TintaSiyasi.com -- Prihatin ketika mengamati kondisi negeri ini, dimana korupsi terjadi secara masif baik di sektor eksekutif, yudikatif, dan masyarakat. Ini bukanlah semata kerusakan pada rezim, melainkan terkait sistem yang berjalan saat ini (sistematis). Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi.
Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dikutip dari keterangan tertulisnya di laman resmi ICW, Minggu, 11 Desember 2022. (https://tirto.id/gzEJ.)
Peringatan hakordia hanya sekedar formalitas, sebab jika diamati jumlah koruptor makin hari bukannya makin berkurang, malah makin bertambah dan menyasar berbagai jajaran pejabat pemerintah. Besaran uang yang dikorupsi pun jumlahnya besar hingga mencapai triliunan.
Kasus korupsi semakin marak terjadi dan akan terus merajalela dikarenakan tatanan nilai yang diterapkan dalam negara ini rusak. Yaitu nilai-nilai kapitalisme sekuler yang jauh dari nilai-nilai ilahiah, memisahkan aturan Allah dari kehidupan. Sehingga manusia bertindak sesuai keinginannya, inilah yang mengantarkan maraknya tindak korupsi dan tindak kejahatan lainnya.
Tentunya ini sangat berbeda dengan sistem islam. Islam tidak sekadar mengatur ritual, tetapi juga mengatur kehidupan, khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara. Pemimpin negara diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat untuk menjalankan pemerintah sesuai aturan Allah, sehingga pejabat yang diangkat dalam rangka mejalankan syariat Islam.
Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Islam menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Oleh karena itu, ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela termasuk korupsi. Negara juga wajib memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat. Sebab dengan tercukupinya kebutuhan maka akan meminimalisir untuk melakukan korupsi.
Selain itu sistem islam menetapkan sanksi yang tegas untuk memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Oleh karena itu, hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.
Sanksi yang mempunyai fungsi jawabir (penebus) yang berarti menebus dosa pelaku di dunia dan tidak akan dibalas di akhirat kelak; serta fungsi zawajir (pencegah) yang berarti mencegah manusia lainnya melakukan tindak kejahatan serupa. Inilah yang mencegah terjadinya tindak korupsi yang marak sebagaimana saat ini.
Aturan tersebut tidak akan pernah diupayakan dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, kita harus memperjuangkan perubahan menuju arah Islam dan solusi Islam untuk memberantas korupsi. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang akan menerapkan syariat Islam kaffah. Wallahualam bishowwab
Oleh: Siti Rohmah, S.Ak.
Aktivis Muslimah
0 Comments