Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mahasiswa Juga Terjerat Pinjol, kok Bisa?


TintaSiyasi.com -- Pinjol atau pinjaman online yang tengah ramai saat ini ternyata tidak hanya menghampiri kalangan masyarakat biasa saja. Maraknya penggunaan aplikasi yang menawarkan pinjaman uang secara online ini juga terjadi di kalangan mahasiswa yang notabenenya adalah para intelektual muda. Begitu miris bukan. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya aplikasi digital yang menfasilitasi untuk bisa mendapatkan pinjaman dana dengan mudah dan cepat yang hanya bermodalkan scan KTP saja. Tidak sedikit dari kalangan mahasiswa yang menggunakan aplikasi pinjol illegal yang justru membawa pada kerugian karena terlilit bunga yang berlipat ganda. 

Dilansir dari Republika (23/11/2022), yang menyatakan bahwa Anggota Komisi V DPR RI, Fahmi Alaydroes menyampaikan keprihatinannya terkait ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terjerat pinjaman online. Menurut dia, kejadian tersebut dapat menjadi pengingat tentang masih adanya masalah dengan mutu dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Fahmi menyampaikan bahwa ini ‘alarm’ bagi dunia pendidikan tinggi kita. Ada masalah dengan mutu pendidikan tinggi, terutama dikaitkan dengan kepekaan mahasiswa terhadap fenomena di masyarakat, dan kelemahan literasi finansial sehingga banyak mahasiswa terperdaya jeratan investasi bodong.

Selain itu pada laman Kompas (19/11/2022), juga menyatakan bahwa Sekretaris Institut Pertanian Bogor (IPB) Aceng Hidayat mengungkap penyebab 116 mahasiswanya terjerat penipuan investasi bermodus pinjaman online atau pinjol. Aceng menyebutkan, semua bermula saat mahasiswanya mencari alternatif tambahan pendanaan kegiatan kampus dengan mengikuti proyek yang dijanjikan SAN, dengan iming-iming keuntungan.

Sungguh miris melihat fakta ini, karena mahasiswa juga ikut menjadi korban penipuan investasi bermodus pinjol. Hal ini menggambarkan kepada kita betapa lemahnya pemikiran mahasiswa karena iming-iming keuntungan sehingga tidak bisa berpikir dengan jernih dan kritis. Selain itu, kurangnya kepekaan terhadap kondisi masyarakat saat ini bahwa sudah banyak sekali korban pinjaman online yang menimpa masyarakat umum, baik dari kalangan ibu-ibu, pedagang, ataupun para ojol akibat bunga cicilan yang makin besar dan tidak bisa terbayarkan. Mahasiswa yang seharusnya menjadi pelopor dan contoh bagi masyarakat, namun hanya karena iming-iming keuntungan atau materialisme belaka menjadikannya tidak bisa berpikir rasional, dampak apa yang ditimbulkan ke depannya.

Mirisnya lagi, fenomena ini terjadi di PTN favorit yang mungkin menjadi sorotan publik. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa sistem saat inilah yang membuahkan hasil demikian karena bagaimanapun juga sistem pendidikan saat ini bersifat kapitalistik. Hal ini sangat memungkinkan tercetaknya mahasiswa yang orientasinya hanya pada materi belaka, di mana hal itu juga klop dan sejalan dengan semangat entrepreneur university yang benar-benar digaungkan dan diwujudkan oleh banyak perguruan tinggi. Hal itu tampak pada perguruan tinggi saat ini, mendorong mahasiswanya untuk berbisnis dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan dalih menjadi penyelamat ekonomi.

Dari situlah, kondisi mahasiswa saat ini telah disalahfokuskan pada hal-hal yang bersifat mencari materi duniawi atau keuntungan belaka, entah melalui apa caranya sampai-sampai terjerat pinjaman online. Selain itu, tidak sedikit mahasiswa saat ini juga dengan senang hati ikut bermain investasi-investasi yang berslogan modal sedikit untung besar. Lagi-lagi mindset untung rugilah yang dibentuk dan ditanamkan kuat oleh pendidikan kapitalistik hari ini. Di mana awalnya seharusnya mahasiswalah yang menjadi garda terdepan untuk berpikir kritis dan solutif atas permasalahan yang terjadi saat ini. Maka, tidak cukup jika hanya menghimbau mahasiswa dengan ‘jangan menggunakan pinjaman online illegal’ ketika sistem justru mensuasanakan dan mendorong untuk berinvestasi, berutang dengan modal apa pun dan kembali membawa keuntungan yang lebih besar. Sehingga hal ini, tidak bisa terlepas dari pengaturan negara. 

Bagaimana seharusnya peran pendidikan tinggi sebenarnya dan bagaimana peran negara dalam mengatur pendidikan berjalan dengan fungsinya, yakni membentuk generasi intelektual yang sadar akan posisinya sebagai agen perubahan, pengendali masyarakat, tidak bersifat individualis dan pragmatis, serta peka akan fenomena lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini sangat sulit terwujud ketika sistemnya masih berasaskan sekularisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Sebagaimana yang tercermin jelas hari ini, ‘riba’ yang bebas diperbolehkan, bahkan difasilitasi oleh negara. Berekonomi menggunakan riba, berpolitik, kesehatan, bahkan pendidikan sekarang pun berbasis riba dan mencari keuntungan sebesar-besarnya dari tujuan menuntut ilmu. Maka fenomena ‘mahasiswa terjerat pinjol’ adalah salah satu potret buruk yang diakibatkan oleh penerapan sistem pendidikan hari ini.  

Dari permasalahan tersebut menunjukkan kepada kita, bahwa kita butuh untuk kembali kepada sistem yang benar bukan bertahan di sistem yang membawa kepada kerusakan. Satu-satunya sistem yang benar yakni kembali pada sistem Islam, sistem yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Sistem yang aturannya menyeluruh. Aturan-aturan kehidupan yang berasal dari Sang Pencipta, Zat yang Maha mengetahui yang terbaik untuk ciptaan-Nya. Berekonomi, berpolitik, hukum, sosial, kesehatan maupun aspek pendidikan. 

 Ketika pendidikan diatur oleh Islam, maka asasnya adalah akidah bukan asas keuntungan seperti hari ini. Peran lembaga pendidikan, baik dasar, menengah maupun pendidikan tinggi merupakan tempat untuk menyiapkan generasi yang memiliki kepribadian Islam dan siap menjadi pemimpin bagi masyarakat. 

Begitu juga posisi negara yang memiliki fungsi untuk menjaga bagaimana visi pendidikan dan kurikulum tetap berstandar pada aturan Islam. Sehingga generasi yang dihasilkan bukan generasi kaleng-kaleng layaknya kondisi saat ini, di mana mahasiswa menjadi sekrup penopang ekonomi kapitalisme sekularisme. 

Generasi yang dihasilkan adalah generasi dengan militansi yang tinggi, tidak mengikuti arus, serta peka terhadap pemasalahan masyarakat yang ada, sehiingga dengan ilmu yang dimilikinya bisa menyelesaikan serta membawa maslahat bagi masyarakat. []


Oleh: Elvira Masitho
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments