TintaSiyasi.com -- Indonesia salah satu negara agraris dengan lahan pertanian yang sangat luas, kondisi iklim yang mendukung serta petani aktif yang banyak. Kondisi inilah yang menjadikan bumi pertiwi dikenal dunia internasional sebagai penghasil rempah dan pangan. Salah satu yang banyak dihasilkan oleh para petani adalah beras.
Beras merupakan bahan pangan utama makanan pokok di Indonesia. Kebutuhan masyarakat Indonesia akan bahan pangan beras ini dapat meningkat seiring perkembangan populasi. Selain menyadari bahwa beras sebagai bagian dari kebutuhan jasmani, memproduksi beras menjadi salah satu sumber penghasilan mereka yang apabila terbengkalai bisa berujung ngeri tidak hanya pada diri tetapi juga ekonomi dalam negeri, maka mau tidak mau akan berusaha memenuhi.
Oleh sebab itu, untuk menjawab kebutuhan dalam negerinya ini salah satu kewajiban yang penting diperhatikan pemerintah dalam upaya pengelolaan bahan pangan adalah memastikan ketersedian beras di bulog senantiasa dalam kondisi yang ideal ataupun mumpuni. Pengelolaan yang salah dapat mengakibatkan faktor terjadinya krisis kesejahteraan dalam negeri.
Petakanya, inilah masalah yang sedang menyapa negeri tercinta kita. Indonesia dilanda krisis ketersedian beras. Padahal Indonesia telah diumumkan melakukan swasembada pangan selama kurang lebih tiga tahun, justru belakangan selama enam bulan terakhir ini muncul isu bahwa pihak Perum Bulog berniat untuk melakukan impor kembali sebab cadangan beras pemerintah atau CBP sedang tidak mumpuni. Kok bisa?
Bersumber dari laman website katadata.co.id (26/11/2022), diinformasikan bahwa cadangan beras pemerintah atau CBP yang dikelola oleh Perusahaan Umum Badan Logistik atau Perum Bulog hanya mencapai 594.856 ton per 22 November 2022. Jumlah cadangan beras pemerintah atau CBP tersebut jauh di bawah angka ideal minimal sebesar 1,2 juta ton.
Dampak ini bila ditinjau lebih lanjut maka berdasarkan informasi dari laman website ekonomi.bisnis.com (27/11/2022), Bulog memprediksi CBP akan makin anjlok hingga angka 399.550 ton jika tidak ada penambahan sampai akhir Desember 2022. Hal itu karena Bulog tetap harus mengeluarkan CBP untuk ketersediaan pasokan dan stabilitas harga atau KPSH.
Lebih lanjut berdasarkan informasi dari beberapa sumber, salah satu di antaranya laman website katadata.co.id (27/11/2022), ada berbagai alasan yang disampaikan oleh pihak pejabat terkait penyebab krisis ini, mulai dari rendahnya serapan Bulog terhadap beras petani juga harga pasar yang tinggi sehingga menyebabakan banyak para petani lebih memilih menjual berasnya ke luar pulau hingga kegagalan-kegagalan pemerintah dalam mewujudkan lumbung pangan untuk menjaga ketahanan pangan dalam negeri.
Miris! Apalagi Indonesia sebagai negara agraris dengan luasan lahan yang melebihi daripada Thailand maupun Vietnam dalam memenuhi kebutuhan pangannya kok malah harus mengimpor dari negara yang justru luas lahannya lebih sempit dari Indonesia.
Merujuk pada penyebab yang ada, lagi-lagi kendala yang terjadi bermula dari kegagalan negara dalam mewujudkan perencanaan strategis stok pangan dan proyek lumbung pangan yang mencukupi untuk memenuhi stok kebutuhan masyarakat.
Kegagalan dari proyek lumbung pangan di Indonesia yang bertujuan dalam meningkatkan kemampuan ketahanan pangan dalam negeri ini terbukti dari Indonesia yang mengalami kegagalan selama kurang lebih 25 tahun.
Jikapun Indonesia tiga tahun sebelumnya dianggap sebagai sebuah prestasi swasembada pangan sebab berhasil tidak melakukan impor beras, jelas itu tidaklah cukup. Yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mengupayakan adanya perencanaan strategis jangka panjang agar misi swasembada dan ketahanan pangan dapat tercapai secara kontinu.
Untuk mewujudkan kesuksesan ini tentu didukung oleh kebijakan yang ditetapkan dalam negeri. Pemerintah dalam kebijakannya dapat mengupayakan adanya pemberian benih yang berkualitas, pupuk yang murah, hingga pendukung lainnya yang dapat memudahkan para petani untuk produktif dalam memanfaatkan lahannya. Idealnya demikian jika sistem yang mengatur adalah yang mengutamakan kebutuhan rakyat bukan kepentingan tertentu
Namun semua hanya akan sekadar mimpi semata jika kapitalisme masih diterapkan oleh negeri. Tidak akan ada kebijakan yang menyolusi, ketuntasan hanya sekadar mimpi dalam labirin. Sebab dalam sistem ini setiap kebijakan pangan yang ditetapkan akan kental dan kerap mengikuti kepentingan oligarki, para kapitalis yang orientasinya lebih mengedepankan aspek keuntungan materi, bukan tanggung jawab sesungguhnya sebagaimana yang diharapkan rakyat.
Memutuskan melakukan impor kembali untuk menyolusi rasa-rasanya adalah kekeliruan para penguasa kini. Hal ini sebab impor sangat rentan dengan kebijakan yang beraroma politis serta cukup kental dengan nuansa korupsi. Bagaimanapun tidak dapat kita pungkiri bahwa pada faktanya setiap aktivitas pengadaan sangat rentan dengan adanya praktik korupsi.
Selain itu, dalam kebijakannya pemerintah tidak memihak pada para petani kecil bahkan kebijakan lumbung padi ini disanyilir menguntungkan pihak oligarki tertentu. Lebih berbahayanya lagi adalah dampak dari kerusakan lingkungan, di mana dalam upaya lumbung pangan ini memperbolehkan untuk memanfaatkan hutan lindung yang justru akan merusak ekosistem dalam jangka panjang.
So, warga nanya! Mengapa Indonesia sebagai negara agraris dengan lahan pertanian yang sangat luas, iklim yang mendukung serta jumlah petani yang banyak ini malah tidak mampu melakukan swasembada pangan secara kontinu bahkan harus tergantung pada impor?
Tidak heran untuk ditanyakan. Krisis ini disebabkan oleh sistem yang diterapkan dalam negara ini tidak memiliki ideologi yang mampu mengarahkan penguasanya agar memihak pada rakyat dalam upaya mewujudkan kedaulatan swasembada dan ketahanan pangan sebagaimana sekilas telah saya singgung sebelumnya.
Selama negeri kita masih menganut sistem demokrasi yang berideologi kapitalisme dengan akidahnya yang sekuler ini, maka selama itu pula seluruh kebijakan dan peraturan undang-undang, perpres dan sebagainya yang diambil akan lebih menguntungkan pihak-pihak kapitalis daripada yang seharusnya, yakni rakyat kecil atau petani yang jelas-jelas terbukti berjasa dan berkontribusi besar terhadap pangan di Indonesia.
Ini tentu berbeda dengan solusi dan kebijakan yang ditawarkan oleh sistem pemerintahan Islam, yang menjadikan syariat atau aturan Allah SWT sebagai Pencipta untuk setiap keputusan. Sistem tersebut dikenal dengan khilafah. Setiap penguasa dalam sistem jhilafah akan mengedepankan kebutuhan rakyat dengan berorientasi pada tercapainya kesejahteraan bersama dalam negara bukan pribadi semata.
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam adalah janji yang nyata dari Allah SWT sebagai Pencipta alam semesta beserta isinya. Terbukti pada kebijakan pangan dalam sistem khilafah akan mewujudkan terciptanya kemandirian pangan. Sebab di dalammnya, ada sinergisitas dalam penguasaan sektor industri vital lainnya oleh negara seperti pertanian, perikanan, farmasi, transportasi, telekomunikasi, infrastruktur, teknologi, dan sebagainya.
Seluruh aspek dalam bidang industri, terutama pada bidang pangan, dibangun dengan paradigma kemandirian. Sehingga tidak akan tergantung kepada asing, baik dari sisi teknologi, ekonomi, maupun politik. Prinsip yang dipegang teguh oleh penguasa dan lembaga pemerintahan dalam sistem khilafah adalah wajib bertanggung jawab penuh sebagai pengurus rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Imam (khalifah) adalah raain ( pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Merujuk pada paradigma tersebut, maka dalam implementasinya, negaralah yang akan menentukan arah politik pangan dan menjalankannya dalam bentuk kebijakan praktis sesuai tuntunan syariat. Tidak akan terjadi pengendalian kebijakan negara oleh pihak lain, termasuk korporasi bahkan pihak asing. Untuk itu, bagi lembaga negara tak terkecuali Bulog akan sangat dilarang membisniskan layanan kepada rakyat.
Sehingga diperlukan kepemimpinan ideologis agar seluruh cara berpikir dan bersikap masyarakat seluruhnya dapat tertuntun dengan baik pada jalan yang benar, yang tidak merugikannya. Kepimpinan ideologis tersebut apalagi jika bukan kepemimpinan yang berlandaskan aturan Allah. Kepemimpinan yang menjadikan Islam sebagai kemudinya dalam memimpin. Inilah sistem yang kita butuhkan. Sistem yang menyolusi dengan tuntas persoalan yang dialami umat.
Ketika ideologi Islam diemban oleh suatu negara, maka seluruh aspek kebijakan termasuk politik pangan akan dilaksanakan di atas asas ideologi ini. Dengan ideologi tersebut maka terjaga manusia dari kerusakan. Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW dalam dakwahnya memperjuangkan agama ini, Allah kehendaki melaluinya peradaban manusia berubah dari yang gelap gulita penuh maksiat menuju peradaban yang mulia. Sungguh, insyaallah hanya dengan menerapkan ideologi Islam, Allah ridhai peradaban yang mulia menghampiri negeri ini.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Aisyah Humaira
Pengemban Dakwah
0 Comments