Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Peringatan Hakordia, Mengharap Solusi atau Sekadar Basa-basi?


TintaSiyasi.com -- Hakordia, Hari Anti Korupsi Sedunia, akronim yang terdengar sangat 'keren' dan menginspirasi. Seolah menunjukkan kebencian negara dunia, termasuk Indonesia, terhadap praktik korupsi. Namun sayang, fakta memperlihatkan hal yang sebaliknya. Korupsi masih merajalela dan makin masif. Peringatan hari anti korupsi ini selayaknya diperingati dengan penuh duka cita dan rasa kecewa.

Baru-baru ini, KPK mengadakan acara peringatan Hakordia, bertempat di Hotel Bidakara, Jakarta, pada Jumat, 9 Desember 2022. Hadir dalam peringatan ini, Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin. Bapak Ma'ruf Amin dalam sambutannya menegaskan bahwa peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia setiap tahunnya merupakan penanda sekaligus pengingat bahwa korupsi adalah musuh utama seluruh bangsa. “Sama halnya dengan Covid-19, korupsi juga merupakan musibah global. Seluruh negara mengakui bahwa korupsi merupakan pusat dari berbagai persoalan,” ujar Ma'ruf Amin dalam pembukaan Hakordia 2022 (aclc.kpk.go.id, 09/12/2022).

Meskipun narasi pemerintah jelas dan tegas dalam memerangi korupsi. Namun hal ini bertolak belakang dengan keseriusan upaya yang dilakukan. Alih-alih memperberat hukuman, Rancangan Kitab Undang-undang Pidana (RKUHP) terbaru 2022 justru mengurangi hukuman bagi pelaku korupsi. Tanpa rasa malu, rezim ini menunjukkan keberpihakannya terhadap koruptor.

Dalam naskah RKUHP terbaru, tindak pidana korupsi diatur pada Pasal 603. Pada Pasal tersebut dijelaskan koruptor paling sedikit dipenjara selama 2 tahun dan maksimal 20 tahun. Pidana penjara ini lebih rendah dari ketentuan pidana penjara dalam Undang-undang Nomor 20/2001 yang menyebutkan pidana penjara pelaku korupsi adalah paling sedikit 4 tahun. Tidak hanya itu, hukuman denda bagi koruptor di RKUHP pun mengalami penurunan. Dari sebelumnya paling sedikit Rp200 juta menjadi hanya Rp10 juta saja. Jadi, peringatan Hakordia sejatinya hanya sebuah seremoni tanpa makna. Hanya sekedar basa basi pencitraan di depan rakyat. Kenyataannya, hukum dibuat dirancang agar koruptor lebih nyaman melancarkan aksinya.

Serapat-rapat bangkai disimpan baunya akan tercium juga, begitulah ibaratnya kebobrokan demokrasi di negeri ini. Bagaimanapun pemerintah membangun citra anti korupsi, tetap saja sikap lemah terhadap korupsi bisa tercium juga. Kebijakan-kebijakan yang dibuat tentu tidak bisa disembunyikan dari mata dan telinga masyarakat. Demi menjaga kekuasaan dan menambah kekayaan pribadi, penguasa atas nama demokrasi, membuat undang-undang yang hanya menguntungkan pribadi mereka sendiri. Undang-undang tumpul yang tidak mampu menghalangi niat mereka untuk terus mengeruk kekayaan bangsa. Apalagi yang bisa kita sangka selain itu?

Lihatlah bagaimana korupsi semakin membabi buta di Indonesia. Tepat ketika pemerintah memperingati Hakordia, Bupati Bangkalan, R. Abdul Latif Amin Imron ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Bupati Bangkalan tersebut terseret kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakili terkait lelang jabatan. Kasus ini menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

Berdasarkan data KPK, dari segi penindakan sudah ada 22 gubernur, 161 bupati/wali kota dan wakil, serta 297 pejabat eselon I hingga eselon III tersandung korupsi sejak 2004 hingga 2022. Khusus 2022 saja, KPK sudah menangkap 18 bupati/wali kota dan wakil serta 31 pejabat eselon I hingga eselon III (tirto.id, 09/12/2022). Sungguh sebuah angka yang tidak patut dibanggakan.

Disisi lain, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang merupakan satu-satunya lembaga berwenang menangani kasus korupsi, terus dilemahkan. Pada awal terbentuknya, KPK adalah lembaga independen. Namun sekarang, para pegawainya dijadikan berstatus ASN, sehingga otomatis menjadi lembaga dibawah pemerintahan. Alhasil, obyektifitas kerja KPK mulai diragukan. 

Persoalan pelik lainnya juga berada di Kejaksaan. Sekalipun banyak mengungkap perkara besar, namun kabar pemulihan kerugian keuangan negara jarang terdengar. Para pelaku korupsi yang ditangkap oleh KPK, tak jarang akhirnya bebas di tingkat kejaksaan dengan argumentasi yang tidak jelas. Di tingkat kehakiman tak kalah membuat geram, banyak vonis ringan disertai pertimbangan ganjil. Mirisnya lagi, dua hakim agung, yakni Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh ditetapkan sebagai tersangka suap pada 2021 lalu. 

Semua fakta ini menunjukkan kepada kita betapa bobroknya wajah hukum dan pengadilan di Indonesia. Menunjukkan pula dengan jelas bahwa kebobrokan ini ternyata berjalan secara sistematis, rapi, sulit ditembus. Bak lingkaran hitam, kemanapun arah kita memerangi korupsi, pasti akan membentur sebuah penghalang. Maka satu-satunya solusi dari semua ini adalah perubahan sistem secara total. 

Pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan secara parsial. Contohnya, jika dibuat hukum yang berat namun tidak ada upaya menyadarkan para pejabat bahwa korupsi adalah tindakan yang hina, maka hukum itu akan menjadi percuma. Dorongan untuk berbuat jujur, harus berangkat dari hati nurani manusia itu sendiri. Disisi lain, pemerintah harus benar-benar memperhatikan kesejahteraan para ASN agar kebutuhan pokoknya terpenuhi dan tidak tergiur oleh korupsi. Ini hanyalah satu dua contoh kecil. Kesimpulannya, pemberantasan korupsi harus bersinergi dengan seluruh aspek kehidupan, baik pendidikan, ekonomi, sosial, dan yang lainnya.

Islam menyediakan sebuah sistem sempurna yang bisa mematikan bibit korupsi hingga ke akarnya. Islam sangat memandang rendah pelaku korupsi. Korupsi dalam Islam disamakan dengan ghulul (pengkhianatan). Hukum bagi mereka adalah takzir, mulai dari diumumkan, diasingkan, dipenjara, bahkan hingga hukuman mati.

Sistem Islam berdiri di atas landasan akidah. Pemerintahan dan pengayoman terhadap rakyat semuanya dilakukan atas dasar keimanan dan rasa takut kepada Allah SWT. Semua dilakukan hanya demi mengharap rahmat dan ridha Allah. Penanaman akidah ini pun menjadi tanggung jawab negara, bukan hanya individu. Dengan demikian, setiap orang akan takut melakukan perbuatan khianat, termasuk korupsi. Yang mana rasa takut itu berangkat dari dalam hati nuraninya atas dasar keimanannya yang kuat. 

Korupsi apabila diabaikan bisa menghancurkan sebuah negara. Sudah nyata dihadapan kita, negara-negara yang runtuh akibat masif dan tingginya korupsi seperti Somalia, Kenya, Afghanistan dan lain-lain. Indonesia sendiri, seharusnya bisa menjadi negara kaya yang semua rakyatnya sejahtera andai tidak digerogoti para koruptor. Tidak ada pilihan bagi kita selain segera menerapkan sistem Islam secara menyeluruh demi menyelamatkan kehidupan bangsa, serta meraih rahmat dan ridha-Nya. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Dinda Kusuma Wardani T.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments