TintaSiyasi.com -- Bullying atau kasus perundungan bukanlah hal baru. Kian hari kasus perundungan semakin ekstrim dan mengerikan, tidak hanya berbentuk kekerasan verbal tapi sampai berbentuk kekerasan fisik hingga menghilangkan nyawa dan mengakibatkan depresi sampai bunuh diri. Perundungan ini bahkan tidak hanya dilakukan oleh pelajar atau anak yang sudah remaja, kini kasus perundungan yang menghilangkan nyawa banyak dilakukan oleh anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar (SD).
Di lansir dari Merdeka.com (25/11/22), seorang bocah kelas dua Sekolah Dasar di Malang, mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari tujuh kakak kelasnya. Bocah malang berinisial MWF (8) dianiaya hingga sempat koma (tidak sadarkan diri) saat mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Di Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, beberapa pelajar tega menganiaya seorang nenek dengan alasan iseng.
Di Bandung siswa SMP merundung temannya dengan memasangkan helm pada korban. Kemudian pelaku menendang kepala korban hingga terjatuh. Kasus pun berakhir dengan mediasi dan peringatan kepada pelaku agar tidak mengulangi di kemudian hari (Kumparan.com). Ini hanya sebagian kasus, masih banyak perundungan lainnya yang bahkan sampai merenggut nyawa.
Mengapa Terus Berulang?
Perundungan yang terus menerus terjadi, menunjukkan buruknya sistem pendidikan negeri ini. Hal ini tidak lain disebabkan mengakarnya sistem sekularisme yang merusak segala lini kehidupan, yang memisahkan agama dari kehidupan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak menjadi pelaku perundungan.
Pertama, faktor keluarga yang seharusnya menanamkan akidah, adab dan akhlak sejak dini telah tercabut perannya akibat ibu yang terkadang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Sebab negara tidak menjamin kesejahteraan rakyatnya. Sistem ini juga banyak memproduksi ibu sebagai penggerak roda ekonomi yang sibuk mengejar karir, hingga melupakan perannya sebagai ummu wa rabbatul bait dan madrasatul ula yang harusnya sebagai guru pertama mencetak generasi mulia.
Kedua, sistem pendidikan yang seharusnya sebagai wadah mencetak generasi bertakwa kini sangat jauh dari nilai-nilai agama. Sekolah seolah berperan sebagai ladang bisnis, serta hanya mengedepankan nilai akademik dibandingkan agama dan adab. Lihat saja, pelajaran agama mendapatkan porsi yang sangat sedikit dalam proses pembelajaran. Pelajaran agama hanya dihapalkan tapi tidak dipahami, ayat Alquran hanya untuk dihapalkan tapi tidak diamalkan. Padahal, ilmu tanpa adab sangatlah berbahaya. Sekolah yang digadang-gadang ramah anak yang seharusnya memberikan rasa aman justru jadi ladang perundungan. Bahkan sekolah cenderung menyelesaikan masalah tersebut dengan jalan kompromi atau berdamai dengan tidak memberikan rasa keadilan bagi korban, hingga ada kecenderungan sekolah merahasiakan perundangan demi menjaga citra sekolah ramah anak.
Dalam sistem pendidikan sekuler agama dipisahkan dari kehidupan. Pelajaran agama hanya sebatas formalitas tanpa menanamkan nilai-nilai akidah dan ketakwaan. Siswa terbentuk menjadi pribadi yang bebas berprilaku, tidak terarah dan tidak terdidik dengan nilai-nilai agama. Mereka fokus dididik menjadi generasi industri yang siap bekerja memenuhi kebutuhan kapitalis dan sukses standar dunia, yaitu mencari serta mendapatkan materi sebanyak-banyaknya.
Selain itu negara juga tidak menjalankan perannya sebagai penyaring informasi. Negara cenderung abai dan membiarkan tontonan yang mengandung nilai kekerasan dan perundungan bebas berseliweran serta bebas diakses di televisi maupun media sosial. Sehingga anak-anak menonton dan meniru perbuatan tersebut.
Harus Dituntaskan
Perundungan adalah masalah serius yang harus segera dicabut sampai ke akarnya-akarnya. Perundungan tidak akan terselesaikan hanya dengan memberi nasehat, menghukum pelaku dan menangani korban. Terlebih hanya dengan jalan kompromi dan berdamai, dan mirisnya jika baru diketahui setelah korban meregang nyawa.
Oleh karenanya perundungan harus dicabut sampai ke akarnya yaitu dengan mengganti sistem pendidikan sekuler menjadi sistem pendidikan Islam. Sebab, tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian Islami dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Kurikulum pendidikan juga harus berlandaskan kepada akidah Islam. Sehingga membentuk generasi bertakwa yang beradab dan berakhlak mulia. Ia akan memahami bahwa Allah Swt. memerintahkan untuk saling menyayangi dan melarang untuk mengolok-olok orang lain. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim" (TQS. Al-Hujurat: 11).
Tentu saja hal ini hanya dapat diterapkan oleh sebuah institusi bernama negara, tidak bisa hanya diterapkan oleh sekolah tertentu atau sekolah berbasis Islam saja.
Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Fadilah Rahmi, S.Pd
Guru dan Aktivis Dakwah
0 Comments