TintaSiyasi.com -- Angela Hindriati Wahyuningsih ditemukan di Kampung Buara Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi Jawa Barat dalam keadaan tewas dan dimutilasi. Angela adalah mantan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang dinyatakan hilang sejak Juni 2019. Hal itu diketahui dari cuitan aktivis lingkungan hidup dan mantan Direktur Eksekutif Walhi Indonesia, Chalid Muhammad pada 16 November 2019. Polisi memberi penjelasan bahwa tubuh Angela Hindriarti itu dipotong atau mutilasi oleh Ecky menjadi tujuh bagian menggunakan gergaji listrik. Ada tujuh bagian potongan, bahu kanan bahu kiri, pergelangan kaki kanan dan kaki kiri, antara paha sama panggul dua kiri kanan serta bagian kepala. Jika ditotal semua ada tujuh bagian. Ini yang dikatakan oleh Kanit IV Subdit Resmob Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kompol Tommy Haryono saat dikonfirmasi, Minggu 8 Januari 2023 (CNN Indonesia, 8 Januari 2023).
Sementara seorang bocah berusia enam tahun yakni Malika Anastasya di Gunung Sahari, Sawah Besar, Jakarta Pusat, menjadi korban penculikan yang diketahui dilakukan oleh seorang pemulung yang disebut bernama Yudi. Peristiwa penculikan tersebut terjadi pada Rabu (7/12/2022). Akhirnya Malika ditemukan di kawasan Cipadu, Ciledug, Tangerang, oleh jajaran Polres Metro Jakarta Pusat pada Senin (2/1) malam. Dilansir dari Kompas.tv, Ibu Malika, Oni, mengungkapkan bahwa saat ini anaknya mengalami trauma berat karena mengalami kekerasan fisik selama diculik oleh pelaku, Iwan Sumarno. Diketahui bahwa Malika kerap disiksa pelaku, terlebih ketika ia meminta diantar pulang untuk bertemu orang tuanya. Selama diculik, ada berbagai tindakan tak menyenangkan yang didapat Malika, mulai dari tidur di emperan jalan, makan tidak teratur, dipaksa ikut memulung, disentil, dipukul, hingga ditendang.
Kasus kekerasan yang menimpa Angela dan Malika hanyalah sedikit kasus dari sederet kasus kekerasan yang menimpa anak dan perempuan di negeri ini. Tercatat laporan kasus kekerasan terhadap anak tercatat meningkat dari 11.057 pada 2019, 11.278 kasus pada 2020, dan menjadi 14.517 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap anak juga meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972. Demikian juga laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat dari 8.864 kasus pada 2019, 8.686 kasus pada 2020, menjadi 10.247 kasus pada 2021.Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan juga meningkat dari 8.947 orang pada 2019, 8.763 orang pada 2020, lalu menjadi 10.368 kasus pada 2021.
Melihat fenomena ini, maka tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ini tidak berdiri mungkin sendiri, tetapi ada masalah sistemis sebagai konsekuensi logis dari penerapan sistem hidup yang salah, yang bersifat sekuler liberalistik di negeri ini. Penerapan sistem sekularisme liberal inilah yang nyatanya menjadi biang merebaknya kekerasan, bahkan telah banyak memunculkan kerusakan lain di tengah masyarakat.
Bila kita dalami satu persatu, penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari asas sekularisme liberalisme membuat kebanyakan sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai para pemilik modal hingga kesejahteraan rakyat pun sangat sulit diwujudkan. Begitu pun dengan sistem sosial. Relasi manusia dalam masyarakat sekuler liberal hanya dibangun dengan asas manfaat dan kebebasan, bukan asas kemanusiaan, apalagi nilai-nilai ruhiyah dan moral yang memuliakan peradaban. Akibatnya hubungan personal pun menjadi kering dari nilai-nilai kebaikan. Semua diabdikan untuk memuaskan nafsu dan keserakahan. Hingga segala bentuk kerusakan pun dengan mudah merebak, bahkan menjadi budaya yang diniscayakan, termasuk kekerasan.
Demikian juga para penguasa yang dininabobokan dengan sistem politik hipokrit, yang memang mengabdi pada kepentingan pemilik modal yang berkelindan dengan kepentingan syahwat mereka untuk berkuasa. Hingga wajar, jika para penguasa hanya sibuk melakukan pencitraan. Tidak peduli apakah rakyat sejahtera ataukah tidak. Dalam keadaan baik atau tidak. Akibatnya, penguasa umat ini pun tidak peduli bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan sangat menzalimi rakyat dan memicu stres sosial yang bersifat massal. Mereka juga tidak peduli bahwa tayangan media massa dan budaya yang mereka biarkan merebak bisa membahayakan moral anak-anak bangsa.
Sistem pendidikan yang diterapkan pun tak mampu membentengi mereka dari kerusakan. Mereka, para penguasa ini, hanya peduli dan bangga dengan capaian-capaian pembangunan fisik semata. Sementara itu, di saat yang sama kebijakan lainnya justru mendekonstruksi peradaban masa depan bangsa.
Masyarakat membutuhkan perubahan mendasar dan menyeluruh, bukan hanya perubahan parsial dan tambal sulam. Perubahan dimaksud adalah perubahan sistem yakni dari sistem sekuler yang menafikan peran Sang Pencipta kehidupan kepada sistem Islam. Hanya sistem Islam yang memiliki seperangkat aturan, yang bersifat preventif dan kuratif sehingga mampu melindungi masyarakat dari segala bentuk tindak kekerasan, dan kejahatan lainnya.Seperangkat aturan tersebut ada yang menyangkut benteng diri, berupa akidah dan pemahaman hukum syarak yang memungkinkan seseorang memiliki ketahanan ideologis dan tercegah dari perbuatan kriminal, baik sebagai pelaku maupun korban.
Sistem Islam juga berfungsi sebagai benteng umat, berupa sistem ekonomi dan sosial, sistem politik dan hukum, serta sistem-sistem lainnya yang mencegah kerusakan, menjamin ketentraman hidup dan menyejahterakan. Persoalannya, seluruh perangkat aturan ini hanya mungkin diterapkan dalam sistem politik yang sepadan. Ia adalah sistem Khilafah Islamiyah warisan Rasulullah SAW, bukan sistem demokrasi warisan para filosof yang tidak paham tentang hakikat kehidupan.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Etik Roriyati, S.Pd.
Pemerhati Kebijakan Publik
0 Comments