Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Musim Naik Harga, Buah Penerapan Kapitalisme


TintaSiyasi.com -- Ibarat musim buah, musim naik harga nampaknya sudah menjadi biasa. Bedanya, kalau musim buah selalu dinantikan, sedangkan musim kenaikan harga menjadi musibah.

Sebagaimana terjadinya kenaikan harga menjelang Nataru (Natal dan Tahun Baru), sudah dapat dipastikan harga pangan melonjak. Harga-harga bahan pangan terpantau melonjak tinggi hari ini, Rabu (14/12/2022). Pedagang pasar tradisional mendesak pemerintah segera turun tangan untuk menekan laju kenaikan harga sembako, terutama mendekati Natal 2022 dan Tahun Baru 2023 (Nataru) (CNBC Indonesia, 14/12/2022).

Pedagang pasar mengeluhkan menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) harga bahan pokok terus merangkak naik di pasar-pasar tradisional Jakarta. Kenaikan itu dialami mulai dari telur, cabai, dan sayur mayur (Bisnis.com, 13/12/2022).

Dalam setiap hari-hari khusus termasuk nataru, masyarakat harus bersiap untuk merogoh kocek lebih dalam. Membeli bahan-bahan pangan yang lebih bervariasi serta dalam jumlah di luar kebiasaan atau lebih banyak tak dapat terhindarkan. Bagi yang masih memiliki penghasilan lebih bahkan pas-pasan , masih bisa membeli bahan pangan sesuai kebutuhan.

Bagaimana dengan masyarakat kecil yang hendak memenuhi kebutuhan, yang makan tiga kali sehari saja kembang kempis. Berbahagia di hari spesial hanya tinggal gigit jari, di tengah makin sulitnya kondisi ekonomi masyarakat saat ini.


Kapitalisme Biang Problem Kenaikan Harga

Sudah menjadi problem rutin kenaikan harga pangan melonjak. Tidak hanya menjelang atau saat Natal dan Tahun Baru, setiap menjelang lebaran atau hari raya juga demikian. Melonjaknya harga kebutuhan pokok menjadi langganan setiap tahunnya. 

Meningkatnya harga pangan dipicu oleh bertambahnya jumlah permintaan barang, naiknya permintaan barang tidak disertai dengan kesiapan pasokan barang. Sesuai hukum dasar ekonomi, "jika permintaan meningkat sedangkan pasokan barang yang disediakan hanya terbatas, maka harga barang akan mengalami peningkatan". Pada saat Nataru dan Lebaran harga barang mengalami peningkatan yang sangat pesat, karena jumlah barang yang diminta terus meningkat, sedangkan jumlah barang tetap atau cenderung kurang.

Jelas ini adalah gambaran nyata perwujudan sistem ekonomi kapitalisme. Menurut Adam Smith sebagai tokoh pendiri sistem ekonomi kapitalis menyatakan bahwa pasar memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem perekonomian. Sistem ekonomi kapitalis menghendaki pasar bebas untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi mulai dari produksi, konsumsi dan distribusi.

Bahkan seakan menjadi tradisi, harga sudah naik padahal belum ada peningkatan permintaan. Ketua Bidang Organisasi DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Teguh Setiawan mengatakan biasanya kenaikan bahan pangan menjelang Nataru terjadi saat adanya permintaan yang tinggi. Namun, khusus tahun ini, permintaan belum tinggi tapi sudah kadung naik (Bisnis.com, 13/12 2022).

Benang kusut yang harua di urai. Demikianlah gambaran carut marutnya persoalan masyarakat termasuk dalam ranah ekonomi. Muhammad Mirza Arif Zaenal, dalam penelitiannya yang berjudul "Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok Menjelang Lebaran" , yang dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat inferentiql, yakni dilakukan pengumpulan data dengan melakukan observasi dan kajian dokumen.

Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa terjadinya kenaikan harga barang menjelang lebaran disebabkan karena terjadinya penimbunan barang, kinerja pasokan yang terganggu, serta gaya hidup yang konsumtif. Faktor-faktor ini tidak lain adalah dampak besar dari penerapan sistem ekonomi kapitalis saat ini.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, harga ditentukan berdasarkan hukum supply (penawaran) dan demand (permintaan) terhadap barang tersebut. Jika barang yang ditawarkan jumlahnya melimpah, sedang permintaan sedikit, maka harga akan turun. Tetapi jika barang yang ditawarkan jumlahnya sedikit, sedangkan permintaannya besar.

Lemahnya manajemen produksi pangan menyebabkan pemerintah bergantung pada impor, sehingga sering ditemui melimpahnya produk impor di pasaran, padahal produk dalam negeri juga banyak tersedia. Mulai dari beras, kedelai, daging, bawang, cabai hingga garam. Padahal negeri ini memiliki potensi lahan dan keanekaragaman hayati yang begitu besar, namun tidak dikelola secara maksimal.

Kemandirian dalam produksi hasil pangan adalah hal yang penting, meski impor tidak menjadi hal yang diharamkan jika memang diperlukan dan tidak membahayakan kedaulatan negara.

Dalam aspek distribusi juga harus menjadi perhatian. Faktanya, para pedagang besar yang memiliki modal lebih, akan dengan leluasa untuk menentukan harga komoditas pasar. Kondisi ini sekaligus menggambarkan ketidaktepatan pengelolaan pangan sistem saat ini. Pasalnya, para pemodal dan pelaku usaha besar akan menguasai komoditas, sedang pemerintah tak berdaya mengendalikan pasokan, sehingga bahan pangan tidak terdistribusi secara merata.


Sistem Islam, Solusi Masalahnya

Islam adalah sistem hidup yang sempurna, universal dan dinamis, mengatur segala aspek kehidupan, mulai dari akidah, syariah dan akhlak dan selalu sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam Islam, penentuan harga dilakukan oleh kekuatan pasar yaitu kekuatan permintaan dan penawaran secara alamiah, secara rela sama rela, tanpa ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada suatu tingkat harga.

Sebagaimana firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisaa: 29).

Mematok harga untuk umum dilarang dalam Islam. Dalil keharamannya didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Anas ra yang mengatakan: “Harga pada masa Rasulullah SAW pernah membumbung. Lalu mereka melapor, ‘Ya Rasulullah, seandainya saja harga ini Engkau patok (tentu tidak membumbung seperti ini)’. Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah lah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi Rezeki, Maha Menentukan Harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah, sementara tidak seorang pun yang menuntutku karena sesuatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah.” (HR. Ahmad).

Pematokan harga sangatlah berbahaya, karena bisa membuka pasar secara sembunyi-sembunyi. Jual beli dilakukan dengan penjualan di bawah tangan, akibatnya harga melambung tinggi. Pematokan harga juga bisa berpengaruh terhadap konsumsi barang, hingga produksi barang dan mengakibatkan krisis ekonomi.

Adapun jika terjadi kenaikan harga, dapat disebabkan oleh dua faktor, yakni kelangkaan alami seperti gagal produksi, kemarau berkepanjangan, paceklik, musibah, dan lain-lain. Kedua, karena penyimpangan ekonomi dari hukum-hukum syariah Islam, terjadinya ihtikâr (penimbunan), permainan harga (ghabn al fâkhisy), hingga liberalisasi yang menghantarkan kepada penjajahan ekonomi. Dan praktik-praktik ini haram dalam pandangan Islam, negara seharusnya menindak tegas para pelaku-pelaku tersebut.

Islam memiliki solusi terbaik umtuk mengatasi kenaikan harga tersebut. Jika melambungnya harga pangan karena faktor alami, maka di samping umat dituntut untuk bersabar, Islam juga mewajibkan negara untuk mengatasi kelangkaan tersebut dengan mencari supply dari daerah lain.

Pada akhir tahun 17 H, di Madinah terjadi musim paceklik parah yang dikenal dengan sebutan ‘âm ramâdah, Khalifah Umar ra mengirim surat kepada Amru bin Al Ash, gubernur beliau di Mesir yang isinya:

Dari hamba Allah, Umar, Amîrul Mukminin, kepada Amru bin al Ash: salaamun ‘alaik, ‘amma ba’du, demi umurku wahai Amru, tidakkah engkau peduli jika engkau dan orang yang bersamamu kenyang, sementara aku dan orang yang bersamaku binasa (karena kelaparan), (kirimkanlah) bantuan!”
Kemudian Amru membalas surat tersebut:
“Kepada hamba Allah, Umar, Amîrul Mukminin, dari hamba Allah, Amru bin al Ash, amma ba’du, aku penuhi seruan engkau, aku penuhi, sungguh telah ku kirim kepadamu unta-unta (dengan muatan makanan diatasnya), yang awal rombongannya akan sampai kepada engkau, sementara ujung rombongannya masih ada di tempatku, wassalaamu ‘alaika wa rahmatullaah” (Imam As Suyuthi (w.911 H), Husnul Muhadharah fi Tarikh Mishr wal Qahirah, 1/156. Maktabah Syamilah). 

Jika seluruh wilayah dalam negeri keadaannya sama, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dengan masih memperhatikan produk dalam negeri.

Namun jika melambungnya harga disebabkan oleh pelanggaran terhadap syariat, maka penguasa harus tegas untuk mengatasi hal tersebut. Rasulullah SAW sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan 'inspeksi' agar tidak terjadi ghabn (penipuan harga) maupun tadlis (penipuan barang/alat tukar). Beliau juga melarang penimbunan (ihtikar).

Khalifah Umar bahkan melarang orang yang tidak mengerti hukum fikih (terkait bisnis) dari melakukan bisnis. Para pebisnis secara berkala juga pernah diuji apakah mengerti hukum syara’ terkait bisnis ataukah tidak, jika tidak faham maka mereka dilarang berbisnis. Hal ini karena setiap kemaksiyatan, apalagi kemaksiyatan terkait ekonomi, itulah yang akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan ekonomi.

Demikianlah Islam demikian sempurna mengatasi masalah kenaikan harga ini. Tentu tidak akan bisa terlaksana dengan baik, kecuali harus ditopang oleh penerapan syariat dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a'lam. []


Oleh: Linda Maulidia, S.Si
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments