Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Startup, Gig Economy (Pekerja Lepas) dan Eksploitasi Gen Z



TintaSiyasi.com --Menjelang akhir tahun, sejumlah startup(perusahaan rintisan) massif melakukan layoff (PHK) massal. Bahkan PHK massal juga terjadi pada startup besar yang telah mencapai status decacorn dengan valuasi di atas US$ 10 miliar (Rp 147 triliun). Salah satu startup decacorn yang melakukan PHK massal adalah Gojek Tokopedia (GoTo). Melansir CNBN Indonesia, GoTo melaporkan terpaksa harus melakukan PHK terhadap 1.300 orang atau sekitar 12% dari total karyawan tetap.

Sementara Shopee Indonesia, sudah ketiga kalinya merampingkan karyawan dengan jalan PHK. Tidak disebutkan jumlah karyawan yang terdampak, namun berdasarkan informasi yang didapatkan CNBC Indonesia sebanyak 3% dari 6.232 orang. Selain PHK, Shopee juga menutup dan membatalkan ekspansi di sejumlah negara di antaranya: Spanyol, Perancis, dan India.

GoTo dan Shopee adalah segelintir nama di antara banyaknya perusahaan teknologi atau platform digital di Indonesia yang melakukan PHK massal. Fenomena PHK massal pada sejumlah startup di Indonesia menandakan Industri startup(perusahaan rintisan) dalam tekanan atau ekonomi digital dalam fase penurunan. 

Tekanan yang tengah dialami industri digitalisasi dan kekhawatiran akan munculnya bubble economy (krisis ekonomi) akibat memburuknya geopolitik global perlu mendapat atensi publik dan pemerintah, utamanya mengenai dampaknya bagi pekerja muda Indonesia (gen-z) yang cenderung menyukai bekerja lepas (gig economy).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 mencatat lebih dari 33 juta tenaga kerja Indonesia mengais rezeki dari sektor gig economy(pekerja lepas). Bahkan laporan dari The Deloitte Global Millennial Survey pada 2019 menunjukkan bahwa 81% Generasi Z di dunia mempertimbangkan untuk berkecimpung sebagai pekerja lepas (gig economy).

Gen-z, generasi Hitech dan dinamis, kreatif, out of the box, dan juga kekinian. Bahkan sebuah survei mengatakan mereka tergolong generasi yang rapuh yaitu generasi yang paling healing. Gen-z adalah mereka yang lahir di rentang tahun 1997-2012 atau usia 10-25 tahun (BPS, 2021). Gen-z terbagi ke dalam dua kelompok yaitu mereka yang masih bersekolah dan mereka yang mulai menapaki dunia kerja. Mereka merupakan tenaga kerja baru di dunia kerja yang sebelumnya didominasi oleh generasi milenial, generasi x dan sebagian baby boomers. Populasi gen-z menduduki proporsi penduduk terbanyak berdasarkan sensus penduduk 2020, yaitu 27,94% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2021).

Startup sebagai perusahaan modern yang melibatkan teknologi dan inovasi, dinilai cocok dengan karakteristik gen-z yang melek teknologi. Survei yang dilakukan oleh Harris Poll menunjukan bahwa gen-z adalah generasi yang kreatif dan mereka adalah digital native. Bagi gen-z startup sebagai tempat kerja yang bebas, seru sekaligus menantang. Hal ini selaras dengan startup yang sangat bergantung kepada pekerja lepas yang memiliki talenta masa kini. 

Alhasil lahirlah berbagai profesi yang identik dengan kreativitas dan independensi tinggi yang tengah digandrungi gen-z seperti kreator konten, fotografer makanan, jurnalis warga, pemrogram, komedian stand-up, hingga layanan daring yang menyediakan ojek dan taksi (ride-hailing) seperti Gojek dan Grab. Semua profesi diatas bergantung pada platform digital. 

Ketika platform digital melakukan PHK besar-besaran, bahkan yang berada pada level decacorn, mereka pun terkena imbasnya. Ini membuktikan bahwa industri digitalisasi di era kapitalisasi sekulerisasi sangatlah rapuh. Sejatinya ambruknya startup sudah dapat diduga sebelumnya karena sistem bisnisnya tidak berbasis pada ekonomi riil. Yang membuat platform digital sangat rapuh kerena pendanaanya  sangat bergantung pada investor, baik lokal maupun global. Ketika bisnisnya tidak tumbuh maka dengan mudah investor menarik investasinya dari platform tersebut.

Meski di awal kemunculan platform digital dianggap sebagai penyelamat ekonomi. Ketika bisnis tak mampu  berjalan, karena berbagai sebab: tak ada kebutuhan pasar, kehabisan dana, tim yang kurang handal, kalah berkompetisi, biaya tanggungan, produk yang tak menarik, model bisnis yang buruk, dan berbagai hal lainnya. Akhirnya ambruk satu persatu. Inilah buah kapitalisasi ekonomi, yang  hanya mengejar keuntungan materi  tanpa didukung sistem yang kuat,  juga pendanaan yang kuat.

Tanpa disadari para pekerja lepas dihadapkan berbagai masalah yang kompleks seperti : berhadapan dengan persoalan struktural seperti eksploitasi, ketiadaan jenjang karir, pendapatan yang tidak pasti, jaminan keamanan pekerjaan yang tidak memadai, tunjangan sosial dan perlindungan hukum yang terbatas, ilusi fleksibilitas kerja dengan istilah “mitra”, hingga tidak terpenuhinya prinsip-prinsip kerja yang layak dan adil.

Kondisi ini makin suram, ketika Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah menyatakan bahwa persoalan PHK ini tidak termasuk dalam ranah kementerian yang ia bawahi. Sebab, model pekerjaan di startup yang berbentuk kemitraan membuatnya tidak memiliki hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja.

Inilah wajah sistem kapitalisme sekularisme. Industri digital yang awalnya mereka anggap sebagai solusi perekonomian, nyatanya hanyalah ilusi yang memperdaya gen-z. Talenta mereka dieksploitasi demi keuntungan startup. Saat bisnis startup menurun mereka menjadi korban. Industri ini sejatinya membajak potensi-potensi brilliant gen-z. Mereka terkungkung oleh platform digital yang menjadikan mereka berada di comfort Zone(zona nyaman). 

Keseharian mereka sibuk memikirkan konten, mengejar target untuk meningkatkan level perusahaan dan mereka lupa kalau memiliki pundi-pundi ekonomi yang lebih menjanjikan, seperti mewujudkan swasembada pangan, mengelolah SDA, mewujudkan teknologi untuk mengokohkan Islam, menimba ilmu agama untuk diterapkan dsb. 

Maka sangat disayangkan talenta gen-z hanya demi kepentingan segelintir para kapital. Jika gen-z dididik dan dibina dengan tsaqafah Islam. Tentu akan melahirkan talenta-talenta yang membawa pada perubahan dunia dan Islam untuk kemaslahatan kaum muslimin. 

Maka suatu keniscayaan akan lahir talenta-talenta seperti Ali bin Abi Thalib yang masih berusia 10 tahun sebagai intelektual muda yang luar biasa karena keluasan ilmunya. Mush’ab bin ‘Umair pemuda yang cerdas menjadi duta Islam pertama yang dikirim oleh Rasulullah ke Madinah. Usamah bin Zaid bin Haritsah Al-Kalbi diusianya yang masih 17 tahun diberi amanat memimpin peperangan. Dan seorang Sultan Muhammad Al Fatih dalam usia belia memimpin penaklukan Konstantinopel. 

Pemuda tonggak perubahan. Maju dan tidaknya suatu negara dilihat pada kualitas pemudanya. Maka saatnya membebaskan gen-z dari kungkungan sistem ekonomi kapitalisme sekulerisme yang hanya menguntungkan segelintir kapital. Dengan mengarahkan gen-z menuju perubahan dunia sesuai tuntunan Islam. Wallahu'alam.

Oleh: Perawati, S.Kom
Aktivis Peduli Generasi
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments