Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pandemic Fund dan Kegagalan Design Kesehatan Kapitalisme

TintaSiyasi.com -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meluncurkan pandemic fund atau dana pandemi di sela rangkaian konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 di Nusa Dua, Bali.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan pandemic fund akan menjadi instrumen yang sangat penting untuk mempersiapkan dan merespons masalah kesehatan atau pandemi yang kemungkinan bisa terjadi lagi.

"Dengan diluncurkan dana pandemi ini yang merupakan tonggak sangat penting, ini akan memberikan titik awal bagi kita semua untuk menunjukkan kepada dunia bahwa G20 mampu menghasilkan tindakan nyata yang dapat memiliki dampak global," ujarnya saat Launching Pandemic Fund di Nusa Dua, Bali pada Minggu (13/11).

Pandemic fund adalah sebuah lembaga atas komitmen nyata para pemimpin G20 untuk mengantisipasi masalah kesehatan ke depannya. Nantinya, dana yang dikumpulkan di pandemic fund akan berasal dari negara anggota G20 dan juga filantropis.

Indonesia sendiri berkomitmen akan memberikan US$50 juta untuk pandemic fund. Total dana terkumpul dari komitmen sudah sebanyak US$1,4 miliar yang berasal dari 20 kontributor, yaitu anggota G20, negara non G20, dan tiga lembaga filantropis dunia.

Menyelesaikan persoalan arsitektur kesehatan dunia dengan pandemic fund merupakan langkah khas sistem kapitalisme. Negara-negara besar penguasa dunia seperti Amerika Serikat dan Eropa memandang negara-negara miskin akan bisa tangguh menghadapi risiko pandemi jika mendapatkan pembiayaan. Padahal, persoalan kesehatan dunia bukan semata karena faktor dana, tetapi lebih kompleks dan mendasar.

Jika masalahnya hanya dana, seharusnya negara-negara kaya, yaitu Amerika dan Eropa, sigap dan tangkas menghadapi pandemi Covid-19. Nyatanya, mereka juga lemah. Masih segar dalam ingatan kita krisis kesehatan yang melanda Amerika dan Eropa karena Covid-19. Bahkan dampaknya masih terasa hingga hari ini.

Sistem pelayanan kesehatan saat ini lebih berorientasi terhadap materi. Negara sebagai pelayan rakyat, melepaskan perannya dalam persoalan kesehatan dan menyerahkan kepada badan yang berlandaskan kapitalisme. Dalam negara jibaayah, penguasa lebih merupakan pemalak bagi rakyatnya. Hubungan penguasa dengan rakyat laksana hubungan tuan dengan budaknya. Dalam negara jibaayah, negara gemar memalak rakyatnya dengan pajak mencekik dan aneka pungutan yang memberatkan; melepaskan tanggung jawabnya dalam urusan pendidikan dan kesehatan; mengharamkan subsidi sekalipun rakyatnya sudah jelas-jelas sengsara lagi menderita; memaksa rakyatnya untuk bertarung dalam pasar bebas, sekalipun mereka jelas lemah untuk berkompetesi.

Kezaliman negara bisa berlipat-lipat seperti itu karena sistem dan orangnya. Sistem yang dipakai di negeri ini adalah sistem demokrasi kapitalis yang rusak dan merusak. Pelaksana sistemnya juga sudah tidak punya nurani, bohong, khianat, zalim dan mengabdi pada kepentingan para kapitalis.

Kesehatan adalah sektor yang membutuhkan dana besar, itulah sebabnya ketika kesehatan dibebankan kepada individu, yang terjadi adalah eksploitasi oleh pihak yang kuat terhadap yang lemah. Para kapitalis bersama penguasa oligarki memperdaya rakyat hingga tidak ada jalan lain selain tunduk pada aturan liberal yang menyengsarakan.

Sengkarut persoalan pelayanan kesehatan akan segera tuntas ketika menjadikan Islam sebagai sebuah sistem aturan kehidupan. Dalam pandangan syariah Islam pelayanan kesehatan rakyat adalah kewajiban negara. Hubungan antara negara dengan rakyat dalam bidang ini adalah pemberi pelayanan dan penerima pelayanan. Negara bukanlah pihak yang menjual pelayanan kepada rakyat. Negara juga bukan semacam makelar yang mencarikan pihak yang menjual layanan kesehatan buat rakyat, di mana rakyat akan membeli pelayanan kesehatannya. Negara juga bukan pihak yang memberi hukuman kepada rakyatnya gara-gara rakyatnya nunggak bayaran. Intinya negara memberi pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyatnya secara cuma-cuma.

Wallahu a'lam Bishshowab


Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments