Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pengerdilan Fungsi Masjid Akibat Kapitalisme Sekuler


TintaSiyasi.com -- Menjelang pesta demokrasi selalu tersuasanakan hawa politik dimana-mana tidak terkecuali di tempat-tempat umum termasuk tempat ibadah. Baru-baru ini beredar kabar adanya pengibaran bendera salah satu parpol di masjid wilayah Cirebon yang menuai kritik masyarakat. Sontak hal ini membuat Wakil Presiden Ma’ruf Amin angkat bicara.

“Saya pikir itu sudah ada aturannya ya, bahwa tidak boleh kampanye di kantor pemerintah, di tempat-tempat ibadah, dan di tempat pendidikan. Itu saya kira sudah ada (aturannya). Oleh karenanya, seluruh parpol peserta pemilu harus menaati UU 7/2017 tentang Pemilu yang di dalamnya menjelaskan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk berkampanye, ” ujar Ma’ruf dalam keterangan persnya di Bogor, Sabtu, 7-1-2023 (Republika).

Kekhawatiran terpecah belahnya masyarakat akibat masjid untuk kegiatan politik muncul karena lemahnya pemahanan masyarakat akan politik yang hanya membatasi dalam politik praktis, sebagaimana juga yang diamalkan oleh parpol hari ini yang hanya mengejar kepentingan pribadi dan golongan, dan bukan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. 

Memang saat ini, apalagi di kalangan masyarakat awam politik identik dengan kegiatan mencari kekuasaan dan kekayaan. Maka tidak heran adanya istilah 'politik itu kotor', 'jangan bawa-bawa agama dalam urusan politik', apalagi ada istilah baru yang sengaja diboomingkan akhir-akhir ini yaitu 'politik identitas'.

Pemahaman politik yang salah dan penyalah gunaan masjid hanya untuk ritual ibadah terjadi sejak adanya penjajah di negeri ini. Disadari atau tidak, itupun merupakan politik penjajah agar masyarakat khususnya muslim tidak membicarakan pemberontakan dan perlawanan terhadap penjajah. Karena penjajah sadar apabila umat Muslim bersatu memeranginya maka dia akan kalah.

Padahal apabila kita lihat dari arti politik itu sendiri, politik adalah strategi atau cara yang dilakukan untuk memperoleh sesuatu agar lebih mudah, apapun kegiatannya. Seorang ibu di rumah selalu berpolitik bagaimana caranya agar uang dapur bisa cukup sampai gajian bulan depan. Atau bagaimana caranya agar anak-anaknya mau belajar, mau mandi, mau makan. Itu juga politik. Begitu pun yang dilakukan anggota keluarga lainnya. Seorang pedagang akan berpolitik bagaimana caranya agar dagangannya laris, seorang petani akan berpolitik bagaimana caranya agar hasil panennya berlimpah. Secara keseluruhan, semua manusia berpolitik. Bukankah tulisan ini pun salah satu kegiatan politik?

Inilah buah dari sekularisme yang membatasi tempat ibadah hanya untuk mengatur urusan privat manusia dengan penciptanya. Sementara itu, di ruang publik, peran agama dihilangkan atau dijadikan sebagai spirit dan formalitas belaka. Diakui atau tidak, bagi negara demokrasi, dalam pemilihan wakil-wakil legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, secara otomatis mereka telah menjadikan sekularisme sebagai “way of life”.

Lebih menyedihkan lagi, propaganda sekularisme ini juga disampaikan oleh para tokoh Islam atau pejabat Islam yang notabene dianggap sebagai representasi suara kaum Muslim. Tentu pendapat atau pernyataan mereka akan berpengaruh signifikan bagi masyarakat dan pengikutnya. Terlebih pada tahun-tahun politik yang makin memanas menjelang pemilu, mereka sering menyampaikan berbagai pandangan yang justru kontradiktif dengan akidah Islam. 

Ketika mereka mempropagandakan sekularisme, misalnya, sama saja mereka sedang mengerdilkan dan memenjarakan Islam dalam ranah ibadah semata. Padahal, Islam adalah sebuah ideologi atau way of life yang mengatur urusan ibadah privat sekaligus urusan masyarakat dan negara. Dengan kata lain, akidah Islam adalah akidah ruhiah dan siyasah.

Perlunya pemahaman cerdas akan fungsi masjid dan edukasi terhadap masyarakat agar tidak terpengaruh oleh propaganda salah dan menyesatkan. Karena masjid bukanlah gereja sebagai asal mula pemahaman yang memisahkan peran agama dari kehidupan. Masjid bukan hanya untuk mengatur urusan privat manusia dengan penciptanya, melainkan juga urusan masyarakat dan negara. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Pada masa itu masjid adalah pusat berbagai kegiatan, mulai ibadah hingga pendidikan, juga tempat melakukan kegiatan politik, dengan makna politik yang dipahami kaum muslimin. Di dalamnya dibahas berbagai macam problematik umat, baik individu dengan dirinya sendiri, dengan Tuhannya, maupun terkait dengan orang lain (muamalah). Di sinilah letak kekomprehensifan Islam sebagai akidah yang paripurna yang bisa menyelesaikan seluruh urusan, baik individu, masyarakat, hingga negara.

Mari kembalikan fungsi masjid dengan tidak mengkerdilkannya hanya pada ritual ibadah. Mari berpolitik cerdas dengan memaknai politik sesuai tuntunan Rasulullah, bukan tuntunan penjajah. Mari jadikan Islam sebagai way of life yang mengatur urusan ibadah privat sekaligus urusan masyarakat dan negara.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments