Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UU IKN Direvisi, Benarkah Kejar Tayang demi Oligarki?


TintaSiyasi.com -- Belum lama ini, pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) dan akan terlaksana tahun depan. Seluruh pembahasan revisi yang baru diterbitkan Februari 2022 itu pun telah dilaksanakan pemerintah.

Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos Adiwijaya, benar bahwa ada rencana revisi UU IKN. Pemerintah sudah mengusulkan revisi UU IKN dan telah disetujui dalam Prolegnas prioritas 2023 dan telah disetujui oleh Baleg DPR RI. Dalam hal ini baik pemerintah maupun DPR, tentunya siap untuk membahas RUU Perubahan UU IKN pada 2023 (CNBC Indonesia, 12/12/2022)

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa mengungkap sejumlah alasan pemerintah mengajukan revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) setahun setelah pengesahan. Salah satu alasan pemerintah adalah perubahan aturan mengenai pertanahan. Menurutnya, ada masukan dari investor mengenai kepemilikan tanah di IKN Nusantara (CNN Indonesia, 1/12/2022)

Sejak awal pembangunan IKN dipertanyakan urgensitas dan prioritasnya. Disaat negeri ini terancam krisis ekonomi pada 2023, pemerintah justru terus mencari jalan untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN). Terlebih, biaya infrastruktur yang dibutuhkan sangat besar dan pastinya melibatkan untuk bermitra pada swasta. Dengan banyaknya investor swasta yang terlibat, hal ini dapat mengakibatkan IKN jadi tidak berdaulat.

Publik menilai UU yang terkesan direvisi buru-buru ini dilakukan karena ada unsur kepentingan di dalamnya. Hal ini nampak dari apa yang disampaikan oleh Suharsono mengenai alasan pertanahan. Para investor menginginkan untuk bisa bukan hanya mendapatkan hak selama 90 tahun atau bisa dua kali lipat 180 tahun, tetapi bagaimana orang bisa beli atau tidak tanah di sana.

Pernyataan ini dapat diproyeksikan ke depan bahwa revisi UU IKN akan lebih banyak mengadopsi kepentingan para oligarki. Kebijakan yang terkesan "by order" ini hanya menguntungkan bagi segelintir orang maupun kelompok. Mereka yang akan berkuasa dan mengendalikan negara sesuka hati dengan menjadikan keuntungan sebagai prioritasnya. Dalam hal ini, penguasa bekerja bukan untuk rakyat melainkan untuk konglomerat.

Pemerintah hanya dijadikan perpanjang tangan para oligarki untuk menguasai negeri ini, sementara rakyat selalu menjadi tumbal dari setiap kebijakan yang diambil, dan DPR dijadikan tukang stempel untuk mengesahkan setiap kebijakan. 

Tidak hanya itu, pasalnya usaha pemerintah untuk melakukan revisi UU IKN terkesan untuk menutupi kesalahan perencanaan dan pembiayaan IKN yang serampangan. Dengan memaksakan penggunaan APBN tanpa batasan yang jelas dan tegas. Seperti itulah gambaran proses legislasi yang dilakukan di negeri sistem kapitalisme. Kebijakan yang diambil berdasarkan keinginan dan kepentingan penguasa.

Proses legislasi dalam sistem kapitalisme sangat berbeda dengan sistem Islam. Asas yang digunakan dalam Islam adalah berdasarkan aqidah Islam. Sumber hukum yang digunakan adalah Al-Qur'an dan hadis.

Allah SWT berfirman, "Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” (TQS. Al-An'am: 57).

Oleh karena itu, hukum yang wajib diterapkan adalah yang bersumber dari wahyu, yakni dari Al-Qur'an dan As-Sunnah; serta yang ditunjukkan oleh keduanya, yakni Ijmak Sahabat dan Qiyas Syari. Dari situlah semua hukum syariah berasal dan diambil.

Sedangkan posisi pengusaha sebagai pelaksana syariat, bukan sebagai pembuat hukum. Penguasa dalam Islam adalah raain (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) rakyat. Kelak di akhirat ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT. 

Adapun lembaga majelis umat yang berisikan para wakil rakyat bertugas memberi masukan pada penguasa terkait pelaksanaan syariat dan mengoreksi penguasa jika terjadi kezaliman dan pelanggaran syariat. Dengan demikian, tidak ada kongkalikong antara penguasa dan wakil rakyat dalam membuat aturan yang menyalahi syariat.

Pada dana Baitul Mal pun demikian, khalifah harus mempertanggungjawabkan setiap dirhamnya, hingga terkait adanya kecurangan ataukah tidak. Walhasil, dengan sistem Islam, penguasa tidak bisa seenaknya mengatur negara dan memakai uang, melainkan harus sesuai syariat-Nya. Demikianlah gambaran sistem legislasi dalam sistem Islam. Melahirkan peraturan yang tegas dan bersifat tetap.

Wallahu a'lam. []


Oleh: Novriyani, M.Pd.
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments