TintaSiyasi.com -- Saat ini warga +62 dihebohkan dengan keputusan pemerintah mengenai TV analog yang resmi dihapus. Akhirnya muncul pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Sebenarnya tidak akan terjadi hal seperti ini jika pemerintah sudah menyiapkan masyarakat, terutama dari sisi ekonomi mereka. Karena perkembangan teknologi dan informasi tidak bisa kita pungkiri keberadaannya. Namun yang disayangkan adalah pemerintah langsung menerapkan aturan sementara masih banyak rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan.
Ditambah lagi ada ancaman bahwa jika masih ada yang menyiarkannya maka dianggap ilegal. Sebagaimana yang dilansir oleh republika.co.id (4/11/2022) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan masih ada beberapa stasiun TV yang belum mematikan siaran analognya. Hal itu berkaitan dengan perpindahan saluran analog ke digital.
Sebenarnya masalah ini sudah lama diwacanakan oleh pemerintah, namun tepat di bulan November ini resmi dilarang. Alhasil banyak masyarakat yang mengkritisi kebijakan ini. Seperti yang dilansir oleh Okezone.com (6/11/2022), kritik atas kebijakan pemerintah mematikan siaran televisi analog terus mengalir. Salah satunya adalah lewat media sosial Tiktok. Seperti diungkapkan satu warganet terkait kebijakan ini yang dinilai menyusahkan rakyat kecil. "Kasian rakyat kecil dan makin menyusahkan rakyat," kata akun @Wulandari879.20 di TikTok, dikutip Minggu (5/11/2022).
Namun berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan oleh pihak pemerintah. Mereka mengatakan bahwa masyarakat sudah siap dengan TV digital. Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan 98 persen masyarakat Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) sudah siap beralih dari siaran televisi analog ke digital. "Ini jangan dikatakan ini tak siap. 98 persen masyarakat sudah siap (mengganti ke TV digital)," (ihram.co.id, 5/11/2022).
Lalu mengapa terjadi kontradiksi antara rakyat dengan pemerintah? Jika dikatakan bahwa sudah siap 98 persen, mengapa masyarakat masih banyak yang mengeluh? Masyarakat yang mana yang dimaksud sebenarnya?
Jika ditelaah lebih dalam tentang masalah ini yakni perubahan ke arah TV digital tentu akan menyulitkan masyarakat karena ada komponen yang harus dibeli untuk dapat mengakses TV digital. Belum lagi kebutuhan pokok lainnya yang serba mahal dan tidak terjangkau harganya. Jadi rakyat harus memeras keringat dan banting tulang demi menyambung hidup mereka ditambah lagi harus mengeluarkan uang untuk membeli siaran TV digital tersebut.
Perubahan ini pula, akan mendorong produski alat untuk mengakses TV digital, yaitu Set Top Box (STB). Dengan demikian perubahan ini nampak hanya menguntungkan "si dia dan bukan anda" yakni menguntungkan para korporasi dan merugikan masyarakat. Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa uu cipta kerja tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Nampak keberpihakan penguasa kepada korporasi sangat nyata.
Inilah wajah buruk pemerintahan yang dikuasai oligarki. Rakyat semakin hari dipersulit dengan berbagai kebutuhan yang mencekik mereka. Para korporat berjaya, sedangkan rakyat makin sengsara. Maka benarlah yang diungkapkan bahwa "tikus mati di lumbung padi". Perlahan tapi pasti kita semakin hari semakin tersungkur.
Hal ini bukanlah kebetulan. Namun semua ini dipengaruhi oleh sistem yang mengatur urusan masyarakat. Sistem yang mengatur urusan masyarakat hari ini adalah sistem yang bersandar pada aturan manusia yakni kapitalisme sekuler. Sistem inilah yang menjadikan para oligarki menguasai negeri. Karena pada dasarnya mereka memiliki kapital atau modal. Mereka bisa berbuat apa saja sesuai keinginan mereka.
Maka, tidak ada kata mensejahterakan "anda" dalam kapitalisme sekuler. Yang ada mensejahterakan "dia". Sehingga sangat mustahil kebijakan pemerintah berpihak pada rakyat kecil. Penguasa dan pengusaha berkolaborasi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan kondisi "anda".
Berbeda dengan sistem Islam. Islam datang dengan membawa seperangkat aturan yang detail dan lengkap dari Sang Pencipta. Tidak memandang kaya dan miskin. Tidak pula mencari keuntungan satu pihak dan merugikan pihak lain. Islam sangat memperhatikan kebutuhan dari rakyat, terutama masalah infrastruktur. Jadi teknologi dan informasi merupakan infrastruktur yang harus disediakan oleh negara untuk kepentingan seluruh masyarakat, namun tetap harus diatur sesuai dengan syariat.
Olehnya itu, digitalisasi penyiaran seperti televisi dan internet dimanfaatkan oleh negara untuk mempublikasikan siaran-siaran yang mengedukasi masyarakat dan media untuk menyebarkan Islam ke seluruh dunia, agar mereka tidak lagi terjajah dengan aturan manusia yang sewenang-wenang. Negara juga memfilter siaran-siaran yang tidak mendidik dan menghancurkan moral terutama moral generasi muda.
Maka, dengan Islam kita berjaya, dengan Islam kita sejahtera, dengan Islam pula digitalisasi akan mampu membangun peradaban manusia. Wallahu a'lam. []
Oleh: Siti Annisa, S.Pd.
Aktivis Muslimah Konawe Selatan
0 Comments