TintaSiyasi.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yang telah mengadili mantan Wali Kota Bekasi non aktif, Rahmat Effendi. Pada pengadilan tingkat kedua itu, Rahmat divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, subsidair 6 bulan kurungan. Majelis Hakim PT Bandung tidak menjatuhkan hukuman uang pengganti sebesar Rp 17 miliar, padahal uang panas tersebut dinikmati Rahmat Effendi (nasional.kompas.com).
Sepanjang 2022, Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi sudah melakukan penuntutan untuk lima perkara tindak pidana korupsi. Lima perkara tindak pidana korupsi tersebut yaitu, pengelolaan retribusi pelayanan tera pada Dinas Perdagangan Kabupaten Bekasi dengan jumlah dua terdakwa yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kemudian, dua perkara pidana korupsi pengadaan alat berat pada Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi tahun anggaran 2019. Pada perkara ini ada dua orang terdakwa masing-masing dari pihak swasta dan ASN. Perkara pidana korupsi selanjutnya yakni penyalahgunaan kekuasaan dalam pemeriksaan BPK RI perwakilan Jawa Barat atas laporan keuangan daerah Pemkab Bekasi (bekasi.pojoksatu.id).
Korupsi di Indonesia telah menjadi persoalan yang amat kronis, termasuk di wilayah Bekasi. Korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam. Berbagai sanksi yang diberikan negara nyatanya tak juga mampu menghilangkan kebiasaan korupsi.
Pada kasus korupsi oleh walikota non aktif Bekasi yang berujung kasasi, terlihat ada tebang pilih dalam memberikan hukuman dari sanksi yang bisa diringankan. Miris, dimana pengadilan seharusnya menjadi lembaga yang membantu pemerintah mewujudkan kehidupan yang bersih dari korupsi. Hal ini juga makin menunjukkan bahwa penanganan korupsi tidak dilakukan secara komprehensif, setengah hati, dan tidak sungguh-sungguh. Pengungkapan kejahatan korupsi hanya sedikit atau rendah jumlahnya, sementara masyarakat tahu bahwa korupsi terjadi di mana-mana.
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi sebab, kesempatan korupsi menjadi terbuka luas. Pertama, dari peraturan perundang-undangan berserta perangkatnya yang kurang efektif. Peraturan perundang-undangan dan kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sanksi hukum yang ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan, menjadi pintu masuk untuk melakukan korupsi.
Kedua, korupsi sudah jadi budaya. Kerusakan sistem politik dan pemerintahan yang ada dalam sistem kapitalismelah yang mengakibatkan korupsi semakin marak. Hal ini telah memberikan banyak peluang kepada aparatur pemerintah untuk beramai-ramai melakukan korupsi. Sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal membuka lebar pintu korupsi dengan nominal besar yang merugikan negara. Adanya mahar politik adalah satu keniscayaan dalam demokrasi. Jalan pintasnya dengan memanfaatkan jabatan dan posisi untuk korupsi agar cepat balik modal sekaligus meraup keuntungan besar saat berkuasa.
Ketiga, lemahnya integritas individu. Kesalahan orientasi hidup akibat sekulerisme kapitalisme menjadikan dunia sebagai tujuan, maka hidupnya penuh dengan upaya meraih keuntungan dunia sebesar-besarnya. Dari sini lahirlah sosok pribadi yang tamak dan serakah, mencari jalan untuk memenuhi ambisinya, meski dengan cara yang haram.
Islam memandang korupsi sebagai perbuatan keji. Perbuatan korupsi dalam Islam sama dengan fasad, yakni perbuatan yang merusak tatanan kehidupan yang pelakunya dikategorikan melakukan jinayaat al-kubra (dosa besar). Korupsi dalam Islam adalah perbuatan melanggar syariat sehingga akan ada berbagai macam upaya pencegahan yang dilakukan. Selain itu ada sanksi tegas terhadap para pelaku korupsi yang telah ditetapkan dalam syariat.
Berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber, didapatkan sejumlah cara yang ditunjukkan oleh syariat Islam, untuk mengatasi masalah korupsi hingga tuntas. Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan sebaik-baiknya. Agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan hidup lain yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun menafkahi keluarganya. Memang, gaji besar tidak menjamin seseorang tidak korupsi, tapi setidaknya persoalan rendahnya gaji tidak lagi bisa menjadi pemicu korupsi.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan seseorang kepada aparat pemerintah biasanya mengandung maksud tertentu, yakni bagaimana agar aparat itu bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Larangan ini bertujuan agar aparat pemerintah tetap bekerja secara jujur dan bersih, tanpa ada intervensi dari pihak manapun yang ingin mengambil keuntungan secara pribadi lewat pejabat atau aparat pemerintah.
Ketiga, perhitungan kekayaan. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat secara tidak wajar. Meski belum tentu orang yang cepat kaya pasti karena korupsi. Bisa saja ia mendapatkan kekayaannya itu dari warisan, bisnis, atau cara lain yang halal. Perhitungan kekayaan telah dicontohkan oleh Umar bin Khaththab saat menjadi Khalifah. Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal. Umar tidak meminta jaksa mapupun pihak lain untuk membuktikannya.
Bila gagal membuktikan, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada baitulmal, atau membagi dua kekayaan itu separuh untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang. Tapi sayangnya, cara bagus ini justru ditentang oleh para anggota DPR untuk dimasukkan dalam perundang-undangan. Pembuktian harta kekayaan di depan pengadilan oleh jaksa yang selama ini lazim dilakukan terbukti selalu gagal mengungkap tindak korupsi, karena para koruptor tidak ada yang meninggalkan jejak, misal bukti transfer, kuitansi, cek, atau lainnya.
Keempat, teladan pemimpin. Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila para pemimpin, terlebih pemimpin tertinggi, dalam sebuah negara bersih dari korupsi. Dengan takwanya, seorang pemimpin melaksakan tugasnya dengan penuh amanah dan takut berbuat pelanggaran. Meskipun ia bisa bekerja sama dengan pejabat lain untuk menutup kejahatannya, Allah SWT pasti melihat semuanya dan di akhirat pasti akan dimintai pertanggung jawaban.
Dengan teladan pemimpin, tindak korupsi akan mudah terdeteksi sedari dini. Penanganan tindak korupsi pun tidak sulit dilakukan. Tapi bila korupsi justru dilakukan oleh para pemimpin, praktik busuk ini tentu akan cenderung ditiru oleh bawahannya, hingga semua upaya apa pun dalam memberantas korupsi menjadi sia-sia.
Kelima, sanksi yang menjerakan. Dalam Islam, koruptor dikenai hukuman takzir (hukuman yang ditetapkan oleh penguasa) berupa tasyhir atau pewartaan (di masa lalu dengan diarak keliling kota, pada masa kini mungkin bisa ditayangkan di televisi atau media lainnya), penyitaan harta dan hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati tergantung dari besaran kejahatan korupsinya.
Keenam, kontrol dari masyarakat. Masyarakat dapat berperan menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Masyarakat yang bermental instan akan cenderung menempuh jalan pintas dalam berurusan dengan aparat dengan tak segan memberi suap dan hadiah. Sementara masyarakat yang mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Demi menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat, khalifah Umar di awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang”.
Demikianlan cara Islam menghilangkan masalah korupsi yang telah mendarah daging di negeri ini. Tampak jelas bahwa Islam melalui syariatnya telah memberikan jalan yang sangat jelas dalam pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Di sinilah pentingnya seruan pelaksanaan syariat Islam agar penanganan masalah korupsi secara komprehensif dapat segera ditegakkan tanpa adanya tebang pilih hukuman. []
Oleh: Hanum Hanindita, S.Si.
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments