Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Khilafah, Pelindung Kaum Muslim

TintaSiyasi.com -- Jumlah pengungsi Rohingya di Indonesia terus saja bertambah dalam beberapa bulan terakhir. Berdasarkan data, pada tiga bulan terakhir tercatat ada 644 orang pengungsi Rohingya baru yang tiba di Indonesia. Pengungsi Rohingya tersebut khususnya menjadikan Provinsi Aceh sebagai tujuan untuk berlabuh lalu mengungsi (TribunSumsel.com, 11/1/2023).

Sementara pada awal bulan Januari diberitakan sekitar 200 pengungsi Suriah menumpang di kapal yacht yang hampir tenggelam. Seluruh korban berhasil dievakuasi ke atas KRI-Frans Kaisiepo-368, meski ada dua orang yang meninggal. Semua korban kemudian dievakuasi menuju ke Tripoli, Lebanon dan diberikan penanganan lanjutan oleh badan pengungsi internasional (UNHCR) (idntimes.com, 3/1/2023).
Di Indonesia sendiri, jumlah pengungsi dan pencari suaka yang tercatat adalah berkisar 13.700 jiwa (Reliefweb.int, 2022) di mana 7600 di antaranya berasal dari Afghanistan (etnis minoritas Hazara), selebihnya berasal dari Somalia, Irak, Myanmar, Sudah, Sri Lanka, Yaman, Palestina, Iran, Pakistan, Eritrea dan Ethiopia (law.ui.ac.id).

Sedih, mengingat semestinya manusia bisa hidup berdampingan di bumi yang penuh potensi sumber daya alam dan daya dukung untuk menopang kehidupan seluruh makhluk hidup. Mengapa hal itu tidak bisa terwujud, dan umat manusia terlebih kaum Muslimin saat ini terlunta-lunta dan terpinggirkan, bahkan diusir dari tempat tinggalnya sendiri tanpa ada Pelindung dan Pengayom?

Padahal Islam, turun dengan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan. Dengan kelengkapan aturannya, Islam mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup manusia, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun publiknya. Mengapa? Karena aturan Islam berasal dari Sang Pencipta manusia, yang Paling Tahu seluk-beluk ciptaanNya. Aturan Islam tidak memihak satu kepentingan tertentu, tapi mengakomodir semua kemaslahatan umat manusia. Sehingga kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan hidup bisa tercapai, dengan syarat Islam diterapkan secara kaffah di seluruh aspek kehidupan dalam bingkai negara yang disebut Khilafah. Khilafah akan senantiasa melindungi dan mengayomi warganya di manapun berada.

Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan hadis dari jalur Abu Hurairah radhiya-Llahu ‘anhu, bahwa Nabi SAW, bersabda:
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Hadis di atas menggunakan lafaz, al-Imâm, bukan lafaz al-Amîr. Nabi SAW memilih dan menggunakan lafaz ini bukan tanpa maksud, sebaliknya tentu dengan maksud. Dengan telaah berbagai hadis yang membahas Bab al-Khilâfah dan al-Imâmah, tampak sekali, bahwa Nabi SAW, para sahabat ridhwanu-Llah ‘alaihim dan para tabiin yang meriwayatkannya tidak membedakan antara lafaz, Khalîfah dan Imâm. Dengan kata lain, lafaz, Imâm di sini mempunyai konotasi, Khalîfah. Karena kedua lafaz ini konotasinya sama, sehingga ketiga digunakan lafaz Imâm, maka yang dimaksud adalah Khalîfah.

Setelah ‘Umar bin al-Khaththab, radhiya-Llahu ‘anhu, diangkat menjadi Khalifah, menggantikan Abu Bakar as-Shiddiq, para sahabat menambahkan lafaz, Amîru al-Mu’minîn. Karena itu, para ulama’ kemudian menggunakannya, dan menjadikan ketiga lafaz, Imâm, Khalîfah dan Amîru al-Mu’minîn tersebut sebagai sinonim, dengan konotasi yang sama. Imam an-Nawawi menjelaskan:

“Untuk seorang imam [kepala negara], boleh disebut dengan menggunakan istilah: Khalîfah, Imâm dan Amîru al-Mu’minîn.”

Mengapa hanya Imâm/Khalîfah yang disebut sebagai Junnah [perisai]? Karena dialah satu-satunya yang bertanggungjawab sebagai perisai, sebagaimana dijelaskan dalam hadis lain:
“Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Menjadi Junnah [perisai] bagi umat Islam, khususnya, dan rakyat umumnya, meniscayakan Imâm harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu akidah Islam. 

Inilah yang ada pada diri Nabi SAW dan para Khalifah setelahnya, sebagaimana tampak pada surat Khalid bin al-Walid:
“Dengan menyebut asma Allah, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin al-Walid, kepada Raja Persia. Segala puji hanya milik Allah, yang telah menggantikan rezim kalian, menghancurkan tipu daya kalian, dan memecahbelah kesatuan kata kalian. Maka, masuk Islamlah kalian. Jika tidak, bayarlah jizyah. Jika tidak, maka aku akan datangkan kepada kalian, kaum yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”
Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, Nabi SAW melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun, tak kurang 79 kali peperangan dilakukan, demi menjadi junnah [perisai] bagi Islam dan kaum Muslim.

Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khilafah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan.
Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, semuanya melakukan hal yang sama. Karena mereka adalah junnah [perisai].

Umat Islam, Khilafah dan Khalifahnya sangat ditakuti oleh kaum Kafir, karena akidahnya. Karena akidah Islam inilah, mereka siap menang dan mati syahid. Mereka berperang bukan karena materi, tetapi karena dorongan iman. Karena iman inilah, rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu, musuh-musuh mereka pun ketakutan luar biasa, ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim.

Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka.” Sampai terpatri di benak musuh-musuh mereka, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.

Sebaliknya, meski kini kaum Muslim mempunyai banyak penguasa, tetapi mereka bukanlah Imâm yang dimaksud oleh hadis tersebut. Apa buktinya?
Karena Imâm di dalam hadis tersebut adalah penguasa kaum Muslim yang memimpin negara yang sangat kuat, ditakuti kawan dan lawan. Karenanya, bukan hanya agama, kehormatan, darah dan harta mereka pun terjaga dengan baik. Karena tak ada satu pun yang berani macam-macam.

Bandingkan dengan saat ini, ketika al-Qur’an, dan Nabinya dinista, justru negara dan penguasanya membela penistanya. Ketika kekayaan alamnya dikuasai negara Kafir penjajah, jangankan mengambil balik, dan mengusir mereka, melakukan negosiasi ulang saja tidak berani.
Bahkan, merekalah yang memberikan kekayaan alamnya kepada negara Kafir, sementara di negerinya sendiri rakyat terpaksa harus mendapatkannya dengan susah payah, dan dengan harga yang sangat mahal. Ketika orang non-Muslim menyerang masjid, membunuh mereka, bukannya mereka dilindungi dan dibela, justru penyerangnya malah diundang ke istana.
Karena itu, jelas bahwa Khilafahlah satu-satunya pelindung umat, yang menjaga agama, kehormatan, darah dan harta mereka. Khilafahlah yang menjadi penjaga kesatuan, persatuan dan keutuhan setiap jengkal wilayah mereka.
Wallahu a’alam bishshowwab.

Oleh: Noor Hidayah
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments