Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Gurita Korupsi Bersahabat Yurisdiksi

Tintasiyasi.com -- Tiba sudah penghujung tahun 2022. Banyak kejutan akhir tahun dengan berbagai bentuknya menghampiri negeri ini. Salah satunya kasus korupsi dana hibah Provinsi Jawa Timur yang menyeret Sahat Tua P. Simandjuntak selaku Wakil Ketua DPRD Jatim yang dikutip dari KOMPAS.com (29/12). Kasus ini melengkapi daftar panjang korupsi selama 2022.

Korupsi memang rutin muncul dalam pemberitaan lokal seakan menyapa kantong renik rakyat cilik. Telinga rasanya sudah tak asing dengan isu Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dan nominal kerugian negara akibat tindakan rasuah. Miris sekali, di tengah ekonomi masyarakat yang terhimpit justru uang negara dengan mudah diembat pejabat. 

Kalau kita tilik korupsi di Indonesia tiap tahunnya mengalami kenaikan. Dapat dilihat pada laman GoodStats.id (2/9/22) yang menampilkan tren korupsi Indonesia dari tahun ke tahun. Sejak 2012 hingga 2021 korupsi kian meningkat. Tren korupsi Indonesia sempat turun sekali yaitu pada tahun 2019 ke 2020.

Tahun 2022 juga tidak menunjukkan pengurangan kasus korupsi. Sekalipun Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laman resminya (bps.go.id , 1/8) menyatakan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia pada tahun ini meningkat dibanding dengan tahun sebelumnya, fakta di lapangan tidak demikian. 

Korupsi LNG PT Pertamina, suap penerimaan mahasiswa oleh Rektor Unila, dan korupsi Bupati Memberamo Tengah menghiasi lini berita nasional. Itu baru kasus sensasional yang mengundang perhatian publik. Belum lagi dengan kasus pritilan lain dan megakorupsi yang hingga tahun ini tak kunjung tertangani. Bahkan, korupsi kini merambah pada jejeran aparat tinggi negara. Lembaga tinggi penegak hokum nyatanya tak kosong dari korupsi. Seperti kasus korupsi Mahkamah Agung yang hingga kini telah tercatat 14 tersangka (BBC.com 20/12). 

Tidak lupa, kasus Ferdi Sambo yang menguak busuknya mafia di kepolisian.

Hanya Angin Lalu

Masyarakat menaruh harap tiap tahunnya APBN serta APBD terealisasikan dengan optimal, menyejahterakan rakyat dan yang terpenting kas negara tidak tersedot habis oleh kantong rakus aparat negara. Namun apalah daya berharap pada sistem buatan manusia. Tentu hanya akan menjadi angan belaka. 

Kita bisa melihat bersama, bagaimana KPK perlahan diamputasi dan dibatasi gerak bebasnya. Program Operasi Tangkap Tangan  (OTT) terus dipersoalkan dengan dalih tak ramah pejabat dan mengganggu privasi dan hak asasi. Sekelas Menteri seperti Luhut dan Mahfudh MD pun melayangkan kritik pedas pada aksi OTT KPK. 

KUHP terbaru pun bukan menjadi ancaman hukum bagi koruptor. Melainkan sekedar sanksi formalitas. Bayangkan saja, koruptor yang menyedot kas negara ratusan milyar hingga triliunan hanya diberi sanksi penjara minimal 2 tahun dan maksimal 20 tahun atau denda minimal 10 juta dan maksimal 2 miliar. Tentu tidak sepadan dengan kerugian yang mereka hasilkan.
Beginilah jika kedaulatan tertinggi diserahkan pada kesepakatan manusia. Padahal manusia memiliki banyak batasan seperti memiliki sifat dasar rakus dan ingin mendominasi. Manusia tak pernah merasa cukup dengan makan hingga kenyang untuk menjalani kehidupan. Melainkan manusia ingin menumpuk harta sebanyak mungkin dan merebut tahta demi keberlangsungan nafsu rakusnya. 

Demokrasi yang diterapkan saat ini melanggengkan hawa nafsu manusia dan melegalkan kerakusan korporat. Tidak ada yang merasakan keadilan kecuali kaum berdasi. Karena hukum tertinggi dibuat oleh manusia dan bebas diotak-atik sesuai kemauan. Mufakat rakyat bersama hanya ilusi semata. 

Perspektif Islam 

Dalam Islam, korupsi bukan lagi masuk pada pidana sariqoh (pencurian). Melainkan masuk dalam tindakan pengkhianatan yang pelakunya disebut khaain. Sanksinya berupa takzir yang ditetapkan kadar hukumannya oleh hakim. Sebagaimana dalam hadis Jabir bin Abdillah bahwasannya Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak diterapkan hokum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan [termasuk koruptor], orang yang merampas harta orang lain dan penjambret.” (HR Abu Dawud)

Dengan penerapan syariah islam secara kaffah akan memberantas tindak korupsi hingga akarnya. Baik secara preventif (pencegahan) maupun kuratif (penindakan).

Dirangkum dari blog kuliahpemikiran.wordpress.com karya Ustadz Shiddiq Al-Jawi, ada 6 langkah pencegahan preventif perilaku korupsi. Yaitu rekrutmen SDM aparat negara berasas profesionalitas dan integritas, pembinaan aparat dan pegawai oleh negara, pemberian gaji dan fasilitas yang layak kepada aparat guna menutup celah motif perilaku korupsi, dan perintah islam untuk melakukan audit terhadap asset kekayaan aparat pemerintahan. 

Selanjutnya, jika korupsi telanjur terjadi maka daulah wajib menindak tegas dengan memberi sanksi yang kuratif dan represif. Hakim bisa menentukan takzir dengan hukuman teringan seperti dinasihati hingga sanksi terberat seperti hukuman mati. 

Langkah-langkah diatas terbukti akurat mengatasi dan mencegah tindak korupsi. Kita banyak membaca kisah wara’ para pejabat di masa daulah islam masih tegak. Bahkan tak segan mereka bersikap zuhud demi menjaga diri dari harta haram dan syubhat di sekitar mereka. 
Seperti kisah Umar bin Abdul Aziz yang enggan mengambil harta baitulmal hanya untuk membeli baju baru anaknya setelah ditegur penjaga baitulmal. 

Terdapat pula kisah Umar bin Khattab yang sangat tegas dan awas dengan harta para gubernurnya. Beliau tak segan menegur Abu Hurairah yang hartanya berkembang pesat setelah menjadi khalifah,. Beliau juga pernah mengirim surat peringatan kepada Amru bin Ash dan memerintahkan kepercayannya mengaudit harta Amru bin Ash yang dinilai ganjil. 

Persoalan korupsi yang merajalela bahkan telah bergandeng-tangan dengan yurisdiksi tak cukup dengan penanganan biasa. Koruptor tak hanya individu, melainkan menjadi sebuah oknum yang menjadi benalu dalam pemerintahan. Perilaku korupsi pun tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan hampir seluruh negara dunia. 
Hal ini menunjukkan terjadinya kesalahan pada sistem. Sebab korupsi hanyalah salah satu akibat dari kerusakan hegemoni kapitalisme.

Kapitalisme yang melegalkan kebebasan tanpa batasan telah melemahkan karakter mulia individu dan menumbuhkan nilai hedonisme yang mendorong penghalalan segala cara guna mendapatkan harta. Kapitalisme telah menciptakan lingkungan rusak berbudaya suap-menyuap, penegakan hukum yang lemah, serta panggung politik kotor yang sarat akan modal tinggi. 

Hanya dengan Islam yang memiliki perundang-undangan sempurna mahakarya Al-Mudabbir mampu menuntaskan permasalahan korupsi dan masalah sosial lainnya. Dengan Islam akan terbangun individu yang berkarakter mulia, lingkungan yang kondusif dengan ketaatan dan pemerintahan yang adil dan menyejahterakan.[]

Oleh: Qathratun
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments