Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Swasembada Pangan untuk Kejayaan Islam

TintaSiyasi.com -- Tanah Indonesia yang luas dan subur melahirkan beragam jenis petani. Mulai dari petani padi atau sayuran yang mengelola lahan hanya beberapa meter persegi sampai pengusaha agribisnis yang mengelola perkebunan sawit mencakup luasan lintas batas kabupaten hingga propinsi.
 
Bervariasi dari petani yang mengelola ladangnya di antara belantara hutan sampai pecinta tanaman yang membangun sistem hidroponik di atas atap rumahnya dalam lingkungan perumahan mewah di perkotaan. Mulai dari petani yang menanam kopi atau sayuran di punggung perbukitan dataran tinggi sampai petani padi di kawasan rawa lebak yang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan sampan. Mulai dari petani sepuh yang telah bercocok tanam hampir sepanjang hayatnya hingga petani milenial yang mulai terbuai asyiknya bertani sebelum kuliahnya diselesaikan.

Beragamnya petani di Indonesia, tidak semestinya membuat kita terbuai. Karena untuk keperluan swasembada pangan secara nasional, pemerintah sudah seharusnya memberikan regulasi dan intervensi yang berkesinambungan. 

Kalimantan Selatan, yang akan menjadi penyangga Ibu Kota Nusantara, baru baru ini mendapat batuan hibah dari Kementrian Pertanian. Provinsi penyangga paru-paru dunia ini mendapat hibah kompetitif sebesar 3 milyar dan akan disalurkan kepada para petani milenial, yakni petani muda berusia 17 sampai 39 tahun. Sistem yang dijalankan untuk menopang hibah ini cukup lengkap. Mulai dari membuat proposal bisnis, magang hingga diberi pelatihan teknis.

Dengan program ini, Kalimantan Selatan ditarget mampu menjadikan 5000 petani muda alias milenial. Program ini akan dijalankan selama 6 tahun. Bermula di tahun 2019 yang lalu hingga 2025 nanti. Sementara ini, yang sudah mendapat bantuan dan binaan sekitar 2000 orang.

Memang sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih banyak pada ketersedian pangan di dalam negeri melalui optimalisasi kegiatan pertanian. Namun, apakah hibah untuk petani milenial di 3 provinsi di Indonesia dari total 33 provinsi yang ada, mampu untuk menopang swasembada pangan nasional. 

Bahkan, saat ini, penghasil pangan (padi, palawija dan hortikultura) lebih dari 88 persennya dihasilkan oleh petani kecil. Artinya kurang dari 12 persen ditopang oleh petani milenial, petani besar dan petani rumahan. Wajar saja, jika Indonesia yang luas dan subur ini malah seringkali melakukan impor pangan. Pemerintah tidak mengurusi para petani dengan semestinya. 

Saat ini, pengembangan teknologi pertanian sering lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan pelaku agribisnis skala besar, dalam upaya meningkatkan mutu dan efisiensi produksi. Precision agriculture jelas hanya untuk kegiatan pertanian skala besar. Baik dari perspektif finansial maupun teknis, petani kecil hampir mustahil untuk mengaplikasikan teknologi produksi pertanian modern ini. Aplikasi teknologi nano juga lebih diperuntukkan bagi kegiatan pertanian skala besar. Sampai saat ini belum terlihat celah bagi petani kecil untuk
memanfaatkan teknologi nano dalam aktivitas budidaya pertanian skala kecil mereka.

Kemanfaatan teknologi pertanian akan dirasakan jika teknologi tersebut sudah diterapkan oleh petani. Misalnya, adopsi teknologi tanpa olah tanah (zero tillage) meningkatkan pendapatan yang otomatis akan meningkatkan kesejahteraan petani. Teknologi tanpa olah tanah mudah diadopsi oleh petani terutama karena teknologi ini murah dan secara teknis mudah diaplikasikan. Namun demikian, tidak semua teknologi mampu diadopsi oleh petani.  Misalnya,  petani sepuh enggan untuk menggunakan telepon selular untuk mengakses informasi tentang harga produk pertanian karena sistem informasi pasar ini tidak sesuai (mismatch) dengan harapan petani. Oleh sebab itu, petani perlu diberikan pengetahuan seputar aplikasi sistem informasi dan penggunaannya.

Untuk kasus Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, kemajuan teknologi pertanian semakin meningkatkan kesenjangan antara teknologi yang dikembangkan dengan kapasistas adopsi petani.

Kesenjangan antara kapasitas finansial petani kecil dengan biaya adopsi teknologi modern semakin melebar sehingga semakin sulit bagi petani kecil untuk mengadopsi teknologi maju. Realitas saat ini mengindikasikan bahwa peningkatkan produksi pertanian sulit dicapai karena teknologi maju tidak terjangkau petani kecil. Padahal di Indonesia dan negara-negara berkembang, produksi tanaman pangan tergantung pada petani kecil. Indonesia tidak akan pernah mampu mewujudkan status swasembada atau kemandirian pangan jika pemerintah abai. 

Lantas bagaimana Islam memandang masalah ini?

Semenjak Islam datang, Rasulullah dan para sahabat sangat memperhatikan pengaturan kepemilikan tanah. Karena, dari sinilah awal mula pertanian muncul. Islam mengatur tanah harus digarap oleh pemiliknya. Jika dalam 3 tahun pemilik tanah membiarkan tanahnya tidak dimanfaatkan, maka negara boleh mengalihkan kepemilikan tanah kepada orang lain yang mampu mengolahnya.

Selain itu, Islam juga melarang penyewaan tanah pertanian. Karena aktivitas ini, akan melahirkan para buruh tani yang tetap miskin, sementara para tuan tanah semakin kaya tanpa melakukan apa apa terhadap tanahnya namun mendapatkan hasil ketika panen.

Selanjutnya, tidak ada tanah yang kosong ditumbuhi belantara. Karena siapa saja yang membuka tanah mati lalu mengolahnya, maka dia menjadi pemilik tanah tersebut. Konsep ini secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan bagi siapa saja yang tidak memiliki tanah namun memiliki kemampuan untuk mengolah tanah.

Adapun pemilik tanah yang tak mampu mengolah tanahnya karena tidak memiliki modal. Negara akan memberikan modal bagi pemilik tanah tersebut hingga bisa mengolah tanahnya. Selanjutnya, masalah teknologi pertanian. Hal ini akan menjadi perhatian, melalui industri strategis yang dikembangkan oleh negara Islam untuk optimalisasi pertanian.

Ketersediaan teknologi sekaligus memastikan petani mampu menerapkan dilahannya menjadi tanggung jawab negara secara komprehensif. Sehingga permasalahan kesenjangan kemampuan penggunaan teknologi dengan kemampuan petani tidak akan terjadi. Demikian juga dengan jumlah petani yang semakin menurun saat ini karena lemahnya bargaining position akan terselesaikan dengan efisiennya pengolahan pertanian karena optimalnya penggunaan teknologi. Negara juga tidak membedakan petani milenial dengan petani sepuh. Karena mereka hakikatnya sama sama warga negara yang berhak mendapat pengurusan dari negara.  

Mengapa negara Islam memberikan perhatian yang serius terhadap tanah dan pertanian. Hal ini karena swasembada pangan merupakan perkara utama didalam sebuah negara. Ketercukupan dan kesejahteraan rakyat yakni terjaminnya kebutuhan pangan per individu rakyat di dalam negara merupakan kewajiban yang harus dipenuhi. 

Selain itu, hasil pertanian merupakan salah satu sumber pemasukan negara. Yakni dari zakat pertaniannya, usyur dan kharajnya. Dengan kemandirian swasembada pangan negara Islam akan disegani oleh negara lain karena rakyat beserta negaranya sejahtera dan makmur. Walhasil, misi utama berdirinya negara Islam untuk dakwah dan jihad akan mampu direalisasikan keseluruh alam. Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh: Nur Annisa Dewi, SE, M.Ak
Aktivis Muslimah

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments