TintaSiyasi.com -- Menteri Agama Yaqut Cholil Choumas kembali mendapat kecaman warganet. Kali ini akibat pernyataannyanya yang menyebut Islam adalah agama pendatang di Indonesia yang berasal dari tanah Arab. Karena itu, kata dia, Islam harus menghormati budaya yang ada di Indonesia. Akibat pernyataannya di podcast Deddy Corbuzier ini, Yaqut bahkan dianggap telah menistakan agama (Indeksnews.com, 1/11/2022).
Dari hasil penelusuran medcom.id dan tempo.co, klaim pada video yang beredar bahwa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyebut Islam -secara eksplisit-sebagai agama pendatang adalah tidak benar. Video tersebut hasil suntingan. Melalui reverse image, video yang beredar merupakan penggalan per-nyataan Menag Yaqut saat menjadi bintang tamu di podcast Deddy Corbuzier setahun yang lalu. Video utuhnya ada di kanal YouTube Deddy Corbuzier yang diunggah pada 2021 dengan judul “Apa Menteri Agama Harus Islam - Gus Yaqut Menteri Agama.”
Dalam video yang berdurasi 49.24 menit tersebut memang tidak ditemukan adanya pernyataan dari Menag Yaqut yang menyebut Islam merupakan agama pendatang. Namun, pada menit 08.25, ada kalimat Menag Yaqut mengucapkan“Agama Islam bukan dari Indonesia. Islam dari tanah Arab”.
Untuk menilai pernyataan Menag Yaqut tersebut, perlu dianalisis secara kebahasaan dengan menghadirkan konteks dan teks. Secara tekstual, pernyataan Menag Yaqut tersebut memang tidak menyebut bahwa Islam adalah agama pendatang. Tetapi, jika dilihat dari kajian pragmatik, implikatur atau maksud dari pernyataan Menag Yaqut mengarah kepada pernyataan bahwa Islam adalah agama pendatang. Hal itu diketahui dari satu kalimat yang diucapkan sebelum dan sesudahnya “Agama itu harus memberikan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal, itu seharusnya. Agama Islam Ini kan bukan dari Indonesia. Islam dari tanah Arab. Dia masuk ke Indonesia, maka Islam ini harus menghargai budaya yang ada di Indonesia,” katanya.
Jika dilihat dari konteksnya, pernyataan Menag Yaqut tersebut sebenarnya bermaksud mengajak umat Islam untuk bertoleransi terhadap nilai-nilai budaya lokal. Maka dari itu, poin utama dari pernyataan tersebut ialah seruan untuk bertoleransi, bukan tentang penistaan agama. Berdasarkan hal tersebut, kritik terhadap pernyataan Menag Yaqut seharusnya mengarah kepada hal tersebut.
Pernyataan Menag Yaqut telah memberikan stigma negatif terhadap Islam. Kata “seharusnya” merupakan adverbia (kata keterangan); pernyataan dalam kalimat yang menggunakan kata seharusnya akan memiliki makna bahwa pernyataan tersebut sedang tidak terwujud saat ini. Dalam hal ini, pernyataan Menaq Yaqut seperti di atas memberikan makna bahwa umat Islam sedang tidak memiliki toleransi atau tidak menghargai budaya Indonesia saat ini. Padahal realitanya, justru umat Islam-lah yang paling menjaga toleransi di bandingkan umat yang lain. Hal tersebut dapat diketahui dari beberapa fakta berikut ini.
Pertama, dalam perkara ibadah dan perayaan hari besar keagamaan, umat Islam adalah umat yang paling toleran. Buktinya, umat Islam - sebagai umat mayoritas di negeri ini- seolah-olah diperlakukan sebagai minoritas di negeri ini. Hal itu salah satunya dapat dilihat dari rekam jejak kebijakan pemerintah sebelum-sebelumnya. Misalnya, beberapa tahun yang lalu, pemerintah tidak menggaungkan wacana bahwa ketika menjalani ibadah puasa, orang yang tidak berpuasa diminta untuk menghargai orang yang tidak berpuasa. Tetapi justru sebaliknya, orang yang berpuasa-lah yang diminta untuk menghargai orang yang tidak berpuasa. Begitu juga dalam hal perayaan hari besar, misalnya, ketika umat Hindu merayakan hari nyepi, bukan mereka yang diminta oleh pemerintah untuk menghargai yang tidak merayakan hari nyepi (yaitu umat Islam), tetapi justru umat (Islam)-lah yang tidak merayakan hari nyepi yang diminta untuk menghargai mereka.
Kedua, umat Islam tidak pernah mempermasalahkan ajaran agama lain, apalagi menyerang secara fisik. Jika melihat di dalam berita, hampir tidak pernah ditemukan kasus kriminal yang menyangkut umat Islam melakukan penistaan atau penghinaan terhadap ajaran dari agama lain. Begitu pula, sepanjang sejarah Islam yang berlangsung selama berabad-abad, tidak pernah ditemukan tragedi kejam yang dilakukan oleh umat Islam. Sejarah penerapan syariat Islam menggambarkan sejarah kegemilangan di berbagai bidang, termasuk perlakuan yang sama terhadap warga negara nonmuslim di wilayah Khilafah Islam.
Adapun jika ada umat Islam mengatakan kafir untuk menyebut umat agama lain, semata-mata itu hanya meniru kata dari Al-Qur’an, bukan membuat kata baru, bukan pula suatu ujaran kebencian atau pun sikap intoleran terhadap agama lain. Umat agama lain pun juga memiliki istilah tersendiri dalam menyebut umat lain di luar agamanya. Mereka aman-aman saja. Mengapa Islam justru dipermasalahkan saat menggunakan kata tersebut?
Ketiga, justru umat Islam-lah yang diusik dan terus disakiti oleh rezim dan juga “oknum” dari umat agama lain. Sudah tidak asing dan tidak dapat dihitung jari lagi kejadian agama Islam dinista oleh “oknum”. Meskipun penistaan terhadap agama Islam selalu berulang dengan pelaku yang berbeda, umat Islam tetap sabar. Tidak hanya itu, kasus kriminalisasi, misalnya penusukan, terhadap ulama dan aktivitas Islam juga pernah marak beberapa waktu lalu. Belum lagi penindasan yang dialami oleh umat Islam di dunia. Umat Islam pun juga masih sabar akan hal itu. Uniknya di negeri ini, sebagian besar pelakunya hanya dicap sebagai ODGJ dan mengalir begitu saja seolah-olah tanpa ada simpati dan usaha preventif dari rezim dalam melindungi umat Islam.
Keempat, umat Islam mem-punyai syariat yang lengkap, termasuk di dalamnya khilafah yang hukumnya wajib. Meskipun demikian, tidak pernah ditemukan umat Islam memaksa pemerintah --dengan cara kekerasan, bahkan dengan menggulingkan pemerintahan-- untuk menerapkan syariat tersebut. Umat Islam berusaha mewujudkan syariat tersebut melalui cara damai yaitu dengan cara dakwah. Inilah toleransi nyata umat Islam. Justru pemerintah inilah yang tidak toleran terhadap umat Islam karena begitu seringnya rezim mempermasalahkan Islam.
Akhir kata, semoga Allah Swt memberikan hidayah kepada kita, menjadikan kita sebagai pembela dan pejuang Islam, bukan sebagai pemfitnah dan pembuat stigma negatif terhadap Islam. Alhasil, daripada nyinyir dan terus-menerus mempersoalkan Islam, yuk kita terapkan syariah Islam secara kâffah sebagai solusi atas semua persoalan yang membelit bangsa dan negeri ini. WalLâhu a’lam.
Oleh: Santuso
Linguis dan Pendidik Generasi Islam Ideologis
0 Comments