TintaSiyasi.com -- Pemberitaan mengenai jumlah korban gagal ginjal akut terus mengalami peningkatan. Belum lama ini, kementerian kesehatan (Kemenkes) mencatat terdapat sebanyak 141 jiwa meninggal dunia dari total pasien yang dirawat sebanyak 245 orang di 22 provinsi akibat penyakit AKI.
Setelah ditelusuri, banyak kasus kematian dipicu akibat anak-anak tersebut mengkonsumsi obat dalam bentuk sirup dan cair dengan kandungan berbahaya. Seperti yang disampaikan oleh Tarmizi menyebutkan kasus gagal ginjal yang meningkat signifikan pada September dengan fatalitas 50-60%. Kasus yang terjadi di Indonesia memiliki kemiripan dengan kasus di Gambia yang diduga ada keterkaitan dengan zat etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam obat sirup (CNBC Indonesia, 25/10/2022)
Disisi lain, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito menduga, selama pandemi para produsen obat mengganti pemasok bahan baku dari farmasi ke kimia. Sementara, BPOM sendiri tidak memiliki kendali atas impor bahan baku atau bahan tambahan yang berasal dari pemasok zat kimia lantaran berada di bawah Kementerian Perdagangan. Dalam masalah harga, bahan baku dari farmasi lebih mahal dibanding kimia yang sangat murah (BBC News Indonesia, 24/10/2022)
Kasus serupa terkait penyalahgunaan obat juga pernah terjadi pada jenis obat Dextromethorphan Hbr, yang biasa dikenal dekstro atau DMP, adalah obat yang bekerja di sistem saraf pusat dengan meningkatkan ambang rangsang refleks batuk. Pada dosis tinggi, efek DMP dapat menyerupai obat-obatan terlarang, seperti Phencyclidine (PCP) dan ketamin. Efeknya dapat menyebabkan halusinasi dan euforia (Tribratanewsbengkulu.com, 10/6/2020)
Sebagian masyarakat banyak yang tidak mengetahui dan memahami kandungan zat yang ada pada obat. Karena selama ini banyak obat yang mudah diperoleh dengan bebas tanpa harus dengan resep dokter. Terlebih, BPOM sendiri tidak memiliki kendali atas bahan baku tambahan yang ada pada kandungan obat. Sehingga, dengan mudah produsen menambahkan kandungan lain yang bisa jadi membahayakan penggunanya.
Padahal, peredaran obat sudah mengalami beberapa tahapan atau prosedur sebelum sampai di tangan konsumen. Namun, masih saja negara kecolongan dengan beberapa oknum yang menyalahgunakan zat kimia sebagai bahan baku obat. Akibatnya, kasus serupa selalu terjadi hingga mengalami kematian.
Miris, sejatinya negeri ini tidak kurang sumber daya manusia (SDM) yang memiliki capability di bidang kesehatan. Lembaga dan institusi tinggi yang juga banyak menangani masalah farmasi (obat), dan kekayaan ragam hayati. Sayangnya, negara ini masih mengandalkan impor dalam ketersediaan obat dan bahan baku farmasi.
Lemahnya kemandirian industri obat, vaksin, dan alat-alat kesehatan juga disebabkan sistem yang diterapkan di negeri ini. Sistem kapitalisme yang diadopsi negeri ini menuntut pemerintah untuk selalu tunduk dengan penguasa. Kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan permintaan penguasa. Salah satunya dengan melakukan impor terus-menerus supaya negeri ini selalu bergantung pada negara lain.
Negara yang juga seharusnya menjadi pelayan rakyat justru mengabdikan dirinya menjadi pelayan penguasa. Seolah, kesehatan dan keselamatan rakyat tidak ternilai harganya. Negara terkesan abai dan setengah hati mengurusi rakyat. Kesehatan yang seharusnya dapat diperoleh dengan maksimal justru hanya memperoleh setara level menengah. Alih-alih agar terkesan peduli pada kesehatan rakyat, alhasil rakyat hanya menerima obat dengan kadar yang standar. Bukannya pulih, justru menambah resiko lain.
Hal ini sangat berbeda apabila sistem yang diadopsi negeri ini adalah sistem Islam. Islam adalah agama paripurna. Islam tidak hanya membahas konteks ibadah saja. Islam juga mengatur aspek pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Terlebih dalam aspek kesehatan. Islam sangat memperhatikan kesehatan dan pola konsumsi umatnya. Islam menyediakan makanan dan minuman yang halal dan thoyyib. Selain itu, negara juga menyediakan dan memfasilitasi siapa saja yang sakit dengan pelayanan gratis dan maksimal.
Tenaga medis yang mumpuni di bidangnya dan kemandirian obat yang diracik sendiri oleh industri farmasi menjadi bukti kemandirian penyediaan obat oleh negara. Bahan baku obat diperoleh dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada tanpa harus melakukan impor. Sehingga, negara dapat menjamin kualitas kandungan obat di dalamnya. Terlebih, pelayanan yang diberikan tidak membedakan warna kulit, ras, dan agama.
Pelayanan kesehatan gratis dan kemandirian penyediaan obat hanya dapat diperoleh jika negara menerapkan aturan Islam sebagai standar kehidupan. Hal ini hanya ada dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah.
Wallahu'alam Bissawab
Oleh: Novriyani, M.Pd.
Praktisi Pendidikan
0 Comments