Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme Langgengkan Perdagangan Manusia, Sungguh Miris

TintaSiyasi.com -- Hati teriris mendengar berbagai kasus perdagangan orang (human trafficking) yang kian marak terjadi. Manusia sebagai makhluk mulia menjadi laksana binatang ternak. Demi memenuhi nafsu, manusia kini diperdagangkan tak ubahnya hewan ternak. Siapakah yang salah. Adakah kepalsuan yang terjadi di dunia ini. Kerusakan berpikir yang parah sehingga sampai manusiapun dijual belikan. 

Dilansir dari www.wartobromo.com (20/11/22) Sebuah ruko di komplek pertokoan Gempol Nine, Kabupaten Pasuruan digerebek tim Polda Jatim. Pasalnya, tempat usaha itu disinyalir terlibat perdagangan orang (human trafficking).

Kasubdit IV Ditreskrimum Polda Jatim AKBP. Hendra Eko Troyulianto mengatakan, dari penggerebekan yang berlangsung Senin (14/11/2022) lalu itu, sebanyak 8 orang diamankan.

“Kami mendapati 8 perempuan, 3 di antaranya anak di bawah umur, serta 1 orang penjaga ruko,” ujar Hendra. Hendra mengatakan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, para korban tersebut dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK).

Selain itu juga dilansir dari VIVA Kriminal (19/11/22) Aparat Subdit Renakta Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur, mengungkap kasus penyekapan 19 perempuan yang diduga dipekerjakan sebagai PSK di kawasan wisata Tretes, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Dari 19 perempuan, 4 di antaranya masih di bawah umur atau anak-anak. Kepala Subdit Renakta Ajun Komisaris Besar Polisi Hendra Eko Yulianto, membenarkan pengungkapan kasus tersebut.  

19 perempuan Disekap di Tretes Pasuruan, Diduga Dijual jadi PSK. Aparat Subdit Renakta Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur, mengungkap kasus penyekapan 19 perempuan yang diduga dipekerjakan sebagai PSK di kawasan wisata Tretes, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. 

Sudah jelas bahwa sistem kapitalisme menghalalkan segala cara agar mendapatkan keuntungan yang besar dengan modal sekecil kecilnya. Perdagangan orang sungguh tidak memanusiakan manusia. Manusia tidak peduli halal haram yang penting mereka mendapatkan uang.

Mereka menganggap manusia seperti barang dagangan hanya mementingkan nafsu saja. Tanpa menghormati keberadaan mereka sebagai makhluk Tuhan yang mulia yang dikaruniai akal pikiran. 

Selain itu sanksi hukum yang ringan menyebabkan banyaknya pelaku perdagangan orang. Hukumannya yang tidak menimbulkan efek jera. Sistem sanksi yang diberikan pada pelaku kejahatan terdapat dalam pasal 2 UU 21/2007 bahwa pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (“TPPO”) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp600 ratus juta. (hukumonline.com, 02/01/19). 

Kapitalisme Biang Kerusakan 

Kemiskinan juga menjadi penyebab orang bermudah mudahan dalam perdagangan orang ini. Termasuk jaminan nafkah untuk perempuan pun seolah menjadi hal yang sulit diraih. Bahkan dalam sistem ini, perempuan dituntut untuk berdikari, alias berdiri di kaki sendiri. Kalau ingin sejahtera, maka mereka wajib bekerja.

Yang lebih parahnya lagi, dalam pandangan kapitalisme, segala sesuatu selalu diukur dari materi. Trafficking dengan korban perempuan untuk eksploitasi seksual tidak bisa lepas dari persepsi bahwa perempuan adalah komoditas yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kejagatan TPPO ini. Misalnya saja, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women, CEDAW (Konvensi P enghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) tahun 1979 dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW.

Untuk diselesaikan. Semua faktor ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Di antara faktor-faktor tersebut adalah:

Pertama, kemiskinan. Dalam kasus human trafficing yang ada di Jawa Barat misalnya, rata-rata mereka yang menjadi korban adalah perempuan yang usianya masih tergolong sangat muda. Mereka terpaksa harus mencari pekerjaan, karena kondisi ekonomi yang sulit.

Kedua, tidak ada perlindungan dan jaminan nafkah bagi perempuan. Mereka yang seharusnya dilindungi dan dicukupi kebutuhan hidupnya, justru malah menjadi objek eksploitasi dan terjerembab dalam lembah prostitusi.

Ketiga, sanksi hukum bagi pelaku yang tidak menimbulkan efek jera. Sistem sanksi yang diberikan pada pelaku kejahatan terdapat dalam pasal 2 UU 21/2007 bahwa pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (“TPPO”) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 ratus juta. (hukumonline.com, 02/01/19)

Lebih mirisnya lagi, masih banyak pelaku human trafficking yang belum tersentuh hukum. Ini sebagaimana yang dikatakan Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia, Gabriel Goa, “yang ditangkap umumnya hanya sopir, sedangkan pimpinan perusahaan perdagangan manusia sulit tersentuh hukum…” (beritasatu. com, 21/08/21).

Jika didalami lagi, ternyata semua faktor tadi muncul akibat adanya suatu tata kelola yang keliru; kemiskinan, tidak adanya jaminan hak nafkah dan masih banyaknya pelaku yang belum tersentuh hukum, disebabkan oleh begitu kuatnya tatanan kapitalisme dalam mengatur kehidupan. Sebuah paham yang menyebabkan kekayaan hanya menumpuk di segelintir orang saja.

Termasuk jaminan nafkah untuk perempuan pun seolah menjadi hal yang sulit diraih. Bahkan dalam sistem ini, perempuan dituntut untuk berdikari, alias berdiri di kaki sendiri. Kalau ingin sejahtera, maka mereka wajib bekerja.

Yang lebih parahnya lagi, dalam pandangan kapitalisme, segala sesuatu selalu diukur dari materi. Trafficking dengan korban perempuan untuk eksploitasi seksual tidak bisa lepas dari persepsi bahwa perempuan adalah komoditas yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kejagatan TPPO ini. Misalnya saja, Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women, CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) tahun 1979 dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan CEDAW.

Kemudian diperkuat dengan disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Tahun 2017.

Di Jawa Barat sendiri, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat berkomitmen memberikan pelindungan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jabar. Komitmen itu terwujud dalam Peraturan Daerah (Perda) Jabar Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pelindungan PMI Asal Daerah Jabar.

Hanya saja, seluruh upaya tersebut kemungkinan besar menemui jalan buntu, selama membiarkan tatanan kapitalisme mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seharusnya, semua pihak menyadari bahwa, satu-satunya solusi adalah dengan mengubah persepsi dan tata aturan baru yang komprehensif solutif.

Solusi Islam Memutus Rantai Perdagangan Orang 

Sebagai seorang muslim dan hidup di negara yang mayoritas Muslim, kita seharusnya tidak kebingungan di dalam mencari solusi permasalahan kehidupan. Sebab Islam merupakan agama yang paripurna dan menyeluruh. Secara konsep dan sejarah, Islam mampu menjadi problem solver dalam segala aspek.

Termasuk untuk mencegah dan mengatasi terjadinya human trafficking, Islam memiliki seperangkat aturan yang lengkap dengan solusi yang efektif memutus mata rantai trafficking. Mekanismenya adalah sebegai berikut:

Pertama, Penerapan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan. Penerapan sistem ekonomi Islam akan mampu mewujudkan kesejahtetaan bagi seluruh rakyat. Sumber daya alam yang melimpah tidak boleh diekspoitasi untuk segelintir orang sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Namun, SDA wajib dikelola oleh negara, yang hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat.

Maka bukan hal mustahil jika pelayanan pendidikan dan kesehatan diberikan secara cuma-cuma alias gratis. Karena penerapan sistem ekonomi Islam mengkondisikan yang demikian.

Kedua, tatanan Islam akan menjamin perempuan tidak menjadi korban ekspolitasi dan perdagangan orang melalui dua hukum; yakni hukum nafkah perempuan dalam tanggunggan wali, dan hukum keharaman perempuan memanfaatkan aspek feminitas dalam bidang pekerjaan.

Negara pun wajib menyediakan lapangan pekerjaan, terutama bagi laki-laki, karena Islam mendudukkan mereka sebagai pihak yang mencari nafkah. Dengan cara ini, diharapkan para perempuan akan terpenuhi segala kebutuhannya, tanpa harus bekerja.

Ketiga, peradilan negara akan hadir untuk memberi hak gugat bagi perempuan atas nafkah, menghukum pihak-pihak yang wajib memberi nafkah bagi perempuan, dan menutup celah semua lapangan kerja yang memanfaatkan sisi feminitas perempuan.

Keempat, negara Islam pun akan memberikan hukuman yang tegas dan memberikan efek jera bagi siapa saja pelaku human trafficking, tanpa pandang bulu. Termasuk memberikan propaganda di tengah-tengah masyarakat tentang betapa seriusnya negara dalam menumpas kejahatan tersebut. Sehingga orang akan berpikir ulang ribuan kali, sebelum memutuskan untuk melakukan kejahatan.

Itulah solusi masalah human trafficking menurut perspektif Islam. Tidakkah kita rindu hidup dalam sistem hidup yang menerapkan Islam secara keseluruhan?
Wallahu a'lam bishshawab

Oleh: Venny Hartiyah
Sahabat TintaSiyasi

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments