Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kurangnya Peran Agama, Sebabkan Rapuhnya Rumah Tangga

TintaSiyasi.com -- Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu sama lain mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1987)

Keluarga dalam bahasa Arab disebut ahlun, selain kata ahlun kata yang memiliki arti keluarga aali, asyirah, dan qurbaa. Kata ahlun berasal dari kata ahila yang berarti senang, suka, atau ramah. Menurut pendapat lain, kata ahlun berasal dari ahala yang berarti menikah (Ahmad Mukhtar Umar, 2008)

Mengacu dari referensi di atas, penulis mencoba menyimpulkan yang disebut sebagai keluarga adalah bangunan terkecil dari interaksi sosial yang terjadi pada manusia, dalamnya terikat dengan tali pernikahan yang sah dan terjadi hubungan untuk visi-misi jangka panjang. 
Membangun keluarga tidak bisa dilakukan dengan sembrono, sembarangan atau main-main. Dari institusi keluarga, akan lahir generasi (anak) yang akan melestarikan latar belakang orangtuanya. Kualitas output berupa sumber daya manusia (anak) akan menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah institusi keluarga. Baiknya generasi baru dalam rumah, menjadi indikasi keberhasilan orangtua menciptakan keluarga yang ideal. Rusaknya generasi baru dalam rumah, menjadi indikasi rusaknya bangunan kelurga yang diciptakan oleh orangtua terutama ayah sebagai pemimpin dalam rumah tangga. 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas  sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisaa: 34)

Memimpin mereka artinya mengatur urusan mereka, memberikan nafkah untuk kebutuhan hidup mereka, mendidik dan membimbing mereka dalam kebaikan, dengan memerintahkan mereka menunaikan kewajiban-kewajiban dalam agama dan melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan dalam Islam, serta meluruskan penyimpangan yang ada pada diri mereka. (Imam Ibnu Katsir, 1/653)

Fakta Bangunan Rumah Tangga Hari Ini

Selayaknya keluarga menjadi tempat kondusif untuk mencetak generasi rabbaniy, yakni generasi yang memahami syariat agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Generasi yang dibimbing dengan nilai-nilai agama untuk memakmurkan bumi dengan ilmunya. 
Namun alih-alih menjadi generasi yang memperbaiki bumi, justru generasi hari ini jauh dari karakter mereka sebagai pemakmur bumi. Meskipun hancurnya generasi disebabkan oleh banyak faktor, namun itu semua berangkat dari satu celah yakni rapuhnya bangunan keluarga yang semestinya menjadi benteng pertama dan terakhir dalam menangkis polusi kerusakan sistem sosial di masyarakat. 

Keluarga hari ini tak ubahnya predator dikehidupan luar. Di dalam rumah, anak-anak harus mengamati perseteruan orangtua mereka. Mereka harus mendengar sumpah serapah buruk yang dilontarkan oleh orangtua. Bahkan tidak sedikit yang terpaksa menonton aksi kebiadaban yang dilakukan oleh orangtua seperti kekerasan dan pembunuhan. Tidak berhenti di situ, pertengkaran orangtua juga sering menyasar kepada anak. Anak-anak banyak yang menjadi korban dari orangtua sendiri, baik menjadi korban kekerasan verbal, seksual maupun fisik atau dikenal dengan istilah child abuse. 

US Department of Health, Education and Wolfare mendefinisikan child abuse sebagai kekerasan fisik atau mental, kekerasan seksual atau penelantaran terhadap anak di bawah usia 18 tahun yang dilakukan oleh orang yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, sehingga keselamatan dan kesejahteraan anak terancam. (Arisandy, 2009)

Tidak sepantasnya orangtua mencemari masa depan anak dengan pola pengasuhan yang merusak. Orang tua dengan dengan pola pengasuhan yang memberikan dampak buruk kepada anak umumnya dikatakan sebagai toxic parent. Meskipun terminologi tersebut bukan berasal dari Islam, namun ada beberapa hal yang cukup relevan yang menjadi ciri toxic parent menurut Forwads & Buck, 2002 Menekan anak secara emosional dan psikis Menyuap anak dengan uang atau imbalan untuk menuruti keinginan orang tua Membuat anak terlibat dalam masalah orang tua sehingga anak juga ikut merasa bersalah jika menginginkan sesuatu 
Memberikan hukuman fisik yang berlebihan terhadap anak dengan alasan disiplin.

Hilangnya Peran Agama dalam Rumah Tangga

Pola pengasuhan yang bersifat toxic atau racun tersebut sebagai akibat dari jauhnya pemahaman dan nilai-nilai syariat Islam dalam rumah tangga. Orangtua membangun rumah tangga dengan visi misi yang jauh dari tuntunan syariat Islam, sehingga meniscayakan masalah dalam rumah tangga. Fakta kehidupan yang bersifat sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) dan orientasi hidup bervisi materialis membuat kehidupan rumah tangga dibangun dengan visi materi dan ditempuh dengan misi sekuler tersebut. 

Kelurga dibangun untuk visi kebahagiaan berbasis materi. Orangtua bekerja keras demi akumulasi materi agar memperoleh kebahagiaan. Anak didoktrin supaya menjadi anak yang sukses materi. Anak terus dimotivasi untuk berprestasi supaya bisa memperoleh jenjang pendidikan terbaik sehingga kelak mendapatkan pekerjaan bonafit. Mental materialisme seperti ini terus ditanam di dalam keluarga. Visi materialis yang kuat didukung dengan misi (langkah yang ditempuh) dengan menafikkan peran agama (sekuler), sehingga melahirkan ide-ide yang tidak memperdulikan halal-haram. Jika sudah demikian, maka penyimpangan dalam rumah tangga adalah perkara yang sah-sah saja dilakukan, kendati penyimpangan tersebut adalah penyimpangan terhadap syariat Islam.  Bisa jadi, orangtua membenarkan perilaku membentak atau memukul anak ketika anak tidak berprestasi di sekolah. 

Orangtua juga akan mewajarkan kekerasan terhadap anak jika mereka tidak bisa bekerja atau mencari uang. Seorang suami akan mewajarkan kekerasan terhadap istri jika seorang istri tidak melakukan keamauan suaminya. Seorang anak akan mewajarkan dirinya menghujat atau berkata kasar kepada orangtua mereka yang dianggap sebagai toxic parent dalam kehidupan mereka sehingga anak-anak korban toxic parent akan mencari pelarian di luar dengan pergaulan bebas. Fenomena ini telah banyak terjadi hari ini, bukan lagi sebuah pengandaian. 

Islam Mengokohkan Bangunan Rumah Tangga

Nihilnya peran agama yakni syariat Islam dalam rumah tangga telah nyata membawa kehancuran rumah tangga, tak hanya untuk orangtua namun juga untuk anak atau generasi pemuda. Jika membaca penjelasan Imam Ibnu Katsir mengenai QS An Nisaa : 34 yang telah disebut diawal, seorang laki-laki atau Ayah dengan posisinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga memiliki kewajiban untuk mengatur urusan anggota keluarganya. Mengatur dalam hal ini mencakup kewajiban memberikan nafkah yang baik, memberikan perlindungan (keamanan), membina, mendidik dan mencegah anggota keluarganya dari keburukan atau penyimpangan.

Seorang Ayah wajib memberikan teladan baik berdasarkan nilai agama, mengajarkan pendidikan agama dan menerapkannya dalam kehidupan. Jauh sebelum mendidik anak, seorang suami harus memberikan pendidikan agama untuk istrinya. Meluruskan niat membangun rumah tangga untuk visi akhirat mencari ridlo Allah semata. Sehingga segala aktvitas yang dijalankan bersama dalam rumah tangga dibangun atas landasan keimanan. 

Ketika mendidik anakpun, diniatkan untuk menjalankan peran orangtua sebagaimana perintah Allah. Serta ditempuh dengan cara-cara yang Allah perintahkan, yakni pertama dan utama dengan membekali anak dengan pendidikan agama (aqidah). Membentuk anak agar memiliki pola pikir/pemahaman Islam dan pola sikap/kepribadian Islam. Menjauhkan anak dari pemahaman yang menyimpang dari syariat seperti materialisme dan sekulerisme. Pondasi agama yang kuat di dalam rumah, akan menjadi benteng bagi anak ketika berinteraksi sosial di luar rumah. Pun ketika diberikan suatu ujian, maka anggota keluarga akan menundukkan segala perkara/masalah kepada hukum/pandangan syariat Islam. 

Potret rumah tangga ideal seperti ini bukan suatu perkara yang bersifat khayali atau euforia, namun secara nyata telah dicontohkan suri tauladan ummat manusia Muhammad Rasulullah shallallahu’alaywassallam. Rasulullah memiliki istri lebih dari satu, namun semua rumah tangganya sukses dan jauh dari huru hara atau toxic. Rasulullah sukses menjadi teladan sebagai suami, ayah, mertua, kakek, sabahat, guru, tetangga dan pemimpin negara. Ini adalah bukti yang tidak terbantahkan lagi, bahkan diakui oleh ummat non muslim yang tak sezaman dengan beliau. Michael Hart dalam bukunya “The 100 A Rangking of The Most Influential Persons in History” menempatkan Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh di urutan pertama. Ketika keputusan ini dihujat, dengan gamblang Hart menjelaskan alasan kenapa dia memilih Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh, yaitu bahwa Rasulullah Muhammad menjadikan Islam, al Qur’an dan as Sunnah sebagai satu-satunya pengatur baik dalam kehidupan spiritual maupun dalam kehidupan sosial – termasuk didalamnya kehidupan politik sebagai pemimpin negara. 

Rasulullah adalah teladan ummat manusia dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Sudah jelas, kita sebagai umat muslim, ummatnya Rasulullah Muhammad wajib mengikuti seluruh syariat Islam yang beliau ajarkan. Baik syariat dalam kehidupan individu, kehidupan rumah tangga (keluarga), kehidupan sosial masyarakat maupun kehidupan dalam bernegara. Kita wajib menyelami jejak Rasulullah dan syariat Islam dalam membina rumah tangga yang ideal dan sukses.

Oleh: Tri Handayani
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments