TintaSiyasi.com -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mencabut pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pada Jumat (30/12) (voaindonesia.com, 30/12/2022). Hal ini disampaikan langsung oleh presiden, pencabutan PPKM diambil setelah melalui pertimbangan dan kajian yang panjang dan dengan memperhatikan situasi pandemi di tanah air. Namun Juru bicara kementerian kesehatan, Mohammad Syahril, yang mengatakan bahwa walaupun PPKM di Indonesia sudah dicabut, Indonesia masih dalam kondisi pandemi dan memerintahkan untuk tetap waspada dengan menggunakan masker dan vaksinasi.
Pada saat yang sama, terjadi peningkatan kasus Covid 19 di Jepang dan China. Kasus Covid-19 di Jepang telah 'menggila', menyusul China yang juga sedang tinggi-tingginya mencatat angka infeksi harian. Pada Sabtu (24/12), Negeri Sakura mencatat 177.739 kasus baru dengan kasus harian naik hingga hampir 19 ribu kasus dibanding sehari sebelumnya (cnnindonesia.com, 26/12/2022).
Mengapa kasus Covid-19 di Jepang menggila lagi? Padahal Jepang dan China merupakan negara yang ekonominya agaknya lebih stabil dari Indonesia. Ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan covid-19 di Jepang dan China semakin menggila. Seperti yang dikutip dari cnnindonesia.com (26/12/2022), pada 11 Oktober lalu, Jepang sudah mulai menghentikan sejumlah aturan perbatasan ketat yang selama ini diterapkan. Pelonggaran kembali aturan itu disebut-sebut jadi salah satu penyebab kasus Covid-19 Jepang melonjak.
Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, belakangan juga mulai mengumumkan membuka kembali pariwisata di sana untuk memperbaiki perekonomian yang sempat terhenti di negara itu. Akibatnya, hampir satu juta pelancong bertandang ke Negeri Sakura pada November, seperti dikutip Reuters.
Seharusnya melonjaknya kasus Covid-19 yang ada di jepang dapat memberikan pembelajaran kepada Indonesia. Agaknya jika tetap besikukuh untuk menghentikan PPKM maka tidak menutup kemungkinan Indonesia akan menyusul Jepang dan China. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara yang diminati oleh banyak turis dari luar. Tentu saja ini mengundang kekhawatiran bagi masyarakat, ditambah lagi kebanyakan turis yang datang adalah dari negeri China yang kasus Covid-19 sedang kembali memburuk.
Kekhawatiran masyarakat bukanlah tanpa sebab, pemerintah Indonesia terlihat tidak memberikan syarat khusus bagi pelancong asal China, padahal di saat yang sama sejumlah negara termasuk Amerika Serikat, Italia, Jepang, Malaysia, dan India menerapkan syarat yang ketat bagi kedatangan turis asal China. Bagaimana tanggapan ahli kesehatan atas keputusan dari pemerintah? Tentu saja ahli kesehatan sudah memperingatkan agar pemerintah memberi pantauan 14 hari kepada turis dari China yang masuk ke Indonesia, hal ini tentu sebagai langkah antisipasi. Hal ini disampaikan oleh Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Profesor Tjandra Yoga Aditama bukan tanpa sebab, karena menurutnya data covid yang ada di China masih belum jelas, selain itu Kepala Kedaruratan WHO dr. Michael Ryan mengatakan bahwa unit perawatan intensif (ICU) masih sibuk walaupun sudah banyak dari pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa angka kasus covid “relatif rendah” (Bbcnewsindonesia.com, 29/12/2022).
Walaupun kebijakan ini katanya sudah memerhatikan segala aspek, dan pemberhentian PPKM ini juga dilakukan salah satunya untuk menggerakkan ekonomi. Namun melihat banyaknya resiko yang masih ada, seharusnya berbagai kebijakan yang menyertai juga harus semakin ketat, seperti tidak membiarkan turis masuk dengan bebas, adanya isolasi selama minimal 14 hari dan aturan lainnya yang akan meminimalisir terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia.
Namun agaknya sangat kecil kemungkinan hal diatas dapat terealisasikan, hal ini dikarenakan negara ini dengan kapitalismenya telah menjadikan manfaat sebagai asas dalam melakukan sesuatu, termasuk dalam membuat kebijakan. Dalam kapitalisme jelas ekonomi lebih diutamakan daripada keselamatan masyarakat, kebijakan yang dibuat kerap kali lebih menguntungkan para korporasi, alhasil para penguasa di sistem ini malahan menjadi penguasa oligarki yang kerap kali menyusahkan rakyatnya dengan berbagai kebijakan yang dibuat. Dan peningkatan ekonomi yang katanya untuk rakyat, ternyata rakyat yang dimaksud adalah para penguasa dan korporasi bukan rakyat kalangan bawah yang sudah terhimpit dari segi ekonomi dihimpit lagi dengan mahalnya kesehatan yang harus dibayar.
Saat Covid-19 belum pulih sepenuhnya, para penguasa sudah berencana untuk mengubah status pandemi yang sudah berjalan selama 2 tahun kurang lebih lamanya menjadi endemi. Walaupun kita patut senang dengan status endemi ini karena artinya Covid-19 sudah hampir meninggalkan negara ini, namun mirisnya ternyata ada hal-hal yang akan berubah seperti pembiayaan perawatan covid-19 yang tak lagi ditanggung oleh negara. hal ini disampaikan langsung oleh menteri kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kompas.com, 22/3/2022).
Jika harus makin mandiri dalam mencegah penularan, mendeteksi gejala, dan mencari pengobatan, justru ini menunjukkan bentuk lepas tangan pemerintah atas nasib rakyatnya. Seharusnya baik berstatus pandemi maupun endemi negara wajib memenuhi kewajiban-kewajiban terkait penanganan pandemi dan keselamatan warga negaranya. Namun lagi-lagi, kita masih berada dalam sistem sekuler kapitalisme, dalam sistem ini semua dikomersialisasikan termasuk kesehatan, negara hadir bukan sebagai pelayan umat namun dalam sistem ini negara hanya sebagai regulator yang hanya membuat kebijakan yang menguntungkan penguasa dan pengusaha. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang dibuat para penguasa dengan mencabut PPKM namun membiarkan warga asing masuk dengan bebas namun rakyat disuruh menjaga diri secara mandiri. Alhasil, rakyat disuruh menjaga tapi negara membiarkan virus Covid-19 masuk dengan bebas dan membuat resiko tertular lebih besar.
Berbeda halnya dengan kapitalisme, dalam sistem pemerintahan Islam tentu pandemi seperti ini tidak akan terjadi secara berlarut-larut. Khalifah yaitu pemimpin dalam sistem Islam akan mengatasi permasalahan ini dengan merujuk pada hadis Rasullullah SAW, seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab yang pada masa jabatannya sebagai khalifah, negeri Syam sedang dilanda wabah Thaun, Umar sebagai pemimpin kala itu, langsung mengambil keputusan yang bijak dan tepat bagi umatnya. Kebijakan Umar saat terjadi virus adalah tidak memasuki negeri saat terjadinya thaun tersebut. Walaupun keputusan khalifah banyak mendapatkan pertentangan namun Umar diyakinkan oleh Abdurrahman bin ‘Auf untuk tidak melanjutkan perjalanan dengan merujuk pada hadis Nabi sebagai berikut:
“Apabila kalian mendengar wabah thaun melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian-kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Begitulah kebijakan dalam sistem Islam untuk menimbang manfaat dan mudharat bagi rakyat bukan bagi korporasi seperti yang dilakukan oleh negara kapitalisme. Dalam sistem Islam negara bertindak sebagai pelayan umat. Terlebih lagi dalam sistem Islam baik sedang pandemi maupun tidak, kesehatan merupakan hak bagi rakyat dan kewajiban negara untuk memenuhi hak rakyat tanpa meminta uang sedikitpun. Karena itu dalam sistem pemerintahan kesehatan gratis, tentunya dengan fasilitas terbaik, bukan fasilitas yang terdapat dalam kapitalisme, yang jika ingin fasilitas terbaik maka harus melihat tingkat golongan dan seberapa besar pembayaran yang dilakukan setiap bulan. Bukankah sudah sangat jelas perbedaan sistem Islam dengan kapitalisme? Masihkah ingin berharap solusi dari kapitalisme?
Wallahu a'lam. []
Oleh: Nada Navisya
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments