Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Permen PPKS, Solusikah?

TintaSiyasi.com -- Terkait berita tentang terjadinya kekerasan seksual di wilayah kampus dan pendidikan membuat resah orang tua yang saat ini anak-anak nya menimbah ilmu. 

Padahal kita memiliki sebuah aturan untuk 
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Namun, apakah aturan tersebut berhasil menanggulangi korban pelecehan seksual?

Tidah hilang dari pikiran kita menteri pendidikan Nadiem Makarim mengesahkan Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).  Permen PPKS memperinci bentuk tindakan dengan konsekuensi sanksi administratif, mengakui kemungkinan bentuk kekerasan seksual tersebut berkembang, dan mengatur langkah-langkah pencegahan guna mengurangi kerugian akibat kasus kekerasan seksual.

Nantinya, Permen PPKS yang diharapkan sebagai ruang aman pengaduan korban dan membawa fungsi dan misi menghapuskan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus dan pendidikan.

Namun apakah mahasiswa sudah merdeka dari kekerasan seksual?

Nyatanya,penyelesaian kekerasan seksual yang hanya mencukupkan pada soal regulasi tanpa memandang secara holistik akar penyebab kekerasan seksual dan hal-hal yang menyuburkannya. Seperti contoh Konsep sexual consent yang menjadi dasar Permen PPKS diduga kuat akan menyuburkan seks bebas dan perilaku menyimpang L687.

Faktanya kasus kekerasan seksual masih kerap terjadi di lingkungan kampus. Pelecehan seksual dialami mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah dan viral di media sosial (medsos).

Dugaan pelecehan seksual ini terungkap setelah akun Twitter @unscabul membuat postingan pada 30 November 2022. (Kompas.com, 2-12-2022). 

Begitu pula pelecehan seksual yang melibatkan mahasiswa Universitas Gunadarma, Depok, dilakukan pelaku di rumah kos sekitar kampus. Kejadian berawal ketika pelaku mengajak korban ke kamar kosnya dengan alasan menyelesaikan tugas perkuliahan. (Kompas.com, 16-12-2022).

Dan tentunya masih banyak fakta terjadi pelecehan seksual yang terjadi di dunia pendidikan.

Seharusnya visi Perguruan Tinggi dan pendidikan haruslah berasaskan akidah Islam, untuk mencetak intelektual muslim berkepribadian Islam dan melahirkan pemimpin umat yang akan mengatasi masalah masyarakat. Kurikulum dan arah kebijakannya akan melindungi mahasiswa dari segala bentuk aktivitas yang merusak kepribadian dan karakter identitasnya sebagai muslim. Tentunya, aturan yang menjadi rahmat berasal dari aturan Islam yang akan melindungi mahasiswa.

Karena di dalam Islam akan membangun masyarakat Islam yang kokoh dan tidak rapuh. Tidak akan dijumpai informasi atau media massa yang merusak iman dan akhlak masyarakat. Ini juga menjadi jaminan perlindungan bagi mahasiswa dari kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebagaimana kerap terjadi pada media online sekuler kapitalistik saat ini. Menutup celah bagi aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Ini karena kejahatan seksual bisa terpicu rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau’). Selain itu, kehidupan berjemaah akan diatur terpisah, baik di sekolah, perguruan tinggi, hingga layanan publik.

Sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, sanksi bagi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah); dan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). Sanksi tegas ini akan berefek jera (zawajir) bagi si pelaku sekaligus menjadi penghapus dosa (jawabir).

Dengan begitu tidak akan kita jumpai kasus pelecehan seksual di kampus akibat kehidupan sekulerisme yang rusak.

Wallahu'alam Bisshawab

Oleh: Hayunila Nuris
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments