Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

NIK Jadi NPWP, Negara Malak Rakyat?


TintaSiyasi.com -- Ramai seruan stop bayar pajak akhir-akhir ini. Seruan tersebut sejatinya merefleksikan beban berat rakyat yang semakin menghimpit dengan adanya beragam pajak. Di dalam sistem kapitalisme, pajak telah dijadikan sebagai sumber utama pemasukan negara selain utang. Mirisnya, hingga hari ini rakyat tidak merasakan dampak positif pengelolaan pajak.

Alih-alih dirasakan oleh rakyat, penguasa malah diancam pidana maupun sanksi moral jika telat atau tidak membayak pajak. Saat rakyat menyuarakan keinginan bebas beban pajak, pemerintah malah menerapkan aturan yang memastikan tidak ada rakyat yang lolos dari jerat pajak. Karena kartu identitas kependudukan diintegrasikan menjadi kartu wajib pajak.

Kebijakan ini jelas menggambarkan bahwa rezim kapitalis adalah rezim pemalak bukan periayah dan pemberi solusi bagi rakyat. Inilah ironi di negeri ini. Padahal, Indonesia adalah negara yang terkenal dengan sumber daya alam yang melimpah. Tetapi, pemasukan negara sebagian besar justru bergantung pada pajak. Penerimaan negara dari sektor pertambangan sangat minim. Padahal, negeri kita dikaruniai banyak tambang. Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi cadangan mineral sangat tinggi. Cadangan nikel Indonesia menempati posisi tiga teratas tingkat global. Indonesia juga mencatatkan kontribusi sebesar 39% dluntuk produk emas berada di posisi kedua setelah Cina. Sementara, cadangan mineral alumunium mencapai sekitar Rp 16.000 triliun.

Indonesia merupakan produsen batubara terbesar ketiga di dunia setelah China dan India dengan produksi lebih dari 614 juta ton pada tahun 2021. Selain pertambangan, Indonesia memiliki kekayaan alam berupa lautan. Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga setelah China dan Peru untuk perikanan tangkap laut terbesar dunia. Dengan potensi ikan tangkap di Indonesia mencapai 12,01 juta ton per tahun. Namun, sayang seribu sayang kekayaan alam yang melimpah ini tidak dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, justru lari keluar negeri karena sejatinya kekayaan alam itu dikuasai oleh korporasi asing hingga rakyat hanya bisa gigit jari.

Semua itu terjadi karena negara ini menerapkan sistem ekonomi kapitalisme dan mengelola kekayaan alam dengan sistem tersebut. Oleh karena itu, liberalisasi ekonomi tidak dapat dihindari sehingga swasta berperan utama dalam pengelolaannya. Lebih dari itu, negara hanya mendapatkan pajak yang tidak seberapa dibanding dengan hasil alam yang melimpah tersebut. Miris!

Hal ini berbeda dengan Islam, di mana Islam adalah sebuah sistem hidup. Sehingga, mampu menyelesaikan permasalahan pajak dengan pendekatan sistemis. Sistem Islam yakni khilafah mampu membiayai negara tanpa pajak dan tanpa utang. Sebab, khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Di mana khilafah memiliki pos-pos pemasukan negara, yaitu pos fa'i dan kharaj (ghanimah, kharaj, fa'i, dharibah); pos kepemilikan umum (migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, hutan, padang rumput dan tempat khusus); dan pos sedekah (zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak).

Inilah yang menjadi sumber pemasukan negara khilafah sehingga mampu membangun negara tanpa terlilit utang. Selain itu, khilafah juga menerapkan pembagian kepemimpinan sesuai dengan syariat yaitu kepemilikan umum, negara, dan individu. Tambang yang memiliki deposit besar merupakan kepemilikan umum sehingga tidak boleh diberlakukan privatisasi apalagi sampai diserahkan kepada asing.

Dengan pengaturan khilafah yang seperti ini, khilafah mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya selama kurang lebih 13 abad lamanya. Salah satu pemasukan negara khilafah adalah dharibah yang biasa disamakan dengan pajak. Namun, faktanya sangat jauh berbeda.

Pungutan dharibah hanya dilakukan jika kas negara (Baitul Mal) tidak mencukupi atau kosong untuk pembiayaan kebutuhan rakyat. Sementara saat itu, ada suatu kondisi yang harus segera dipenuhi dan jika tidak dipenuhi pada waktu dekat dapat menimbulkan dharar/bahaya, maka hal itu dapat menzalimi rakyat. Dharibah ini hanya bersifat insidental dan hanya dipungut dari orang Muslim kaya yaitu orang yang memiliki kelebihan harta. Dharibah tidak boleh diwajibkan melebihi kebutuhan untuk pembiayaan tersebut. Karena itu, hanya dalam periayahan khilafah rakyat benar-benar mendapatkan kesejahteraan. 

Wallahu a'lam. []


Oleh: Endang Widayati, S.E.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments