TintaSiyasi.com -- Gempa 5,6 magnitudo kembali mengguncang bumi Allah di Cianjur. Bumi ini marah sampai bergetar meluluh lantakkan sebagian bangunan dan membawa korban. Sehingga menimbulkan luka-luka, Pengungsian, kehilangan tempat tinggal, sampai korban meninggal dunia akibat reruntuhan dampak dari gempa.
Dilansir dari Detikcom, sudah 5 hari sejak terjadinya gempa hingga Jumat pukul 17.00, 25 November 2022 kemarin, masih terdapat beberapa gempa susulan. Dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan geofisika(BMKG) mencatat ada 248 kali gempa susulan di Cianjur. Yang berkekuatan sebesar M 4,2.
Musibah
Hidup di dunia ini memang penuh dengan ujian. Bahkan jika tidak ditimpa dengan musibah sekalipun, kehidupannya tetap dalam ujian.
Tentang musibah. Padangan masyarakat pada umumnya, menganggap gempa hanyalah peristiwa alam biasa saja. Walau sudah terjadi gempa berulang kali. Hitung saja berapa jumlah gempa dari tsunami Aceh hingga Cianjur saat ini. Nyarisnya sebagian besar mereka menamainya ini sebagai musibah alam biasa. Memang gempa adalah musibah, bencana alam dan peringatan Allah SWT bagi manusia. Menyebutnya musibah karena mereka hanya bersudut pandang sempit yakni peristiwa yang mengakibatkan mereka kehilangan harta benda, nyawa, fasilitas umum, kerusakan ekonomi, dan tempat tinggal.
Nah, sampai kapan kiranya pandangan seperti ini berubah? Sampai manusia berakal tersebut bisa memosisikan diri dalam kesabaran. Sabar untuk semua kondisi. Dan tidak berlarut dalam kesedihan yang memanjang. Sebab, “Musibah apa pun yang terjadi tidak akan hilang oleh kesedihan. Musibah akan hilang oleh sikap ridha, Rasa syukur, keimanan pada takdir, dan ucapan qodarullah (Allah memang menakdirkan demikian). Apa yang Dia kehendaki pasti terjadi.” (Ibnu al-Qoyyim ,Zaad Al Ma’aad 2/342).
Yang terpenting selain dari pada itu, bahwa segala bentuk musibah adalah ujian iman. Mengimani tentang kekuasaan bahwa Allah SWT adalah kuasa tertinggi. Kuasa manusia tidaklah berarti. Meski seluruh manusia sedunia mengakui. Tetap Kekuasaan Allah tidak ada yang bisa menandingi. Dan terpenting bagi manusia harus bisa dan mengimani tentang qadha, qadar, dan takdir.
Muhasabah
Muhasabah dari peristiwa gempa, dapat di tarik oleh akal sehat. Musibah ini akan mengingatkan kepada kita, tentang beberapa sejarah asli yang tidak mampu dikubur dan dikibuli. Seperti cerita kaum Nabi Luth yang bermaksiat menentang syariat Allah SWT. Bagaimana Allah menunjukkan ke kita mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia. Allah SWT mengazab kaum sodom yang berbuat keji dan tercela. Ketika mereka dalam keadaan tertidur lelap dan melakukan hal lalai, Allah membalikkan tanah di mana mereka berpijak.
Peringatan itu bisa kita baca dan pedomani pada firman Allah SWT berikut:
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ
"Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkir-balikkan negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar." (QS. Hūd : 82).
Segala tuntunan dan peringatan bagi umat yang jauh setelahnya, sudah Allah SWT turunkan. Yaitu Al-Qur’an sebagai pedoman dan Nabi SAW sebagai pengemban risalah agar kita tidak berbuat salah. Namun nyatanya kaum sodom terdahulu malah gencar dijadikan rule model kebebasan nafsunya di zaman kini. Lalu kiranya mau meminta azab yang seperti apa lagi? Nauzubillah.
Muhasabah hal gempa. Akan mengingatkan kita juga tentang sejarah masa kekhalifahan Umar bin Khatab. Saat terjadi gempa sang Khalifah Umar menyeru ke seluruh rakyat, umatnya “wahai umat maksiat apakah kiranya yang kalian perbuat? Sehingga bumi berguncang dahsyat?” suara Umar lantang seakan melebihi guncangan gempa karena menyeru kepada umatnya untuk menyadari akan maksiat yang mereka perbuat, lalu menghunus pedang perkataan yang bermakna mengajak umat untuk cepat-cepat kembali ke taat. Lurus ke syariat.
Begitulah sebenarnya sang pemimpin umat itu. Di bawah mandat kuasa syariat. Bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Melindungi umat dan mengajaknya taat. Timbul lah pertanyaan dari muhasabah ini. Adakah sekarang pemimpin yang melambaikan tangan ke rakyatnya, mengajak taat sepenuh jiwanya atas jiwa kepemimpinannya yang kelak bakal lolos atau tidak dari pertanyaan akhirat?
Jika belum ada, maka tugas rakyatlah untuk mencari dan menemukannya. Pemimpin yang membawa rakyat kepada taat syariat sehingga muhasabah musibah gempa tidak terlewat begitu saja tanpa makna. Lalu jangan jadikan produk gagal berpikir atas musibah ini. Pikirkanlah yang menjadi korban musibah itu bukan yang bermaksiat saja namun orang taat pun terkena dampaknya. Akankah ada alasan menolak menjadi orang taat?
Mari bermunasabah, menjauhi maksiat, kembali ke jalan taat, paham kan Islam yang kuat, dan menemukan pemimpin pelindung rakyat. []
Oleh: Titin
Owner Angkringan Jahe Merah
0 Comments