TintaSiyasi.com -- Wapres KH. Ma’ruf Amin menegaskan dalam sebuah konferensi pers bahwa masjid dan tempat peribadatan lainnya harus bebas dari kepentingan politik manuver manapun. Terutama tahun ini adalah tahun menuju pemilu 2024 mendatang. Sudah pasti berbagai parpol dengan masing-masing koalisinya berlomba mendulang suara dari rakyat.
Apalagi kaum muslimin merupakan mayoritas penduduk di Indonesia. Apabila bisa menarik suara dari kaum muslimin, dapat dipastikan mampu mengambil alih manuver politik. Maka tak heran jika pendekatan calon-calon parpol biasanya membawa unsur keagamaan.
Mendatangi masjid dan ikut meramaikan jamaah masjid, memberi sumbangan besar bagi operasional masjid, atau bahkan membangun masjid baru. Selepas terpilih kembali abai.
Potensial Mengundang Perpecahan
Bukan tanpa sebab Wapres menegaskan pelarangan politik di Masjid. Pernyataan tersebut sebagai tanggapan peristiwa pengibaran bendera salah satu parpol di sebuah masjid di Cirebon. Hal tersebut mengundang banjir kritikan. (REPUBLIK.CO, 08/01)
Wapres mengungkapkan alasannya bahwa di dalam masjid belum tentu kecenderungan politik dan latar belakang organisasinya satu. Dengan kedatangan satu ormas hingga mengibarkan bendera partainya akan memecah persatuan jamaah masjid. Padahal umat islam seharusnya bersatu.
Mungkin alasan ini dapat dibenarkan guna menjaga persatuan umat Islam. Namun pembatasan masjid dari politik merupakan kekeliruan. Sebab masjid pada dasarnya tak hanya berfungsi mengumpulkan kaum muslimin untuk sholat berjamaah. Rasulullah SAW pun tidak mencontohkan hal tersebut.
Bahkan pembatasan tersebut berimbas pada keterasingan masjid dari kajian islam kaffah. Dengan dilarangnya kegiatan perpolitikan di masjid, secara tidak langsung membicarakan penegakan kehidupan Islam hingga skala kenegaraan juga terlarang. Karena hal tersebut termasuk politik.
Profil Masjid Dalam Daulah
Rasulullah SAW sebagai peletak awal Daulah Islam di Madinah membuat kebijakan awal membangun Masjid. Masjid Nabawi adalah masjid pertama yang dibangun Rasulullah di Madinah.
Sebab masjid merupakan tempat strategis berbagai kegiatan. Mulai dari kegiatan ibadah mahdhoh sampai kegiatan kenegaraan. Selain menjadi tempat sholat dan kajian-kajian Islam, masjid juga menjadi tempat berkumpul beliau bersama para sahabat. Rasulullah tidak hanya mengajarkan kaum muslimin dan menyabdakan hadis. Melainkan juga membahas hal-hal berkaitan politik kenegaraan.
Rasulullah merundingkan strategi perang dan kebijakan politik luar negeri dengan para sahabatnya. Rasulullah juga mengumpulkan tentara jihad untuk diberangkatkan di masjid. Bahkan Rasulullah membuka sesi pertemuan dengan masyarakat di Masjid.
Masjid juga menjadi pusat kegiatan dakwah dan syiar Islam. Orang-orang yang ingin mengenal Islam akan pergi ke Masjid. Yang ingin mendalami ilmu agama pun akan pergi ke Masjid. Pendatang baru bahkan akan menjadikan masjid sebagai destinasi pertamanya. Karena dapat dipastikan banyak orang berkumpul di masjid.
Kita akrab dengan kisah Abu Hurairah, seorang ahlus suffah (orang yang tinggal di masjid) menjadi perawi hadis nabi terbanyak. Masjid pula menjadi sumber berbagai strategi perang yang cemerlang dan pos pemberangkatan pasukan jihad yang akan menaklukkan banyak wilayah.
Bahkan pada masa-masa setelahnya, Masjid tetap menjadi poros kegiatan masyarakat. Masyarakat menganggap masjid sebagai tempat penting yang tak sekedar untuk ibadah mahdhoh saja. Di masa Umawiyyah, sekalipun pemerintahan telah memiliki kantor tersendiri tetap saja eksistensi Masjid tak hilang pamornya. Masjid menjadi tempat pertukaran ilmu antar ulama dan cendekiawan.
Bahkan di era kepempinan setelahnya, masjid tetap seperti itu. Contohnya Masjid Jami’ Al-Azhar yang dibangun oleh Dinasti Fatimiyah. Semenjak dahulu hingga saat ini, Al-Azhar tetap dikenal sebagai pusat ilmu. Yang dulunya hanya sebuah masjid besar berisi banyak dauroh saat ini telah dibangun universitas disekitarnya.
Di masa Utsmaniyyah, Masjid menjadi ikon kebesaran peradaban Islam. Tiap khalifah yang memimpin pasti akan membangun masjid besar nan megah. Seperti Masjid Biru, Masjid Sulaimaniyah, Masjid Sultan Bayazid dll. Arsitektur terkenal di belakang masjid-masjid besar ini adalah Mimar Sinan. Namun, semenjak ketiadaan daulah Masjid mengalami deklinasi fungsi perlahan demi perlahan. Sekulerisme yang memisahkan agama dengan kehidupan punya andil besar di balik ini semua.
Masjid hanya diperuntukkan membahas hal ihwal keagamaan individu. Apa kajian yang kita dengar di masjid? Tak jauh-jauh dari pembahasan rukun islam beserta perbaikan akhlak individu semata. Masjid jarang digunakan sebagai tempat mendiskusikan permasalahan umat, atau mengkaji fiqih uqubat beserta penerapannya, ataupun mengkaji perihal kenegaraan dari perspektif Islam.
Sebaliknya, tempat-tempat umum seperti perkantoran, ruko usaha, bank, bahkan kantor pemerintahan dilarang membahas keagamaan. Muslim dilarang membahas keharaman riba di dalam bank. Apabila ada orang yang ingin menerapkan sistem islam dalam bernegara dianggap ekstrimis dan radikalis. Bahkan tak segan, mereka akan dipersekusi.
Mungkin tepat jika pelarangan kampanye di masjid. Namun, tidak tepat jika kita membatasi masjid hanya tempat pelaksanaan ibadah mahdhoh saja. Karena masjid memiliki fungsi dan potensi yang lebih dari itu yang telah Rasulullah contohkan pada kita. Politik tetaplah layak dibicarakan dalam Masjid, namun politik yang sejalan dengan Qur’an dan Sunnah.
Oleh: Qathratun
Aktivis Muslimah
0 Comments