Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tanpa Khilafah, Ekonomi yang Diterapkan Bukan Ekonomi Islam


TintaSiyasi.com -- Ahmad Khozinudin menegaskan bahwa setiap konsepsi ekonomi yang diterapkan tanpa khilafah, maka itu bukan ekonomi Islam.

“Saya ingin tegaskan setiap konsepsi ekonomi yang diterapkan tanpa khilafah, maka itu bukan ekonomi Islam, melainkan hanya islamisasi ekonomi,” ungkapnya dalam diskusi publik dengan tema Khilafah Solusi Negeri, Bukan Demokrasi yang disiarkan Live di YouTube Ahmad Khozinudin, Sabtu (03/12/2022).

Ia menjelaskan yang disebut dengan ekonomi Islam haruslah benar-benar menerapkan norma Islam secara apa adanya sesuai dengan ketentuan syarak. Sementara menurutnya, kalau islamisasi ekonomi yakni merubah satu sistem ekonomi yang sebelumnya tidak islami seolah-olah menjadi islami. Ia mencontohkan seperti, ketika melakukan pinjaman riba agar islami baca bismillah jadi riba yang islami, mau mencuri baca bismillah jadilah mencuri yang islami.

Ia memberikan contoh lainnya, dengan mengeluarkan obligasi, tanda piutang mendapatkan manfaat dari utang, ketika langsung mendapat manfaat jadi riba,  maka dikutak-katik namanya menjadi obligasi syariah. Padahal menurutnya, keduanya sama-sama mengambil manfaat dari utang. 

“Padahal di dalam hadis Nabi SAW jelas bahwa riba setiap pinjaman yang mengambil manfaat entah apa itu dikonsepsinya manfaatnya dari apapun namanya, tetap saja itu jadi masalah. Kenapa? Karena ini hanya menjadi islamisasi ekonomi bukan ekonomi Islam. Konsep riba tadi tidak diterapkan dengan khilafah, sehingga riba tadi dikutak-katik dalam bentuk penisbatan yang lain,” bebernya. 

Selain riba, ia menyebutkan masalah lain yang tidak kalah rusak akibat kesalahanpahaman islamisasi ekonomi adalah pengelolaan tambang. Ia menjelaskan, ketika mengelolanya tidak di bawah naungan khilafah, berusahna dipas-paskan seolah-olah penambangan yang ada di Indoensia sudah syari, padahal dilakukan oleh individu, swasta, korporasi asing dan aseng, yang semuanya merupakan perkara yang batil menurut ajaran Islam.  

Khozinudin menjelaskan bahwa tambang-tambang termasuk hutan, laut, kekayaan alam yang lainnya menurut ajaran Islam adalah kategori al milkiatul ammah atau kepemilikan umum (public property), sehingga pengelolaanya baik individu, swasta, korporasi terlarang (haram), sebab yang memiliki wewenang untuk menguasai barang-barang tersebut adalah rakyat. 

Ia melanjutkan, karena rakyat tidak bisa mengelola barang-barang tambang tersebut, maka diwakili oleh negara. Maka ia menjelaskan, dalam konteks mengelola tambang adalah negara dengan akad wakalah. Berbeda dengan konsep al milkiatul daulah, ia menerangkan, negara bisa menyewakan tanah yang masuk kategori al milkiatul daulah, tetapi negara tidak bisa menjadi wakil yang kemudian mengakadkan wakalah ke orang lain lagi, karena negara harus mengelola sendiri. 

“Jadi tidak ada kontrak karya di dalam sistem khilafah. Karena kontrak karya itu kan berarti mendelegasikan wakalah kepada wakalah lainnya. Harus negara yang mengelola langsung, tidak boleh kemudian negara mengakadkan wakalah lagi dengan kontrak karya kepada individu, swasta, asing dan aseng, dan seterusnya,” jelasnya. 
 
Seperti yang terlihat saat ini katanya, kehidupan yang begitu sempit menimpa Indonesia, karena salah satu penyebabnya adalah kesalahan dalam mengelola sumber daya alam seperti tambang-tambang dikuasai oleh individu bukan negara sesuai aturan syariat Islam. 

Seharusnya menurutnya, tambang-tambang yang depositnya melimpah dikuasai oleh negara, dan dikelola untuk dikembalikan manfaatnya kepada rakyat, semestinya digunakan negara untuk menjamin kebutuhan primer dari setiap warga negara baik itu sandang, pangan, papan, juga kebutuhan yang sifatnya politik baik pendidikan, kesehatan, dan keamanan.  

"Rasulullah SAW telah bersabda dalam satu hadis bahwa Nabi SAW telah memerintahkan barang-barang yang masuk al-milkiatul ammah atau kategori kepemilikan umum termasuk di dalamnya adalah tambang dengan deposit yang melimpah. Dalilnya adalah hadis riwayat Abjad bin Hamal yang pernah minta tambang garam. Tadinya dikasih oleh Nabi tapi dikatakan oleh seorang sahabat mengatakan, ‘ya Rasul apakah anda tahu apa yang Anda berikan kepada Abjad bin Hamal ini sesungguhnya memberikan sesuatu yang sangat besar seperti air yang selalu mengalir?” sebut Khozinudin. 

"Artinya tambang garam yang diberikan kepada Abjad bin Halim dan depositnya melimpah kemudian Rasul SAW menarik kembali tambang itu. Tambang-tambang dengan deposit berlimpah tidak boleh dikuasai individu. Sampai Rasul pun menarik kembali," lanjutnya.

Tetapi hari ini justru tambang-tambang yang semestinya bisa menopang kesejahteraan rakyat seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang, pangan, dan papan untuk mengatasi masalah bencana, justru dikuasai oleh kapitalis, baik kapitalis asing juga domestik. Ia mencontohkan, domestik yang menguasai tambang batu bara, seperti Luhut Binsar Pandjaitan.

“Dalam Islam, Luhut haram menguasai tambang. Jusuf kalla juga haram menguasai tambang. bukan hanya Freeport, bukan hanya PT Newmont, bukan hanya PT perusahaan-perusahaan China. Luhut Binsar, Jusuf Kalla dan semua individu itu terlarang, haram. Siapa yang harusnya mengelola? Harus negara, khilafah dalam hal ini,” tegasnya.

Kemudian ia melanjutkan, hasil pengelolaannya akan dikembalikan kepada rakyat. Maka wajar saja menurut Sastrawan Politik itu, kalau sekarang hidup masyarakat Muslim di Indonesia sempit sekali dan susah.

"Karena tidak mengatur urusan tambang, urusan ekonomi dengan syariat Islam," pungkasnya. [] Umi Faisal/M. Siregar
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments