak terpaku pada kontrak kerja dengan industri atau tempat bekerja formal. Ada banyak pilihan dalam bekerja, yakni menghidupkan tanah mati, menggali kandungan bumi, berburu, makelar (samsarah) dan pemandu (dalalah), mudharabah (kerjasama bagi hasil, musaqat (mengairi lahan pertanian/perkebunan), dan ijaroh (kontrak kerja).
Dengan banyaknya pilihan jenis bekerja, laki laki yang sudah baligh maupun wanita yang memiliki skill dan keterampilan tidak terpaku harus menjadi karyawan pada perusahaan. Mereka bisa mengembangkan usaha mereka sendiri.
Agar rakyat mudah mengakses jenis-jenis pekerjaan yang mereka minati, peran negara membuatkan seperangkat regulasi. Misalnya, untuk pekerjaan menghidupkan tanah mati, syariat Islam mencegah tanah tidak dikelola oleh pemiliknya lebih dari tiga tahun. Jika tanah dibiarkan terbengkalai, maka orang lain yang mampu menghidupkannya yang akan menjadi pemilik tanah tersebut.
Adapun terkait kontrak kerja. Islam memberikan perlindungan yang adil terhadap kedua belah pihak. Yakni melindungi pemberi kerja juga tenaga kerja agar hak-hak mereka terpenuhi. Didalam sistem kapitalisme, kebutuhan hidup pekerja yang sejatinya merupakan tanggung jawab negara dibebankan sepenuhnya kepada pemberi kerja. Sehingga pemerintah menerapkan upah minimum seorang pekerja sebesar biaya minimal untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hal ini berbeda dengan Islam. Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup seperti kesehatan, pendidikan, harga kebutuhan hidup yang stabil sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Sementara pemberi kerja berkewajiban membayar upah sesuai besar kadar manfaat jasa yang dia peroleh dari tenaga kerja.
Adapun berkaitan dengan masuknya tenaga kerja asing, negara Islam hanya akan merekrut mereka jika didalam negeri memang tidak ada warga negara yang memiliki skill seperti yang mereka miliki. Itupun tidak untuk bergantung, melainkan untuk transfer pengetahuan agar kaum muslimin memiliki pengetahuan yang sama. Sementara untuk tenaga kerja biasa, negara Islam akan memberikan jaminan sepenuhnya termasuk memberikan pendidikan dan latihan kerja yang memadai untuk warga negara yang ingin bekerja.
Dengan keadilan seperti ini, dunia usaha yang memerlukan tenaga kerja akan berkembang dengan sehat dan dinamis sesuai dengan keridhoan masing masing pihak dari pemberi kerja dan tenaga kerja. Masyarakat juga tidak terkungkung harus menjadi pekerja. Dia bisa memilih banyak jenis pekerjaan lain. Arus PHK yang menjadi momok menakutkan saat ini tidak akan terjadi saat Islam diterapkan, karena menjadi tenaga kontrak bukan satu satunya pilihan agar dapat bertahan hidup.
Wallahu a'lam. []
Oleh: Nur Annisa Dewi, S.E.,M.Ak.
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments